Kampanye Surplus Sensasi Minus Esensi
Dua bulan sudah putaran kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bergulir. Namun kedua pasang kandidat belum menyuguhkan sajian kampanye yang ampuh menarik dukungan mengalir. Berbagai survei mencatat pergerakan elektabilitas kedua kandidat bergerak lamban.

DUA bulan sudah putaran kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bergulir. Namun kedua pasang kandidat belum menyuguhkan sajian kampanye yang ampuh menarik dukungan mengalir. Berbagai survei mencatat pergerakan elektabilitas kedua kandidat bergerak lamban.
Paparan visi misi maupun program kedua kubu memang kurang dalam, kalau tidak mau disebut dangkal tak menghujam. Terkesan kurang dieksplor dan terperinci. Pembicaraan elit tim sukses maupun kedua pasang kandidat justru didominasi sensasi yang minus esensi.
Dalam rentang dua bulan ini, amat minim isu fundamental yang benar-benar melekat di sanubari publik. Energi kita malah terkuras oleh soal remeh temeh meski itu tampak menarik. Seperti tragedi hoax Ratna Sarumpaet, lontaran pernyataan tampang Boyolali atau politik Genderuwo, serta pembakaran bendera tauhid di Garut yang memantik polemik.
Sejauh ini, kasus hoax Ratna Sarumpaet adalah sensasi paling monumental yang mencuat di masa kampanye. Indikasinya terlihat daya sedot tragedi itu ampuh menyeret Prabowo Subianto, salah satu aktor utama di panggung pilpres terjerumus dalam kubangan. Banyak tokoh terkemuka lain macam Amien Rais yang tak luput ke pusaran hoax Ratna Sarumpaet.
Pemberitaan hoax nan memorable itu terdengar amat lantang. Durasinya pun panjang. Demikian pula eskalasi perbincangan yang ditimbulkan. Hingga kini bahkan masih kerap terulang. Digunakan sebagai amunisi saling menyerang. Atau sekadar sebagai candaan.
Berdasarkan temuan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA bertajuk “Dua Bulan Kampanye : Pertarungan Isu dan Program Capres”, hoax Ratna Sarumpaet merupakan satu dari enam isu paling populer dalam dua bulan masa kampanye berjalan. Isu itu diketahui oleh 57,2% pemilih. Meski mendapat ekspos secara luas, ternyata hanya 3,7% yang menyatakan suka dengan si kasus penuh sensasi. Sebanyak 89,5% justru menyatakan tidak suka, yang bisa jadi berarti antipati.
Selain hoax Ratna Sarumpaet, ada lima isu lain yang menurut LSI punya efek elektoral. Isu yang didengar oleh lebih dari 50% pemilih dengan tingkat disukai/tidak disukai lebih dari 60% pemilih. Yaitu penyelenggaraan Asian Games, kunjungan Jokowi ke gempa Palu, kunjungan Jokowi ke gempa Lombok, kurs rupiah 15 ribu/USD dan pembakaran bendera tauhid di Garut.
Perang Pasar Tradisional
Selain enam isu sensasional tersebut, yang juga ramai diberitakan adalah pertarungan opini Sandiaga versus Jokowi. Perang dari gelanggang pasar tradisional. Dari berbagai isu yang mencuat, perang pasar tradisional ini yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat kebanyakan. Mayoritas pemilih di Indonesia yang jadi andalan.
Rivalitas Presiden Joko Widodo dan cawapres Sandiaga Uno dengan saling balas berkunjung ke pasar tradisional merupakan sajian berbeda. Tak pernah kita temukan di pilpres-pilpres sebelumnya. Pasar rakyat menjadi arena bagi Jokowi dan Sandiaga merebut suara masyarakat bawah. Pasar tradisional yang identik sebagai sentra ekonomi rakyat menjelma jadi gelanggang perang guna merebut kuasa.
Berbagai isu ekonomi diolah. Seperti daya beli, stabilitas harga pangan dan sembako, infrastruktur pasar hingga isu keberpihakan kepada pedangan kaki lima. Isu-isu tersebut merupakan santapan harian masyarakat di bawah. Pasar adalah pusat pergumulan rakyat yang kerap luput dari para pemangku jabatan di Ibu Kota.
Kehadiran kontestan Pilpres di pasar tradisional berdampak positif. Pasar sebagai simbol ekonomi dasar rakyat menuai sorotan masif. Dampak pemberitaan tersebut tentu saja diharapkan membuka tabir dinamika ekonomi masyarakat di kampung-kampung. Menjadi input berharga dan pijakan kuat bagi calon pemimpin Indonesia dalam meramu kebijakan yang konstruktif.
Genderang perang pasar tradisional yang ditabuh Sandiaga selaku penantang, sebetulnya menguntungkan bagi Presiden Joko Widodo. Semakin mengokohkan branding Jokowi sebagai pemimpin yang selalu turun ke bawah. Meski terkesan terbawa irama permainan lawan.
Namun yang patut diingat, Jokowi muncul di kancah kepemimpinan nasional berkat gaya ikoniknya, blusukan. Memancing Jokowi agar terus-menerus turun ke bawah bisa jadi membangkitkan memori publik akan resistensi terhadap gaya kepemimpinan elitis. Kesan yang harus diakui lebih dekat pada sosok Prabowo Subianto dengan latar belakang militernya yang disiplin dengan stratifikasi atasan-bawahan. Identifikasi yang juga tampak dari gaya pakaian formal.
Intensitas blusukan ke pasar-pasar tentu merdampak ganda bagi Jokowi sebagai petahana. Jokowi kian memahami situasi ril kehidupan ekonomi masyarakat. Tak cuma menerima dan membaca dari secarik laporan para pembantunya yang bisa jadi tidak akurat. Insight-insight yang dikumpulkan dari gelanggan perang pasar tradisional, malah bisa berbalik jadi senjata bagi petahana. Materi meramu formula kebijakan populis di penghujung rentang periode jabatan yang tersisa.
Ini tentu alarm pertanda bahaya. Kompetisi mengejar elektabilitas Jokowi-Maruf bakal semakin terjal bagi Prabowo-Sandiaga. Apalagi Jokowi telah ancang-ancang bakal mengintensifkan program-program populis pada tahun 2019 dengan privilese yang diampu sebagai petahana.
Lagipula, Jokowi tengah berupaya untuk keluar dari perangkap elektabilitas yang cenderung bergerak lamban. Merujuk pada survei paling anyar LSI Denny JA, elektabilitas Jokowi-Maruf bertengger di angka 53,2%. Sementara Prabowo-Sandiaga sebesar 31,2%.
Tahun 2019 bakal dibuka dengan tensi yang semakin sengit. Jokowi-Maruf berupaya mengamankan posisi elektabilitas di atas 60%. Sementara Prabowo-Sandiaga mendapat angin dengan besarnya angka swing voters. Dengan gambaran situasi yang mulai menegangkan tersebut, kita berharap, empat bulan tersisa diwarnai dengan kampanye bertabur narasi sarat esensi. Terutama soal isu-isu ekonomi. Semoga.