Respon Kalangan Kemenkeu tentang Istilah Menteri Pencetak Utang
Diskusi yang cukup hangat dan menarik terjadi ketika Kubu Prabowo mengkritik utang Pemerintah RI yang dinilainya meroket dalam 4 tahun terakhir jauh di atas prosentase utang di era Presiden SBY. Dalam sambutan di acara Deklarasi Alumni PT Seluruh Indonesia untuk Prabowo Sandi (25/1/2019), Prabowo mengungkapkan istilah Menteri Pencetak Utang untuk mengkritik kinerja ekonomi makro Pemerintah RI.
MONDAYREVIEW.COM – Diskusi yang cukup hangat dan menarik terjadi ketika Kubu Prabowo mengkritik utang Pemerintah RI yang dinilainya meroket dalam 4 tahun terakhir jauh di atas prosentase utang di era Presiden SBY. Dalam sambutan di acara Deklarasi Alumni PT Seluruh Indonesia untuk Prabowo Sandi (25/1/2019), Prabowo mengungkapkan istilah Menteri Pencetak Utang untuk mengkritik kinerja ekonomi makro Pemerintah RI.
Sebagai respon dari kritik tersebut Pihak Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori investment grade oleh lembaga rating Moodys, Fitch, S&P, RNI, dan Japan Credit Rating Agency. Dengan peringkat tersebut adalah SALAH menyatakan utang negara sudah dalam stadium lanjut. YANG BENAR adalah kondisi keuangan negara dalam keadaan sehat dan bugar. Demikian disampaikan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti (27/1/2019)melalui akun media sosialnya.
Kubu penantang dalam Pilpres 2019 ini mendasarkan pendapatnya bahwa meroketnya jumlah nominal utang pemerintah selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selama 4 tahun Jokowi (Desember 2014 sampai Desember 2018), utang pemerintah naik Rp 1.809 triliun, dari Rp 2.609 triliun menjadi Rp 4.418 triliun. Sebutnya, tiap tahun naik Rp 452,25 triliun.
Kubu pendukung Prabowo mengatakan, kenaikan utang itu jauh lebih tinggi dari 10 tahun pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Utang pemerintah Jokowi tiap tahunnya naik sampai 3 kalilipat dibanding utang zaman SBY.
Argumen rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih rendah di sekitaran 30%. Sementara, Jepang sudah mencapai 250,4%. Tapi, kata dia, rasio pajak Jepang jauh lebih tinggi dari Indonesia. Di Jepang angkanya sekitar 36%. Di Indonesia hanya 10,7% tahun 2017. Ini juga terus turun dari 13,7% (2014), 11,6% (2015) dan 10,8% (2016). Jadilah utang menjadi beban APBN karena tax ratio yang rendah. Demikian kritik Kubu Prabowo-Sandi.
Sementara itu Pemerintah sendiri memiliki alasan yang kuat. Pemerintah tidak ingin merusak momentum pertumbuhan ekonomi dengan mengejar pajak secara membabi buta. Bahkan Pemerintah menggulirkan kebijakan Tax Amnesty yang juga tak luput dari kritik Prabowo yang menilainya sebagai edukasi yang buruk bagi masyarakat.
Publik pun harus kembali mencermati isu terkait tax ratio ini. Secara sederhana tax ratio adalah rasio jumlah pajak (yang dikumpulkan pada suatu masa) dibandingkan/dibagi dengan Produk Domestik Bruto/Gross Domestic Product (PDB/GDP) (dimasa yang sama).
Di dalam prakteknya, pengertian tax ratio terbagi menjadi 2 (dua) yaitu satu; tax ratio dalam arti sempit dan dua; dalam arti luas. tax ratio dalam arti sempit adalah jumlah pajak nasional (pemerintah pusat) dibagi PDB. Sedangkan dalam arti luas tax ratio adalah jumlah pajak nasional (pemerintah pusat) ditambah pajak daerah (pemerintah daerah) ditambah dengan penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) dibagi dengan PDB.
Berbeda dengan Indonesia yang menghitung tax ratio dari semata pajak nasional saja (mempergunakan pengertian tax ratio dalam arti sempit), mayoritas dari beberapa negara menghitung tax ratio dengan dengan memperhitungkan pajak daerah dan penerimaan SDA.
Perbedaan dalam pengakuan penerimaan pajak yang dijadikan dasar pembagian itulah yang menjadi salah satu alasan kenapa tax ratio di Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.Tax ratio atau rasio pendapatan pajak terhadap PDB yang mengukur formula kinerja perpajakan dengan membandingkan penerimaan pajak dari PDB dalam waktu tertentu.
Semakin rendah tax ratio, maka semakin rendah pula kepatuhan wajib pajak dalam negeri. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari berbagai sektor belum optimal.
(MTA)