Bioindikator Makrozoobentos
Bioindikator adalah organisme hidup seperti tanaman, plankton, hewan, dan mikroba, yang digunakan untuk menyaring kesehatan ekosistem alami di lingkungan. Indikator biologis ini dapat memantau secara kontinyu dan merupakan petunjuk yang mudah untuk memantau terjadinya pencemaran.

MONDAYREVIEW.COM – Bioindikator adalah organisme hidup seperti tanaman, plankton, hewan, dan mikroba, yang digunakan untuk menyaring kesehatan ekosistem alami di lingkungan. Indikator biologis ini dapat memantau secara kontinyu dan merupakan petunjuk yang mudah untuk memantau terjadinya pencemaran.
Lalu apa sih Makrozoobentos? Secara praktis didefinisikan sebagai komunitas invertebrata yang hidup di dalam atau di atas sedimen atau substrat keras dan tertahan pada saringan berukuran 1 mm2. Kecil namun kaya manfaat. Spesies makrozoobentos di jaring makanan Laut Wadden dapat dikategorikan sebagai herbivora, detritivora dan karnivora.
Dengan menelusuri aliran karbon akan menunjukkan bahwa kompartemen makrozoobentos sangat bergantung pada fitoplankton (dipanen oleh pengumpan suspensi) dan mikroalga bentik (mikrofitobentos, yang diberi makan oleh pengumpan deposit) dan oleh karena itu terutama herbivora.
Karena hanya sedikit spesies metazoa lain yang memanen produksi primer bentik dan pelagis, spesies makrozoobentik adalah produsen sekunder terpenting dari ekosistem Laut Wadden yang merupakan sumber makanan penting bagi sejumlah besar burung dan ikan di daerah tersebut.
Selain peran kunci ini sebagai penghubung ke tingkat trofik yang lebih tinggi dalam makrozoobentos jaring makanan juga berkontribusi pada fungsi ekosistem lainnya. Pemberian pakan endapan dan bioturbasi oleh makrozoobentos, misalnya, mengubah komposisi sedimen, sedangkan irigasi meningkatkan pertukaran oksigen dan elemen lain antara air dan sedimen.
Pengumpan suspensi mentransfer materi tersuspensi dari kolom air ke sedimen dan lapisan padat bivalvia epibenthic membentuk struktur biogenik yang menyediakan habitat bagi banyak spesies terkait.
Pengaruh antropogenik di seluruh dunia, seperti eutrofikasi, polutan non-nutrisi, invasi spesies, penangkapan ikan berlebihan, perubahan habitat, dan perubahan iklim, memengaruhi proses ekosistem di laut pesisir. Faktor-faktor ini juga telah dibahas untuk Laut Wadden dalam Laporan Status Kualitas Laut Wadden sebelumnya tetapi tetap relevan hingga saat ini.
Peningkatan biomassa makrozoobentos di Laut Wadden bagian barat dikaitkan dengan eutrofikasi, karena peningkatan beban hara hingga tahun 1980-an. Saat ini, beban hara semakin menurun dan dapat menyebabkan produksi sekunder dan biomassa makrozoobentos menurun.
Iklim yang menghangat dan khususnya musim dingin yang lebih sejuk diharapkan untuk meningkatkan kelangsungan hidup musim dingin banyak spesies, sedangkan perekrutan bivalvia diperkirakan menderita dari kelimpahan predator epibentik yang lebih tinggi setelah musim dingin yang hangat.
Peneliti Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jojok Sudarso mengatakan makrozoobentos dapat dikembangkan sebagai bioindikator untuk penilaian kesehatan perairan.
Menurutnya di masa mendatang merupakan suatu peluang yang besar untuk mengembangkan biokriteria dari hewan ini guna disesuaikan dengan kondisi ekoregion setempat. Hal itu diungkapkan dalam seminar virtual nasional "Ecological Tools dalam Penilaian Kesehatan Perairan Darat”.
Aktivitas antropogenik yang berada di daerah tangkapan air seringkali dilaporkan menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem akuatik.
Salah satu biota akuatik yang terdampak oleh aktivitas antropogenik di daerah tangkapan air adalah organisme makrozoobentos. Hewan tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai indikator biologi perairan.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh hewan tersebut, ternyata hewan itu relatif unggul sebagai alat untuk evaluasi kualitas lingkungan dibandingkan biota akuatik lainnya seperti ikan dan plankton.
Sementara itu, peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI Gunawan Pratama Yoga mengatakan kajian toksisitas bahan pencemar terhadap biota di perairan darat penting dilakukan.
Kajian toksisitas tersebut dilakukan guna menilai risiko keberadaan bahan pencemar bagi sumber daya hayati perairan darat.
Dia menuturkan melalui kajian toksisitas dapat ditentukan nilai ambang batas suatu bahan pencemar yang dapat ditolerir oleh biota perairan darat. Kajian toksisitas terhadap biota-biota endemik di Indonesia penting dilakukan untuk mengetahui tingkat toleransinya dalam menerima beban pencemar yang semakin tinggi di perairan darat Indonesia sehingga dapat dijaga kelestariannya sepanjang masa.