Bala Bantuan Hadapi Korona

Dengan berkurangnya stress, sistem kekebalan tubuh pun akan tetap terjaga. Tenang, sabar, dan bahagia; Inilah bala bantuan sesungguhnya.

Bala Bantuan Hadapi Korona
Ilustrasi foto/Sofwan-MMG.

PAGI INI, Kamis, 9 April 2020, setelah subuhan dan meminum segelas lemon hangat, saya mendapat beberapa kiriman pesan soal situasi di negeri ini.

Beberapa pesan diantaranya soal perkembangan pencarian vaksin, ada pula soal beragam cara warga melindungi lingkungan rumahnya dari infeksi virus korona disertai dengan tangkapan layar soal penutupan sejumlah jalan. ‘Lock don’t’ katanya.

Saya coba tanya ke satu dua teman yang mengirimkan berita tersebut. Jawabannya sama, dari media sosial.

Saat ini, semua orang memang sedang berpacu dengan waktu, untuk mengalahkan korona, makhluk nan kecil namun amat ganas seukuran 0,05-0,3 mikron.

Setidaknya, ada 206 negara yang kini tengah berjibaku dan berpeluh keringat untuk menghadapi pandemi virus korona. Mulai dari menelurkan kebijakan darurat kesehatan, memberi insentif agar ekonomi tak amburadul, atau mendorong para ilmuwannya untuk menemukan obat atau vaksin untuk memutus rantai penyebaran.

Ada juga orang seperti Bill Gates. Pendiri Microsoft yang turun tangan memimpin pembangunan pabrik pembuat vaksin virus korona. Tentu saja dana yang dikeluarkan tak sedikit, bisa miliaran dollar.

Hasilnya, dalam waktu dekat para ilmuwan dunia dijadwalkan mulai akan merilis temuannya masing-masing. Semoga saja.

Sejumlah ilmuwan di negeri ini, tak mau ketinggalan. Sudah ada yang menemukan senyawa bakal calon obat korona hingga ventilator untuk menunjang pernafasan pasien korona.

Masih banyak lagi, ada mpon-mpon, ramuan herbal, hingga minyak VCO, ekstrak minyak kelapa yang sebetulnya tak berbeda jauh dengan yang biasa dibikin ibu kita jaman baheula. Saya masih ingat, kalau orangtua bikin minyak, maka ketika itu pula produksi galeno melimpah. Ini enak sekali kalau ditambah nasi hangat.

Luar biasa bukan.

Hanya saja, hal-hal seperti ini tidak boleh cuma lantang diteriakan. Tapi juga harus dilakukan. Karena ada banyak orang juga yang saat ini hanya menunggu bala bantuan.

Apalagi ini bisa menjadi percuma. Kalau dilarung di kanal-kanal digital (media sosial). Seumpama menumpahkan air tawar ke tengah laut, seberapa pun takarannya rasanya asin juga.

Sebentar lagi Ramadhan tiba, saya putuskan untuk melakukan latihan puasa, dari godaan like, share, dan suprett di media sosial. Karena isinya lebih banyak soal pertarungan istana dan balaikota atau Washington, Beijing dan WHO dalam mengatasi korona. Cita rasanya terlalu politis ketimbang kemanusiaan. Semoga itu hanya di media sosial.

Betapapun algoritma merupakan kunci dari semua perubahan mutakhir yang saat ini terjadi, dan banyak orang yang berkelakar ‘apa yang terjadi jika di dunia ini tidak ada algoritma’. Tapi tetap saja memiliki sisi lain yang disebut Irene Taylor sebagai sudut gelap dunia maya, terutama di media sosial.

Sudut gelap itulah yang ikut melahirkan echo-chamber (ruang gema). Kondisi dimana seseorang menerima informasi, ide dan gagasan homogen secara berkala. Celakanya ada filter yang membuat pandangan lain tak bisa masuk dalam ‘ruang’ itu. Jadi, wajar toh jika yang kecanduan media sosial, selalu merasa paling benar.

