Refleksi Erick Tohir, Cermin Kusam Industri Farmasi Indonesia
Sekitar 90 persen bahan farmasi Indonesia impor karena tidak mudah untuk mengembangkan bahan baku obat.

PERNYATAAN menteri BUMN Erick Tohir beberapa waktu lalu mengundang kontroversi. Pasalnya, dia menyoroti bahan baku industri obat dalam negeri sangat tergantung pada impor. Mayoritas bahan baku obat-obatan di Indonesia masih bergantung dari negara-negara lain. Sekitar 90 persen bahan farmasi Indonesia impor karena tidak mudah untuk mengembangkan bahan baku obat.
Hal tersebut juga diakui oleh Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia yang menyatakan bahwa penggunaan bahan baku impor pada obat-obatan yang diproduksi di dalam negeri bahkan bisa mencapai 95%. Di saat pandemi covid-19 saat ini, banyak negara berlomba untuk menyediakan layanan kesehatan bagi warganya, dari mulai menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) maupun obat-obatan yang dianggap mampu mencegah penularan Covid-19 semakin meluas. Prioritas pada kesehatan menjadi perhatian besar seluruh pemerintahan di dunia. Belanja negara untuk penyediaan alat-alat kesehatan maupun memberi tambahan insentif bagi tenaga medis meningkat melalui kebijakan stimulus fiskal.
Menteri Erick pantas marah besar. Jika rencana belanja negara yang digelontorkan untuk kebutuhan pembelian obat dan alat kesehatan dilakukan, maka bisa dipastikan yang paling banyak diuntungkan adalah negara lain penyedia bahan baku. Kebutuhan impor melonjak, yang akhirnya juga dapat berdampak negatif bagi perekonomian nasional. Kondisi ini sungguh ironis, ketersediaan sumber daya yang melimpah di dalam negeri ternyata belum bisa menjadikan Indonesia mandiri dalam hal penyediaan obat-obatan. Dari sisi keamanan nasional, hal ini merupakan ancaman bagi kamanan manusia (human security), karena menyangkut kelangsungan hidup seluruh warga negara.
Kebutuhan akan produk-produk kesehatan akan mengalami tren peningkatan ke depan. Krisis pandemi Covid-19 memberi kesadaran baru untuk lebih menjaga kesehatan, di dalam maupun di luar rumah. Produk kesehatan yang menawarkan peningkatan imunitas, pencegahan penyakit, menjaga vitalitas dan kebugaran diprediksi akan terus diburu sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat. Di tengah belum ditemukannya vaksin, tindakan preventif untuk menjaga kondisi kesehatan tubuh, menjadi pilihan yang tidak bisa dihindari.
Survey Neurosensum pada minggu pertama Maret 2020 menunjukan hal tersebut. Ada peralihan yang cukup signifikan dari pola belanja konsumen kepada kebutuhan untuk kesehatan kebersihan. Misalnya belanja pembersih tangan (handwash) meningkat 85%, konsumsi vitamin (46%), obat flu/demam (32%), konsultasi dokter (30%), termasuk alat-alat fitness (18%). Peningkatan ini juga banyak dipengaruhi oleh perilaku produsen produk kesehatan yang semakin gencar beriklan di masa Covid-19. Survey Nielsen mencatat, terjadi peningkatan belanja iklan produk vitamin sebesar 14% menjadi lebih dari Rp90 miliar. Sementara belanja iklan obat batuk meningkat 22% menjadi lebih dari Rp 30 miliar. Pada awal Maret, belanja iklan vitamin mencapai 300 spot iklan/hari, pada 18 maret naik menjadi 601 spot iklan sehari, dengan nilai Rp15, 3 miliar per hari.
Nilai ekonomi industri farmasi sangat besar. Sektor farmasi mewakili industri besar, dengan pasar global bernilai lebih dari satu triliun dolar AS (statista.com). Perusahaan-perusahaan farmasi global terkemuka yang dikenal luas adalah Pfizer, Merck dan Johnson & Johnson dari AS, Novartis dan Roche dari Swiss, Sanofi dari Perancis, dll. Nilai industri farmasi Indonesia sekitar 4,7 miliar dolar AS atau setara dengan 27 persen dari total pasar farmasi ASEAN. Data Kementrian Perindustrian, menyebutkan omzet industri obat herbal nasional di 2011 telah mencapai Rp 11 triliun, dan meningkat hingga Rp 20 triliun pada 2015. Euromonitor juga memperlihatkan pasar obat herbal mengalami pertumbuhan permintaan 9 persen dari tahun ke tahun. Yakni 500 juta dolar AS pada 2012, 663 juta dolar AS pada 2013, dan 800 juta dolar AS pada 2017.
Potensi Farmasi Berbasis Herbal
Indonesia mungkin telah tertinggal dengan negara lain dalam hal obat-obatan berbahan baku kimia. Kemajuan yang diperoleh negara-negara maju sudah demikian pesat dalam melakukan inovasi pengetahuan dan mendongkrak ekonomi lewat industri farmasi. Sumber daya keuangan dimobilisasi untuk menjangkau penelitian-penelitian serius berbiaya mahal oleh pusat-pusat riset terkemuka maupun perguruan tinggi. Pemerintah negara-negara maju juga seringkali melakukan strategi diplomasi ekonomi yang kuat untuk memperluas jangkauan pasar produk farmasi dan alat kesehatan mereka ke luar negeri. Tak jarang juga kita mendengar informasi kerasnya persaingan bisnis di sektor ini. Terjadi monopoli pasar dan pengetahuan yang menyulitkan pemain baru untuk masuk berkompetisi.
