Rehabilitasi Aset Negara

Rehabilitasi Aset Negara
Foto TMII/Net.

MONITORDAY.COM - “Taman Mini tidak saja dibangun akibat imajinasi dan ambisi Ibu Tien. Namun juga terlibat intimidasi, represi dan korupsi yang dibalut dengan narasi proyek kebanggaan nasional.”

Awalnya berangkat dari obrolan para istri pejabat Orde Baru, yang ingin punya gengsi sebuah taman sekelas Disneyland di Indonesia. Pembicaraan itu ditangkap oleh oleh Ibu Tien, barang pasti agenda ini akan secepat mungkin direalisasikan Soeharto.

Wajar saja, sebagai seorang perempuan dan seorang ibu sensitifitas Bu Tien akan sebuah taman pastilah sangat kuat. Tidak ada yang salah dengan sebuah imajinasi membangun taman impian di dalam negri. Namun kemudian masalah, ketika proyek ambisius itu dibangun dalam kondisi ekonomi rentan dan tidak melalui mekanisme semestinya. 

Siapa berani menentang kehendak Ibu Negara dalam sebuah rezim otoritarian. Sejak 1971 Bu Tien sudah mulai menggembar-gemborkan proyek ambisius TMII. Bahkan dalam pernyataan pers kepada KOMPAS pada tahun 1972, Bu Tien menyatakan bahwa wajar jika negara membantu Yayasan Harapan Kita dan berdalih bahwa mega proyek TMII yang ditaksir 10,5 milyar itu sudah sesuai prosedur.

Realisasi dari ambisi Bu Tien memang tidak main-main, Soeharto sebagai suami sekaligus Presiden berjibaku untuk mewujudkan ambisi dambaan hati. Atas nama gengsi keluarga, rencana proyek TMII menjadi pembahasan nasional dalam Sidang DPR-RI masa kerja 1971-1972. Alibi ini untuk memperkuat bahwa proyek TMII mendapatkan dukungan dari segenap unsur pemerintahan dan partai politik.

Realisasi proyek TMII juga dipercepat dengan krisis minyak dunia (oil boom) sejak tahun 1973. Akibat lonjakan permintaan minyak dan gas, Indonesia mendapat keuntungan kurang lebih US$ 6,5 milyar dalam rentang lima tahun (1973-1978).

Kembali Kepangkuan Negara

Dasar kebijakan pemberian kuasa kelola TMII kepada Yayasan Harapan Kita, berpayung Keputusan Presiden No.51 Tahun  1977. Namun, dinyatakan dalam pasal pertama bahwa lahan seluas ratusan hektar adalah milik negara. Tidak bisa dipungkiri secara legal dan faktual bahwa lahan TMII secara penuh dimiliki oleh negara.

Perlu juga kita ingat bahwa realisasi proyek TMII bukan saja imajinasi yang berdampingan dengan ambisi. Semua alibi terbungkus rapi di balik busuknya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme orde baru. Begitu tidak wajar, proyek pemerintah dikelola oleh sebuah yayasan keluarga. 

Upaya reinventaris aset negara yang selama ini dikelola oleh pihak yang tidak semestinya, bukanlah pekerjaan mudah. Presiden Jokowi berdiri bukan saja atas nama Kepala Negara, namun juga sebagai Negarawan yang kembali memulihkan aset-aset negara yang terlantar dan tercuri sebelumnya. 

Satu sisi pemerintah diamanahkan untuk menjaga harta dan kekayaan negara, namun di sisi yang lain pemerintah akan dituding habis-habisan karena dianggap tidak menghargai Presiden sebelumnya.

Setelah 44 tahun TMII dikelola oleh pihak yang tidak semestinya, kesungguhan Presiden Jokowi dalam menjaga aset negara bukan omong kosong di siang bolong. Bahkan ketika SBY menjabat Presiden dua periode, yang konon didukung penuh militer tidak punya nyali setimpal dengan keputusan Presiden Jokowi saat ini. Sifat loyo SBY dalam menjaga aset negara, boleh dimengerti barangkali dirinya punya hutang dengan kejahatan masa lalu. Atau boleh jadi, SBY juga sederajat dengan takaran ambisi kekuasaan orde baru. Mengambil alih aset negara, dengan dalih pengelolaan yayasan keluarga.

Yang pasti Perpres No.19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah bukan saja mengembalikan aset negara kepada pihak yang sepatutnya. Tetapi juga menjadi harapan sekaligus garansi, bahwa aset lain yang masih terlantar dan tercuri akan bisa dikembalikan kepada negara dan rakyat Indonesia.

