Redefinisi Amal Usaha Muhammadiyah

MONITORDAY.COM - SAAT memberi pengantar buku “Matahari Terbit di Balik Pohon Beringin” karya Mitsuo Nakamura, Mukti Ali menyebut Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang memiliki banyak wajah (dzu wujuh).
Melalui istilah ini, Mukti Ali hendak memberi ilustrasi bahwa Muhammadiyah sebagai sebuah entitas organisasi memiliki beragam aktivitas yang tak terbatas pada aspek keagamaan ansich, tapi juga di bidang pendidikan, ekonomi, sosial bahkan politik.
Tak heran jika ada begitu banyak pihak yang menyebut Muhammadiyah dengan sebutan organisai keagamaan, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Tak lain karena peran luasnya selama ini. Tak berlebihan pula jika ada orang yang menyebut Muhammadiyah sebagai ‘The Largest Islamic Modern Organization’ dari negara-negara asing.
Sebutan-sebutan itu wajar adanya. Apalagi jika merujuk data yang dirilis Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PP Muhammadiyah, bahwa aset yang dimilikinya kini terdiri dari 3.370 TK, 2.901 SD/MI, 1.761 SMP/Mts, 941 SMA/MA/SMK, 67 pondok pesantren, dan 167 perguruan tinggi.
Belum lagi amal usaha di bidang kesehatan yang tercatat sebanyak 47 rumah sakit, 217 poliklinik, dan 82 klinik bersalin. Lalu amal usaha di bidang pelayanan sosial memiliki lebih 318 panti asuhan, 54 panti jompo, dan 82 rehabilitasi cacat. Jumlah ini kian hari kian bertambah seiring dengan perubahan zaman, dan peningkatan girah berorganisasi warganya.
Jika ditaksir, maka seluruh asset yang dimiliki Muhammadiyah bisa mencapai Rp320 triliun. Dahsyat sekali bukan. Jadi wajar jika disebut The Largest Islamic Modern Organization.
Pernyataan Mukti Ali dalam konteks ini juga merupakan sebuah otokritik. Bahwa banyak asset dalam perspektif ekonomi bukan berarti hanya banyak keuntungan, namun bisa berarti banyak beban (liabilitas).
Motivasi mendirikan Amal Usaha
Kim Hyung Jun adalah seorang guru besar antropologi dari Kangwon National University, Korea Selatan. Saat menjadi pembicara Pengajian Ramadhan yang dihelat PP Muhammadiyah pada Ahad (18/4), dia mengisahkan penelitiannya tentang pengalaman di balik proses membuat amal usaha oleh aktivis Persyarikatan Muhammadiyah.
Dia pun menjumpai sejumlah aktivis dan pengurus Muhammadiyah di beberapa wilayah di Indonesia. Prof Hyung Jun Kim amat takjub dengan semangat para aktivis yang telah berkhidmat dengan ikhlas di Muhammadiyah serta menunjukkan jumlah amal usaha terus meningkat dan menjadi kebanggaan.
Kim juga mendapati, bahwa sebelum membuat amal usaha partisipan kurang aktif dalam Muhammadiyah. Tapi selama proses pembuatan amal usaha menjadi sangat aktif. Ada pengalaman membuat amal usaha dengan penuh dinamika dan tantangan. Lebih lanjut Kim menyebut ada sebuah kegembiraan ketika amal usaha diperjuangkan terwujud.
Temuan menarik lain yang diungkap Kim, bahwa aktivis Muhammadiyah dianggap kurang mengutamakan spiritual dan lebih menggunakan akal (rasional). Namun ketika mengurus amal usaha, para aktivis memperlihatkan sisi spiritual yang amat kuat.
Amal usaha adalah arena dimana aktivis dapat mengalami pengalaman spiritual (yaitu merasa sentuhan berkah dari tuhan). Mereka meyakini adanya dukungan dari umat dan menganggap dirinya sebagai anggota Muhammadiyah sejati.
Selain memberi apresiasi atas pengalaman subjektif para aktivis dan warga Muhammadiyah ketika mendirikan amal usaha, Prof Kim juga memberi pesan agar aktivis Muhammadiyah harus menyadari pentingnya amal usaha untuk bertajdid.
Meski ia juga tak menampik jika ketika mendirikan amal usaha, para aktivis seringkali mengalami stress, pusing, kesel dan ragu-ragu. Karena itu setelah berjalan stabil, ungkap Kim, para aktivis perlu menyebarkan dan mengembangkan amal usaha sesuai zaman.