Meskipun ada peluang yang masih cukup besar dari farmasi berbasis herbal. Apalagi Indonesia memiliki potensi bahan baku obat herbal dari tanaman obat asli Indonesia yang sangat besar. Sekitar 80 persen tanaman herbal dunia tumbuh di Indonesia, namun potensi ini belum dimanfaatkan potensi sepenuhnya. Kurang lebih 28 ribu spesies tanaman dengan 1.845 di antaranya teridentifikasi sebagai tanaman obat. Dari 1.845 spesies tanaman yang teridentifikasi sebagai tanaman obat, baru 283 spesies yang secara resmi terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM) sebagai obat dan telah digunakan masyarakat.
Sedangkan potensi sumber daya alam hayati laut masih belum dimanfaatkan secara optimal, oleh karena itu pengembangan tanaman obat sebagai bahan baku obat perlu di dorong dan menjadi salah satu prioritas riset nasional bidang kesehatan dan obat dengan tujuan mewujudkan kemandirian obat Indonesia.
Dari aspek ini, Indonesia sesungguhnya masih memiliki peluang untuk mengurangi dan menekan impor bahan baku obat kimia di masa datang. Sebagai negara mega biodiversitas, Indonesia harus menjadikannya sebagai keunggulan daya saing, dan mengekplorasinya untuk sumber kekuatan ekonomi nasional. Karakteristik industri obat berbasis herbal adalah kuatnya keterkaitan antar usaha besar dan usaha kecil dan menengah dalam bidang produksi. Sektor usaha besar dapat sekaligus memberdayakan usaha kecil seperti petani untuk menanam tanaman-tanaman herbal di ladang mereka. Mengganti tanaman keras yang sering dituding tidak ramah lingkungan, dengan tanaman pangan dan herbal yang memiliki potensi ekonomi yang besar. Kuncinya adalah pada kemauan politik pemerintah, penguatan sumber daya manusia dan riset, serta mobilisasi kebijakan dan pembiayaan untuk menopang industri ini.
Kebijakan yang Mandek
Pernyataan menteri BUMN di atas haruslah menjadi renungan serius. Tidak hanya sektor farmasi, industri manufaktur Indonesia secara keseluruhan memang sedang mengalami kemunduran atau sering disebut sebagai de-industrialisasi. Gejala ini bisa dilihat dari penurunan kontribusi sektor industri manufaktur Indonesia dari 24,7% terhadap PDB pada 2008 menjadi hanya 19,9% terhadap PDB pada 2018. Artinya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah terjadi penurunan sebesar 4,9%. Sejumlah pakar bahkan menyatakan bahwa telah terjadi de-industrialisasi prematur dalam sektor perekonomian kita. Yaitu sebuah kondisi dimana negara ini mengalami transformasi ekonomi berbasis jasa tanpa mengalami proses industrialisasi yang mapan.
Deindustrialisasi terjadi ketika tingkat pendapatan per kapita jauh lebih rendah daripada pendapatan per kapita negara-negara maju ketika negara-negara maju berada dalam periode puncak industrialisasi. Situasi ini terjadi di Indonesia, pada tahap awal, proporsi sektor pertanian menurun dan digantikan oleh sektor manufaktur dalam output nasional. Tetapi dalam waktu singkat, sebelum industri nasional tumbuh kuat dan mengakar, ekonomi nasional telah bergeser ke sektor jasa.
Rancang bangun pengembangan industri farmasi, kosmetik, dan alat kesehatan sebenarnya bukan persoalan baru, bahkan telah lama dicanangkan pemerintah. Tak kurang berbagai kebijakan sudah disusun untuk segera menetapkan langkah-langkah yang komprehensif dan terukur untuk mengatasi hal tersebut. Salah satunya tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional tahun 2015-2035. Dalam aturan ini, ketiga industri yang disebut di atas ditetapkan sebagai industri prioritas nasional yang akan dikembangkan. Ketiganya dikategorikan sebagai “industri andalan” yang berperan besar sebagai pengerak utama (prime mover) perekonomian di masa yang akan datang. Selain memperhatikan potensi sumber daya alam sebagai sumber keunggulan komparatif, industri andalan tersebut memiliki keunggulan kompetitif yang mengandalkan sumber daya manusia yang berpengaruh dan terampil, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Satu tahun setelahnya, presiden Jokowi juga mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 6 tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Inpres ini dikeluarkan dengan mempertimbangan keperluan untuk mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri melalui percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan. Terdapat 12 Menteri dan Kepala Lembaga yang ditugaskan presiden untuk melaksanakan tujuan di atas. Menteri-menteri tersebut yaitu: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan tinggi, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Kepala Bdan Koordinasi Penanaman Modal, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Sekarang waktunya. Pemerintah harus mempercepat implementasi kebijakan-kebijakan yang sudah dibuatnya. Sebuah peta jalan pengembangan industri farmasi yang terintegrasi dengan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang harus segera digelar. Koordinasi antar sektor dan stakeholder di sektor ini diperketat agar kendala yang ditemukan di lapangan dapat segera diatasi. Keunggulan komparatif Indonesia pada produk berbahan herbal harus menjadi peluang strategis untuk dimanfaatkan. Kita meyakini, kebutuhan industri obat herbal di Indonesia akan meningkat signifikan dengan permintaan pangan fungsional, salah satunya terlihat dari trend mengonsumsi obat herbal di masyarakat. Kampanye untuk kembali ke alam sedang menjadi gaya hidup baru dan sangat gencar disuarakan dunia internasional. Hal ini mendorong permintaan terhadap produk herbal semakin meningkat di negara maju maupun berkembang.