Kebijakan Ganjil-Genap di Tengah Pandemi

Kebijakan ini dinilai efektif untuk mengurangi jumlah mobil yang ada di jalan raya.

Kebijakan Ganjil-Genap di Tengah Pandemi
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – Kebijakan ini dinilai efektif untuk mengurangi jumlah mobil yang ada di jalan raya. Pada tanggal ganjil, hanya mobil yang berplat nomor ganjil yang boleh memakai jalan raya. Sebaliknya, pada tanggal genap, hanya mobil yang berplat nomor genap yang boleh berada di jalan raya. Waktu ganjil genap ini dibatasi, yakni pagi pukul 06.00 – 10.00 dan sore pukul 16.00 – 21.00 WIB.

Jika ada kendaraan yang melanggar, maka polisi akan menindak langsung. Hal ini cukup efektif mengurangi kemacetan di Jakarta. Kebijakan ganjil genap sempat tidak diberlakukan saat PSBB, karena focus pemerintah adalah pada penegakkan aturan PSBB. Tak hanya ganjil dan genap, seluruh kendaraan tidak dianjurkan berada di jalan raya karena masyarakat diharuskan berada di rumah. Sat PSBB Jakarta sangat lengang, seperti musim mudik lebaran. Udara Jakarta pun menjadi lebih bersih.

Isu pemberlakuan kembali ganjil genap mulai menyebar saat dimulai kebijakan baru yakni new normal. Muncul informasi akan diberlakukan kembali ganjil genap bahkan untuk sepeda motor. Namun isu ini tidak terbukti, baik mobil maupun sepeda motor tidak dikenai aturan ganjil genap. Adapun yang dikenakan aturan adalah KRL dan MRT yang diwajibkan memenuhi protocol covid-19. Isu ganjil genap kembali muncul di awal Agustus 2020.

Dalam beberapa pekan ini, kemacetan di Jakarta kembali meningkat. Kepadatan lalu lintas kembali bertambah. Hal ini membuat Pemprov DKI berwacana akan kembali memberlakukan ganjil genap. Tak hanya wacana, Pemprov DKI mulai memberlakukan ganjil genap pada 3 Agustus 2020. Hal ini membuat banyak pihak memberikan respon.

Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho menilai Pemprov DKI terlalu tergesa-gesa menerapkan sistem pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap. Menurutnya, pemberlakuan ganjil genap di tengah kenaikan angka Covid-19 di Jakarta merupakan keputusan yang tergesa-gesa dan tidak memiliki perspektif yang utuh tentang kebencanaan.

Penyebab tingginya mobilitas warga di Ibu Kota adalah aktivitas perkantoran yang kembali normal. Jika Pemprov DKI ingin membatasi mobilitas warga, maka perkantoran di Ibu Kota harus membatasi waktu kerja para karyawan selama pandemi Covid-19. Pemprov DKI, lanjut Teguh, seharusnya mengawasi aktivitas perkantoran yang melanggar protokol kesehatan Covid-19. 3

Jadi yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta. Itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta yang bekerja di Jakarta. Dia khawatir penerapan sistem ganjil genap akan memunculkan klaster baru Covid-19 yakni klaster transportasi umum.

Kepala Dinas Perhubungan Jakarta Syafrin Liputo mengatakan transportasi umum harus membatasi kapasitasnya untuk mempertahankan implementasi protokol kesehatan, terutama jarak fisik, untuk menghindari penularan Covid-19. Di sisi lain, Syafrin juga menyebutkan adanya peningkatan volume lalu lintas di sejumlah titik pemantauan selama periode Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) Transisi.

Peningkatan ini mendekati volume lalu lintas normal (dibandingkan dengan kondisi lalu lintas pada Februari 2020. Bahkan, menurutnya, volume lalu lintas di beberapa titik pemantauan bahkan telah melampaui kondisi normal sebesar 1,47 persen. Inilah yang melatarbelakangi Pemprov DKI Jakarta memberlakukan kembali ganjil genap.

Menurut pengamatan mondayreview, terjadi penurunan kepadatan lalu lintas saat kebijakan ini diberlakukan kembali. Namun perlu ada rekayasa menyeluruh agar tidak terjadi peningkatan kepadatan di KRL, MRT atau busway. Aranya adalah pemerintah mesti menguatkan komitmen perkantoran untuk membagi karyawannya menjadi dua shift, yakni yang berangkat pukul 07.00 dan pukul 10.00 WIB.