Mengapa Menyoal Akurasi Quick Count dan Independensi Lembaga Survei?
Penggunaan statistik dalam dunia bisnis dan politik semakin marak. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin memungkinkan untuk menggali dan memanfaatkan data dalam jumlah besar (big data). Di ranah politik peran statistik dalam memprediksi dan memetakan hasil penghitungan suara dalam pilkada dan pemilu menarik perhatian publik.

MONDAYREVIEW.COM - Penggunaan statistik dalam dunia bisnis dan politik semakin marak. Apalagi dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin memungkinkan untuk menggali dan memanfaatkan data dalam jumlah besar (big data). Di ranah politik peran statistik dalam memprediksi dan memetakan hasil penghitungan suara dalam pilkada dan pemilu menarik perhatian publik.
Penerimaan terhadap berbagai metode survei, hitung cepat (quick count), maupun real count memang tidak begitu saja berlangsung dengan mulus. Apalagi saat kontestasi politik berlangsung keras dan berimbang.
“Publik seringkali dikacaukan antara isu akurasi metode yang digunakan dalam statistik dan independensi lembaga survei, “ kata HM Muchlas Rowi, Koordinator Balad Jokowi (19/4/2019)
Menurut Muchlas, salah satu perdebatan yang saat ini berlangsung adalah akurasi Quick Count. Bila yang disoal adalah metodologinya maka publik bisa melacak bagaimana ilmu statistik dan segenap metode yang digunakan dalam QC. Bagaimana rekam jejak penggunaan metode ini dalam kontestasi politik. Seberapa akurat dengan hasil akhir penghitungan manual.
Dalam Rapat Evaluasi Balad Jokowi di Jakarta pada Jumat (19/4/2019) disimpulkan bila yang disoal adalah independensi lembaga survei, tentu harus dikonfirmasi dengan seperangkat data yang terkait. Setelah sebelumnya publik terlibat dalam pro-kontra hasil survei yang dianggap membawa pesan dan menggiring opini untuk kepentingan pemenangan paslon lawan, maka wacana terkait independensi lembaga survei harus bisa dijelaskan secara gamblang. Pendek kata berbagai survei elektabilitas paslon yang berlaga di pilpres dicurigai sebagai survei pesanan.
Dalam Rapat ini didiskusikan pertanyaan mendasar mengapa Pemilu perlu Quick Count. Dalam kesempatan itu dikupas fakta bahwa lebih dari 190 juta pemilih memberikan suara melalui 810.329 TPS di seluruh Indonesia dan berbagai negara. Hal ini membutuhkan waktu yang relatif panjang untuk merekapitulasi. Belum lagi ada sebagian pemilih di luar negeri yang menggunakan hak pilihnya melalui surat suara yang dikirim dengan pos.
Secara hukum penghitungan manual berjenjanglah yang akan menjadi landasan penetapan hasil Pemilu yang akan diumumkan KPU. Tujuan dan manfaat dari hitung cepat adalah agar pihak-pihak yang berkepentingan memiliki data pembanding yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kemungkinan kecurangan yang terjadi pada proses tabulasi suara.
Publik tentu ingin mendapatkan informasi yang cepat tentang hasil sementara Pemilihan Presiden. Dan cara yang paling populer saat ini adalah Quick Count atau Hitung Cepat. Yang lebih cepat dari QC adalah Exit Poll, namun akurasinya tak sebaik QC. Exit Poll umumnya menggunakan teknik wawancara pada para responden yang keluar dari bilik suara. Pada Exit Poll dan QC, digunakan penarikan sampling secara random.
Quick count atau hitung cepat adalah metode verifikasi hasil pemilihan umum yang dilakukan dengan menghitung persentase hasil pemilu di tempat pemungutan suara (TPS) yang dijadikan sampel. Ibarat kita ingin mengetahui kualitas sekarung beras, kita akan mengambil sampel segenggam beras dari karung tersebut untuk kemudian mengukur kualitasnya dengan parameter dan indikator tertentu.
Maka persoalan pengambilan sampel ini sering disalahfahami oleh berbagai kalangan yang belum memahami sepenuhnya metodologi statistik. Quick count memberikan gambaran dan akurasi yang lebih tinggi karena menghitung hasil pemilu langsung dari TPS target, bukan berdasarkan persepsi atau pengakuan responden.
Pada Pilpres 2014, hasil Quick Count menunjukkan tipisnya selisih antara kedua pasangan calon yang berlaga dalam kontestasi politik tersebut. Dari 11 lembaga survei, ada 7 lembaga survei yang mendapatkan Jokowi-JK sebagai pemenang dan 4 lembaga survei yang mendapatkan Prabowo-Hatta Rajasa sebagai pemenang. Hasil akhir penghitungan suara secara manual berjenjang menunjukkan Jokowi-JK sebagai pemenang.
Pada Pilkada DKI Jakarta, Litbang Kompas mberikan hasil QC yang menunjukkan bahwa Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat: 42 persen dan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno: 58 persen. Sementara PolMark Indonesia memberikan data QC bahwa Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat: 42,44 persen dan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno: 57,56 persen. Data yang tak jauh beda disajikan LSI Denny JA dan SMRC.
Jika hasil quick count keempat lembaga dan hasil resmi rekapitulasi KPUD, maka dapat dikatakan hasilnya nyaris sama: Basuki-Djarot pada kisaran 42%, Anies Sandi pada kisaran 57%.
Perolehan suara terbanyak pada putaran kedua Pilkada DKI diraih pasangan calon nomor pemilihan tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dengan 57,96 persen suara. Adapun pasangan nomor pemilihan dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat memeroleh 42,04 persen suara. Catatan ini memperlihatkan akurasi QC.
Adapun berbagai postingan berupa screenshot judul berita media online yang mengungkap hasil QC yang berbeda jauh dari hasil resmi dari KPU atau KPUD lebih banyak yang dikutip tidak lengkap. Misalnya ketika link berita yang terkait dengan judul tersebut dibaca secara lengkap ternyata memperlihatkan data yang baru masuk sekitar 5% dari keseluruhan sample yang ditentukan.
Pendek kata, Quick Count yang akurat dan dilakukan oleh lembaga yang profesional dan independen akan membantu publik untuk mendapatkan informasi awal tentang hasil Pemilu. Dengan ketentuan bahwa publikasi hasil exit poll dan QC baru bisa dilakukan selepas selesainya pengambilan suara maka upaya untuk menekan ekses QC dinilai sudah cukup memadai.