Menimbang Politik Dinasti dalam Negara Demokrasi

Demokrasi tidak punya hukum yang melarang seorang pemimpin untuk mencalonkan istrinya atau anaknya. Maka asal melalui proses demokratis, sistem dinasti tidak dapat diganggu gugat. Kecuali DPR RI membuat UU untuk melarangnya.

Menimbang Politik Dinasti dalam Negara Demokrasi
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – Dinasti adalah sebuah sistem politik berbasis ikatan kekerabatan. Sistem politik dinasti eksis dalam perjalanan sejarah dunia bersamaan dengan sistem politik monarki. Saat monarki runtuh di hampir seluruh negara dunia, sistem dinasti pun ikut runtuh. Mayoritas negara memilih sistem republik dan demokrasi sebagai haluan politiknya. Hanya beberapa negara yang masih mempertahankan sistem monarki dan dinasti, misalnya Arab Saudi. Beberapa negara juga tetap mempertahankan monarki namun hanya sebagai simbol, contohnya Kerajaan Inggris, Kerajaan Thailand dan Kerajaan Malaysia.

Dalam negara demokrasi tidak dimungkinkan adanya dinasti politik. Dinasti politik adalah sebuah sistem dimana anak atau kerabat raja dipastikan menjadi pewaris kekuasaan. Demokrasi meniscayakan bahwa kekuasaan ditentukan oleh pilihan rakyat. Sementara dinasti dan monarki memberi kewenangan kepada penguasa untuk menentukan penerus tahtanya dari kalangan kerabat tanpa melibatkan rakyat. Indonesia sudah memilih bentuk negara republik dengan sistem demokrasi sebagai haluan politiknya. Karenanya tidak mungkin ada sistem politik dinasti yang murni diterapkan di Indonesia. Tentu ada pengecualian di Yogyakarta, dimana ada keistimewaan bahwa sistem kesultanan masih diakui di sana.

Jika memang Indonesia merupakan negara demokratis, namun kenyataannya ada di daerah-daerah dipegang oleh kekuasaan berdasarkan kekerabatan. Misalnya Provinsi Banten, dimana gubernur dan beberapa bupati di sana mempunyai hubungan kekerabatan. Contoh lain Kabupaten Purwakarta dan Indramayu, Kang Dedi Mulyadi dan Kang Yance sudah dua periode menjadi bupati. Karena tidak boleh mencalonkan lagi, giliran istri Kang Dedi dan Kang Yance yang mencalonkan sebagai bupati. Istri-istri mantan bupati tersebut terpilih sebagai bupati.

Dalam pentas politik nasional kita mengenal sosok Puan Maharani dan Agus Harimurti Yudhoyono. Dua sosok ini adalah putra dan putri dari Mantan Presiden RI. Puan sempat menjadi menteri dan sekarang ketua DPR RI. Sementara AHY walaupun kandas dalam pertarungan pilkada Jakarta, namun mewarisi posisi Ketua Umum Partai Demokrat yang sebelumnya dipegang oleh ayahnya. Dari dua sosok ini kita tahu bahwa politik dinasti tidak bisa begitu saja dilepaskan dalam negara demokrasi. Hanya saja kita tidak bisa menyamakan politik dinasti pra-demokrasi dengan politik dinasti di dalam sistem demokrasi.

Jika ada kekuasaan yang dipegang oleh sebuah keluarga hari ini, maka diharuskan untuk melalui mekanisme demokrasi terlebih dahulu. Salah satu elemen demokrasi di negara kita adalah partai. Partai biar bagaimanapun mencerminkan aspirasi politik rakyat. Jika ada politik dinasti yang eksis di negara kita, maka itulah cerminan keinginan rakyat. Demokrasi tidak punya hukum yang melarang seorang pemimpin untuk mencalonkan istrinya atau anaknya. Maka asal melalui proses demokratis, sistem dinasti tidak dapat diganggu gugat. Kecuali DPR RI membuat UU untuk melarangnya.

Peristiwa terbaru yang sedang hangat terkait politik dinasti adalah pencalonan Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Joko Widodo sebagai walikota Solo. Banyak pihak menyerang Gibran dan Jokowi karena dianggap melanggengkan politik dinasti. Dimana menurut banyak pihak, politik dinasti tidak sehat bagi demokrasi. Permasalahannya adalah, demokrasi mengizinkan Gibran untuk maju mencalonkan diri. Lantas jika memang mayoritas rakyat menghendaki Gibran untuk terpilih, kita bisa apa?

Negara yang dikenal sebagai mbahnya demokrasi saja yakni Amerika Serikat pernah mengalami dipimpin oleh presiden yang mempunyai hubungan darah. Yakni George Bush dan George Walker Bush yang merupakan anak dari George Bush. Jikalau memang politik dinasti masih eksis, tinggal rakyat yang harus mempunyai kesadaran untuk tetap mengawasi jalannya kepemimpinan. Jika bagus diapresiasi, jika salah dikritisi. Inilah yang membuat demokrasi kita tetap sehat, yakni kewarasan nalar warganya.