Meski beritanya sama-sama dari istana, tapi saya senang dengan kabar soal Menteri Basuki yang ternyata negatif korona. Agar tak terjebak oleh alur ruang gelap tadi, saya coba kontak beberapa kerabat yang dekat dengan Menteri Basuki. Dan benar, ternyata menteri nyentrik ini sempat berinteraksi dengan Menhub Budi Karya Sumadi. Orang lingkaran istana pertama yang dinyatakan terjangkit virus korona.

Ketua Gugus Tugas Penangan Covid-19, Doni Monardo sempat berkelakar. Jika sikap tidak panik Menteri PUPR itu menjadi penyelamat dirinya tak terkena virus korona.

Doni Monardo lantas mengutip sebuah data penelitian, yang menyebut kunci melawan Covid-19 adalah 20 persen tindakan medis, dan 80 persen psikologis.

Karena itu, tak bisa kita hanya menunggu. Keluarlah dari sudut gelap dalam serpihan alur algoritma media sosial.

Berikrarlah seperti disampaikan Imam Syafii, bahwa 'kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika terus berada di dalam hutan. Tapi jika ia keluar dari hutan, ia akan menjadi parfum yang bernilai tinggi.'

Alirkan kabar dan energi positif kepada orang lain. Untuk orang-orang di desa, jangan jejali mereka berita-berita dari sudut gelap dunia maya. Alirkan kepada mereka program-program padat karya tunai seperti yang disarankan presiden. Percepat, agar mereka bisa bernafas. Tentu saja dengan memperhatikan protokol kesehatan.

Para petani yang sebentar lagi panen, mari bergerak. Minta bantuan para driver ojek daring yang mulai sepi peminat, untuk menyalurkan hasil panen.

Saya dapat kabar dari petani di Majalengka, mereka mau panen padi katanya. Saya bilang, kumpulkan dan mari kita saya. Bukan karena panic buying, tapi semata menyalurkan pesan positif hingga ke desa-desa.

Di Sleman Yogyakarta lebih keren lagi. Para petani yang kebingungan mensupply hasil hasil tani dan ternaknya berkolaborasi menciptakan aplikasi untuk melakukan transaksi secara daring. Pasar-pasar modern yang selama ini mengucilkan mereka, tergantikan perannya oleh mereka.

Kabar kesembuhan pasien positif korona di Jawa Tengah juga menarik perhatian saya. Selain menguak keampuhan ramuan herbal bernama empon-empon, juga memberi kita keyakinan tambahan, bahwa kesabaran dan doa adalah obat mujarab mengatasi wabah korona.

Inilah rumus kesembuhan paling sederhana seperti kata Ibnu Sina. Melakukan karantina, terus berusaha dan tak lupa berdoa.

“Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan,” kata Ibnu Sina, tokoh ilmu kedokteran dan pengobatan dunia.

Psikolog Wiene Dewi dari Himpunan psikolog Indonesia (Himpsi) mengatakan, kepanikan, cemas, dan stress dapat menyebabkan daya tahan tubuh menurun. Sehingga rentan terhadap penyakit termasuk infeksi virus korona.

Kata dia, jika kita mudah marah, cemas, sedih dan tertekan maka otak kita akan mengeluarkan hormon noradrenalin, yaitu hormon yang sangat beracun yang membuat fisik kita menjadi lemah, sakit-sakitan, dan cepat tua.

Kalau saya boleh menambahkan juga mempercepat kematian. Jadi bisa saja, kita mati bukan karena korona semata tapi karena kepanikan dan kecemasan.

Dengan daya tahan tubuh yang tetap terjaga baik, maka tubuh tidak mudah terkena penyakit. Karena itu, warga diharapkan tetap tenang tidak cemas berlebihan. Apalagi sampai stres berkelanjutan.

Jadi, mari tertawa sajalah. Tak perlu menunggu Bill Gates, karena terlalu lama. Bukan hanya menyenangkan, tertawa juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.

Salah satu manfaat tertawa adalah meningkatkan produksi hormon endorphin yang bisa meredakan stress dan membuat mood menjadi lebih baik.

Dengan berkurangnya stress, sistem kekebalan tubuh pun akan tetap terjaga. Tenang, sabar, dan bahagia; Inilah bala bantuan sesungguhnya.