Negeri Berlimpah Berkah (Bagian 2)
Islam memberi solusi pembangunan yang bersumber dari infaq dan wakaf. Jika sebuah negeri dilandasi iman, akan muncul keberkahan dari langit dan bumi.

MONDAYREVIEW- Usulan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk menarik zakat 2,5 persen dari gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), seolah-olah hilang begitu saja, setelah diprotes oleh banyak kalangan. Meski demikian, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin sebenarnya mendukung usulan Menag yang mekanisme penarikan zakat-nya akan dirumuskan dalam Peraturan Presiden.
Pada masa Rasululloh shallallahu alaihi wa sallam, dan para khalifah islam, zakat diatur oleh negara. Bahkan, khalifah Abu Bakar Sidik memerangi penduduk yang tidak mau membayar zakat. Zakat adalah kewajiban yang harus dipaksa dan bukan dilakukan secara sukarela. Sebagaimana firman Alloh ta’ala dalam surat Attaubah, ayat 103.
Kesadaran masyarakat muslim untuk membayar zakat, sebenarnya sudah mulai membaik. Namun, masih ada yang belum percaya, penyaluran dana zakat jika dilakukan oleh pemerintah karena khawatir dikorupsi. Meskipun, pemerintah hanya memfasilitasi, karena ada lembaga khusus yang mengatur soal zakat, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Ada juga sebagian masyarakat yang merasa nyaman untuk menyalurkan zakat sendiri atau menyerahkan ke lembaga yang dipercayainya.
Meskipun bersifat sukarela, penarikan zakat melalui gaji seolah-olah bersifat memaksa. Bagi sebagian masyarakat, zakat menjadi tambahan beban hidup. Karena selain zakat, mereka pun harus memenuhi kewajiban pajak yang beragam, mulai dari pajak bumi dan bangunan, pajak penghasilan dan beragam pajak lainnya. Meskipun zakat sesungguhnya bisa menjadi menjadi pengurang pajak.
Lalu, kenapa kebanyakan masyarakat masih enggan untuk berzakat?
Padahal, zakat merupakan kewajiban untuk membersihkan harta kita, dan zakat bisa dijadikan solusi untuk pengentasan kemiskinan. Zakat tentu berbeda dengan pajak, yang difahami sebagai kewajiban warga negara, tidak ada kaitannya dengan kewajiban dalam beragama. Apalagi, ada sebagian ulama yang memfatwakan pajak adalah haram.
Ketika korupsi makin mewabah di era reformasi ini sempat mencuat wacana fatwa dari sebagian ulama untuk memboikot pajak. Kalau ini terjadi, tentu menjadi ancaman serius bagi pemerintah. Karena, penerimaan negara dari pajak akan berkurang. Lantas darimana pemerintah menutup anggaran belanjanya?
Sebagaimana kebanyakan negara lain, Indonesia mengandalkan pajak dari warga negaranya. Indonesia adalah negeri kaya yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Lalu, mengapa kekayaan alam kita tidak mampu menjadi sumber utama pembiayaan negara?
Alasannya yang sering kita dengar, faktor geografis dan demografi Indosnesia. Indonesia memiliki wilayah luas yang terdiri dari 17.000 pulau dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia yang populasinya mencapai 240 juta jiwa. Dengan kondisi tersebut, pembangunan secara merata diseluruh wilayah dan upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan dukungan finansial yang kuat untuk mewujudkan hal tersebut. Hasil kekayaan alam yang kita miliki ternyata belum cukup mampu membiayai program tersebut, sehingga peranan pajak masih sangat diperlukan.
Apakah alasan ini bisa diterima? Jangan-jangan karena manajemen yang salah, kekayaan alam Indonesia lebih dinikmati oleh segelintir pengusaha (konglomerat), apalagi kebanyakan perusahaan asing yang bermain di sektor strategis ini.
Harus diakui, Indonesia masih tergantung pada hutang luar negeri. Untuk penerimaan dalam negeri, salah satunya berasal dari pajak. Masih ingat dengan krisis keuangan yang menimpa Eropa. Yunani contohnya negara yang berada di ambang kehancuran, karena tidak mampu membayar utang negara yang mencapai 330 miliar euro (Rp2.838 trilliun) atau 142% dari PDB. Sedangkan, penerimaan negara dari sektor pajak tidak dikelola dengan baik, karena dikorupsi.
Hutang menjadi politik ekonomi dunia, hampir tidak ada negara yang terbebas dari hutang. Mari kita lihat Amerika Serikat. Negeri adidaya ini berhutang sekitar 31 persen dari pendapatannya, sedangkan Jepang 21 %, Inggris 17 %, Canada 12%, Prancis 10%, Italy 8% dan Jerman 2 %.