Revitalisasi Fungsi TMII

Jika orang seperti Fadli Dzon dan Fahri Hamzah menjadi gusar atas pengembalian TMII kepada negara. Kita bisa maklum, karena kedua orang ini adalah anak zaman yang hidupnya diongkosi oleh otoritarian orde baru. Sehingga kita mahfum atas pernyataan mereka yang selalu berkorelasi dengan isi perut, bukan isi kepala.

Mengelola lahan seluas kurang lebih 146,7 hektar dengan taksiran revaluasi aset senilai 20 triliun bukan hal mudah. Selama ini TMII relatif digunakan sebagai tempat wisata dan pendidikan konvensional anak. Ada beberapa museum yang memang dikelola oleh kementerian negara.

Pengambilalihan kelola TMII dari tangan Yayasan Harapan Kita, kembali pada pangkuan negara adalah hal yang semestinya dilakukan. Ini logika sederhana yang berlaku juga di banyak negara. 

Dalam situasi krisis ekonomi dan pandemi, negara perlu kembali mecatat ulang aset-aset yang bisa dijadikan sebagai modal penggerak ekonomi. Sebagaimana pemerintah juga dituntut untuk bisa memberikan fasilitas dan pelayan terbaik kepada warga negara.

Paling tidak saya merumuskan ada tiga hal penting yang menjadi alasan khusus Presiden Jokowi memutuskan untuk melakukan trobosan berani terkait pengambilalihan serta perlindungan aset negara.

Kita membaca motiv pertama, pengambilalihan TMII sebagai modal penggerak ekonomi negara. Dengan lahan  seluas 146,7 hektar dengan taksiran nilai 20 triliun. TMII juga bisa menjadi salah satu sumber pemasukan negara dari kegiatan ekonomi yang bisa dikembangkan. Mengingat selain TMII, GBK dan Area Kemayoran juga lahan yang dikelola negara melalui Kemensetneg RI.

Agenda kedua adalah penghijauan hutan kota disertai dengan kolaborasi pengembangan energi baru terbarukan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa Presiden Jokowi memiliki tekad dan komitmen untuk memenuhi Perjanjian Paris terkait bauran EBT pada energi final nasional sebesar 23% di tahun 2025. Tentu hal ini sejalan dengan perluasan hutan kota di Jakarta, sebagai salah satu kota penyumbang polusi. Niat ini juga akan sejalan dengan pemanfaatan konsumsi energi di kawasan Badan Layanan Umum (BLU) yang berorientasi pada teknologi ramah lingkungan dan tinggi bauran EBT. 

Ketiga adalah langkah politik kenegaraan. Presiden telah memberikan sinyal kepada rakyat serta para elit politik nasional. Bahwa dirinya sebagai Presiden akan terus memburu aset-aset negara yang selama ini dikelola oleh pihak yang bukan semestinya. Bukan tidak mungkin, aset-aset negara yang selama ini dikuasai oleh pihak yang bukan semestinya bisa segera kembali ke pangkuan negara.

Dengan cara pandang ini kita menyimpulkan bahwa apa yang diutarakan Fahri Hamzah apalagi Fadli Dzon ibarat raungan anjing lapar di ujung malam. Jika Fadli Dzon menuding kecurigaan, bahwa aset TMII akan dijual kembali. Maka mudah sekali mematahkan tudingan busuk itu. Kemensetneg cukup membuat aturan khusus dan mengikat yang berkonsekuensi pada hukum pidana. 

Sehingga siapapun kelak menjual aset negara bisa berujung pidana hukuman penjara. Atau ocehan Fahri Hamzah yang meminta pemerintah untuk bijak dalam menghargai karya Ibu Tien. Pernyataan ini juga mudah ditumpas. Tanyakan saja kepada Fahri Hamzah, 32 tahun Soeharto memimpin secara otoriter, banyak nyawa yang hilang atas kekuasaan itu. Namun, pernahkah sesekali sebelum wafat Soeharto meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Rasanya permintaan maaf itu belum pernah tiba di telinga kita.

Kita bermunajat bahwa niat pemerintah adalah terusan harapan rakyat. Akal budi dan segala kerendahan hati perlu selalu dikedepankan dalam membangun jati diri. Sudah saatnya kita mekar bersama dengan segala capaian kebangsaan pasca pandemi. Kesuksesan kita bukan sekedar resiliensi atas inflasi ekonomi atau melewati masa pandemi. Kendati soal mewujudkan mimpi bersama dalam kerangka bangsa serta peradaban nusantara.