Rethinking 'Dedication of Life' Bung Karno
Pidato-pidato Sukarno yang menyinggung soal ‘Dedication of Life’ punya substansi sama, yaitu mengajak segenap warga negara untuk melakukan pengabdian kepada Tuhan, bangsa dan negara.

ADA yang menarik dari Arena Rakernas I dan HUT PDIP ke-47 di JIExpo Jakarta akhir pekan kemarin. Terutama ketika ‘Dedication of Life’ kembali dibacakan. Baik soal makna ‘Dedication of Life’ itu sendiri, maupun soal sosok yang kerap dipercaya untuk membacakan tulisan karya Bung Karno tersebut.
Seperti kita ketahui, ‘Dedication of Life’ merupakan karya agung yang ditulis Soekarno 10 September 1966 silam. Sebelum betul-betul ditulis, ‘Dedication of Life’ sebetulnya berulang kali disampaikan Bung Karno dalam berbagai pertemuan secara lisan.
Misalnya pidato di hadapan mahasiswa Universitas Gajah Mada di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta pada 1961 dan kontingen Indonesia yang akan mengikuti Asian Games IV di Jakarta pada 1962. Dia juga menyinggung ‘Dedication of Life’ dalam pidatonya pada acara pemberian gelar doktor honoris causa dalam ilmu pengetahuan kemasyarakatan dari Universitas Indonesia, 2 Februari 1963.
Pidato-pidato Sukarno yang menyinggung soal ‘Dedication of Life’ punya substansi sama, yaitu mengajak segenap warga negara untuk melakukan pengabdian kepada Tuhan, bangsa dan negara.
Saya adalah manusia biasa.
Saya dus, tidak sempurna.
Sebagai manusia biasa, saya tak luput dari kekurangan dan kesalahan.
Hanya kebahagiaanku adalah mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air,
kepada bangsa. Itulah dedication of life-ku.
Jiwa pengabdian inilah jadi falsafah hidupku. Saya nikmati dan jadi bekal hidupku.
Tanpa jiwa pengabdian ini, saya bukan apa-apa.
Akan tetapi, dengan jiwa pengabdian ini, saya merasa hidupku bahagia dan membawa manfaat.
SOEKARNO, 10 September 1966.
Secara substantif, ‘Dedication of Life’ tentu saja sangat penting. Terutama bila melihat kondisi partai pemenang pemilu 2 kali berturut-turut, PDI Perjuangan tengah dirundung pilu nan ringkih akibat kasus tukar guling pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI Dapil Sumatera Utara I.
Pilu, karena kasus ini disebut-sebut melibatkan beberapa kader terbaik partai moncong putih ini. Ringkih, karena kasus ini seolah mengkebiri gelar kehormatan honoris causa Sang Ketua Umum untuk bidang kemanusiaan yang diterima di hari yang sama.
Belum lagi, kasus tersebut ternyata juga melibatkan Anggota Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang notabene pemegang mandat undang-undang sekaligus pengawal demokrasi. Kasus ini merupakan bencana besar bagi demokkrasi kita.
Karena itulah, penting untuk kembali memaknai ‘Dedication of Life’ yang pernah ditulis dan digulirkan Bung Karno. Karena sepertinya, bangsa ini mendadak dengkik ketika mendengar kata pengabdian. Sebaliknya, begitu bertenaga ketika mendengar ada cuan yang menggoda. ‘Siap, mainkan!’
Padahal, seperti dikatakan oleh Bung Karno, definisi politik paling hakiki adalah mengabdikan diri bagi kepentingan orang banyak. Definisi ini selanjutnya menuntut kita untuk memiliki tujuan abadi yang tak hanya berorientasi pada diri sendiri namun juga orang lain. Kata Bung Karno, aku adalah engkau, dan engkau adalah aku atau ‘Tat Twam Asi’.
Makna Regenerasi
Hal menarik lainnya yang terekam adalah soal Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat, Ono Surono yang tiba-tiba muncul dan didaulat membacakan ‘Dedication of Life’. Meski tak diketahui pasti apa maksud dari penunjukan pria kelahiran Indramayu ini, tapi dalam sejarah PDI-P, tradisi pembacaan ‘Dedication of Life’ selalu sarat pesan simbolik.
Dalam Rakernas tahun 2013 misalnya, ketika sosok Jokowi tiba-tiba muncul dan didaulat membacakan ‘Dedication of Life’. Menurut Megawati saat itu, alasan kenapa Joko Widodo yang membacakan ‘Dedication of Life’ adalah untuk memastikan regenerasi di tubuh PDI Perjuangan berjalan.
Tak cuma itu, Megawati juga bilang, kalau Jokowi memiliki ‘getaran’ Sukarno. Setelah itu, kita pun mafhum jika momentum tersebut menjadi penanda munculnya sosok baru yang diusung dalam Pilpres 2014.
Ya, saat bangsa tengah paceklik pengabdian, regenerasi semestinya memang jadi pilihan. Baik bagi PDI Perjuangan sendiri, yang memang butuh penyegaran, atau pun partai dan institusi lainnya yang punya peran membesarkan bangsa.
Partai Amanat Naional (PAN) misalnya, ternyata juga disebut tengah mendorong upaya regenerasi. Ini nampak dari pernyataan Amien Rais jelang Kongres PAN 2020. Amien Rais bahkan nyata-nyata menyebut ada 4 kandidat Ketua Umum pada Kongres PAN 2020 mendatang.
Dalam iklim kepemimpinan partai politik yang demokratis, regenerasi kepemimpinan memang menjadi niscaya. Karena dengan regenerasi hak-hak asasi konstituen dan rakyat untuk menentukan masa depan bangsanya dikembalikan secara utuh.
Regenerasi juga diyakini dapat menjamin dihasilkannya kepemimpinan nasional yang kuat dan kredibel. Puncaknya adalah ada kinerja yang memuaskan mayoritas rakyat dan bangsa secara keseluruhan.
Apalagi bila dalam kenyataannya, baik kepemimpinan nasional maupun partai politik ada kekurangpuasan dari konstituen. Pemikiran-pemikiran alternatif dalam pembentukan kepemimpinan nasional adalah wajar adanya.
Regenerasi sejatinya merupakan proses yang alami dalam kehidupan. Setiap hari sel-sel tubuh manusia mengalami kerusakan (degenerasi) dan peremajaan (regenerasi) secara alami dan seimbang. Regenerasi juga berarti penyiapan kepribadiaan dalam suatu pola masa depan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, regenerasi merupakan sebuah keniscayaan dan imperative sejarah yang tak dapat dihindari. Artinya, akan selalu lahir generasi-generasi baru yang berusia muda, sementara generasi sebelumnya akan menua dan mengalami penurunan produktivitas.