Untuk mengurangi defisit anggarannya, banyak negara yang menggantungkan pada penerimaan pajak. Amerika Serikat misalnya, misalnya, 96 % pendapatannya dari pajak. Sedangkan kita yang defisitnya hanya 9 % – 15 %, tingkat ketergantungan sebesar 76 % dari pajak pada tahun 2013, dan menjadi sekitar 79 % pada tahun 2014.
Menurut Muhaimin Iqbal, ahli ekonomi Islam, semakin tinggi suatu negeri mengandalkan pajak sebagai pendapatan, malah semakin defisit mereka. Kalau sample-nya hanya Amerika dan Indonesia, nampaknya korelasi tersebut benar adanya. Barangkali perlu diuji lagi untuk seluruh negara-negara di dunia dan dipelajari korelasi pajak ini dengan defisit – yang juga berarti hutang, korelasi dengan kemakmuran .
Apa dampaknya bila negeri terus berhutang karena kemampuan membiayai belanjanya semakin tidak tercukupi oleh pendapatan pajaknya? Sudah bisa ditebak hasilnya, negeri itu cepat atau lambat pasti akan bangkrut. Negara adikuasa dunia modern-pun Amerika Serikat nyaris bangkrut ketika pemerintah dan congress-nya bersitegang dengan masalah anggaran belanja dan pendapatan yang mengandalkan pajak.
Dalam sejarah Islam, penghapusan pajak ini pernah terjadi di masa Nuruddin Az Zenky ketika tahun 566 H mengumumkan pencabutan pajak – yang saat itu di sebagian wilayah sudah terkena pajak 45% – yang kemudian pengumuman pencabutannya dibacakan di seluruh masjid-masjid. Bunyi pengumuman itu adalah sbb :
“Kami rela dengan harta yang sedikit tapi halal, celakalah harta haram itu, sungguh celaka. Jauh dari ridho Robb. Kami telah istikhoroh kepada Allah dan mendekatkan diri kepada Nya dengan menghapus segala bentuk pungutan dan pajak di semua wilayah; yang dekat ataupun yang jauh. Menghilangkan semua jalan buruk, meniadakan setiap kedzaliman dan menghidupkan setiap sunnah (jalan) yang baik…lebih memilih balasan di kemudian hari di bandingkan kehancuran yang segera.”
Tulisan ini tidak sedang memprovokasi untuk tidak membayar pajak. Hanya mengingatkan, Romawi pernah jatuh, karena beban pajak yang besar yang ditetapkan Kaisar Heraklius terhadap penduduk wilayah kekuasaannya. William J. Durant pernah menulis, masyarakat asli Romawi sendiri merasa keberatan terhadap pajak-pajak tersebut, khususnya para petani yang terpaksa menjual tanah-tanah mereka untuk membayar pajak dan kemudian pergi meninggalkan kotanya. Karena itulah, mereka memilih dikuasai Islam, yang tidak membebankan pajak yang memberatkan sama sekali.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum pajak, tapi ada beberapa ulama yang membolehkan pajak, tapi dengan syarat yang ketat. Islam sebenarnya memberikan solusi lain, tidak sekedar zakat. Ada infaq dan wakaf produktif yang saat ini belum dikelola dengan optimal. Negara wajib membiayai orang-orang tidak mampu. Sumbernya, salah satunya dari orang kaya. Mereka memiliki kewajiban untuk menolong saudaranya yang miskin.
Berbeda dengan zakaat, infaq dan wakaf tidak ditentukan batasannya. Ingatlah dalam sejarah, Abu Bakar mengsedekahkan seluruh hartanya untuk umat, tak mau kalah Umar bin Khattab pun mengsedekahkan separto hartanya.
Orang yang membayar pajak, tidak dilandasi keyakinannya harta yang dibayarkan itu akan dicatat sebagai amal soleh, yang bisa dibawa mati hingga akherat. Tentu, berbeda dengan infaq dan wakaf. Orang tidak akan keberatan untuk menginfaqkan atau mewakafkan hartanya untuk kemaslahatan umat secara sukarela tanpa ada paksaan.
Masyarakat yang saling membantu inilah, menjadi solusi pembangunan dalam Islam. Bahkan, karena landasannya iman, kekayaan alam yang kita miliki akan cukup untuk membiaya negeri ini, sebagaimana yang dijanjikan Allah dalam Alquran.”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. Al A’raf: 96)