Pernyataan terakhir Kim ini amat penting. Karena tanpa kita sadari perkembangan asset amal usaha Muhamadiyah saat ini tak sepenuhnya menjadi sesuatu yang bisa menambah jumlah kas Muhammadiyah. Sebaliknya, malah bisa menjadi beban yang saban hari terus menggunung.
Redefinisi Amal Usaha
Di titik ini, maka penting sekali bagi para aktivis Muhammadiyah untuk melakukan redefinisi terhadap amal usaha. Upaya ini menjadi penting karena ada dilema yang tak bisa kita hindari yaitu sisi komersial dan sosial amal usaha.
Dilema seperti ini pernah pula ada dalam pengelolaan BUMN. Maka untuk mengatasinya kita mengenal ada istilah public service obligatioan/PSO. Pemisahan ini dilakukan untuk memperjelas mana yang memiliki tugas pelayanan publik, dan mana yang murni komersial.
Dalam konteks amal usaha, maka perlu dipisahkan atau dibuat presentase berapa dan mana yang murni komersial, lalu berapa dan mana yang ada sisi sosialnya. Ini penting, apalagi jika melihat tantangan dunia usaha saat ini yang sudah go digital, amal usaha mau tidak mau harus dikelola secara profesional.
Apalagi saat ini kita dihadapkan dengan revolusi industri, pandemi dan perubahan teknologi yang menuntut kita sebagai organisasi harus menjadi agile organization. Organisasi yang cepat dan lincah dalam menanggapi perubahan stakeholder atau lingkungan.
Mengelola amal usaha dengan begitu tidak bisa lagi hanya mengandalkan spirit kesukarelaan. Tapi juga berdasarkan pertimbangan bisnis yang matang.
Selama ini, kita fokus pada pengelolaan amal usaha model lama, tapi kita baru sadar di sekeliling kita sudah tumbuh amal-amal usaha yang dikelola secara profesional. Ada banyak rumah sakit, lembaga pendidikan, bahkan lembaga zakat yang berdiri megah di depan atau samping amal usaha Muhammadiyah. Lebih megah, dan menguntungkan secara bisnis.
Kita sibuk menutup cicilan bank untuk membiayai pembangunan fisik amal usaha, sementara amal usaha lain sedang menikmati masa panennya. Selama ini, kita seolah tidur pulas. Saat bangun kita terhenyak.
Redefinisi amal usaha jadi penting. Agar di tengah perubahan yang terjadi, kita bisa tentukan masa depan. Tetap amal usaha kah, badan usaha kah, atau malah tata usaha.
Ini kita lakukan, karena terkait reputasi Muhammadiyah sebagai The Largest Islamic Modern Organization. Amal-amal usaha yang dimiliki Muhammadyah harus diletakan secara betul; mana yang profit oriented dan mana yang sosial oriented atau mana yang blended (profit sekaligus sosial oriented) dengan persentase yang mengutamakan kesehatan alur keuangan.
Meminjam metodenya duo guru besar Harvard Business School, Robert Kaplan dan David Norton, maka kita perlu mendefinisikan empat perspektif dalam mengelola amal usaha, yaitu; perspektif keuangan, perspektif proses bisnis internal, perspektif pelanggan, serta pengetahuan, pendidikan dan perspektif pertumbuhan.
Kaplan dan Norton lebih lanjut menyebut, jika melalui model yang populer kita kenal dengan istilah Balanced Scocard ini, bahwa keempat arena ini harus dievaluasi secara konsisten. Jangan mudah berpuas diri, apalagi terjebak dengan tradisi lama dalam mengelola amal usaha.
Hal lain yang penting dilakukan ketika meredefenisi amal usaha adalah dengan menentukan apa sebetulnya yang paling penting dicapai dalam bisnis melalui penentuan Key Performance Indicator (KPI). Dari sini kita bisa melihat seberapa efektif perusahaan, unit kerja, atau bahkan individu mencapai tujuan bisnis utama. Langkah apa saja yang diperlukan untuk menyikapi kondisi perusahaan.
Melalui upaya pembobotan KPI ini, kita pun bisa berharap ada pemaknaan pada domain pekerjaan yang ada. Lalu apa impactnya pada kinerja perusahaan, prioritas, dan tentu saja pada akhirnya adalah alokasi sumberdaya. Sehingga kita bisa melihat ada perubahan pada apa yang disebut Prof Kim di atas sebagai efek ciri khas membuat amal usaha berupa stress, pusing dan lainnya menjadi kesadaran akan pentingnya kreativitas dan produktivitas. [ ]