Puasa dan Silaturrahmi Digital

MONITORDAY.COM - JIKA anda termasuk orang yang sedih gegara aturan soal larangan mudik dua tahun terakhir, itu wajar. Apalagi jika mudik kita letakan sesuai asal katanya ‘udik’ (bahasa Jawa) yang bermakna hulu, atau wetan dalam bahasa Sunda. Mudik pun menggambarkan kerinduan seseorang akan kepulangan (homesick). Itu manusiawi.
Tapi jika anda sedih sekaligus ringkih gegara memaknai mudik sebagai tradisi kaum kapitalis religius. Dimana mudik jadi ajang untuk memperlihatkan eksistensi kelas tertentu di kampung halaman. Maka ada baiknya kita berpikir ulang soal mudik dan silaturrahmi.
Karena sejatinya, tak ada yang betul-betul baru dari aturan soal larangan mudik dan anjuran mudik serta silaturrahmi digital pada lebaran tahun ini. Begitu juga anjuran menikmati sajian kuliner kampung halaman seperti rendang, opor atau ‘bipang’ sekalipun melalui pemesanan secara online. Mestinya semua itu tak perlu mengagetkan kita, apalagi membuat kita sedih dan ringkih.
Dunia pradigital
Proses ‘digitalisasi’ sesungguhnya sudah terjadi jauh sebelum kita lahir. Bahkan jauh sebelum teknologi itu ada dan meniscayakan ruang interaksi secara virtual jadi menganga. Yaitu ketika garam dijadikan alat tukar untuk mendapatkan sesuatu oleh masyarakat Romawi. Lalu berganti uang logam dan emas yang lebih terukur dan fleksible.
Kehadiran uang sebagai alat tukar jual beli pun jadi contoh ‘digitalisi’ pertama. Penggunaan uang ketika itu betul-betul telah mereduksi semua pemenuhan kebutuhan manusia dalam mediasi uang lewat jual beli. Uang berhasil menyederhanakan transaksi jual beli yang dilakukan manusia. Ia jadi ekspresi universal dari nilai seluruh barang.
Dalam konteks mudik dan silaturrahmi, penting kiranya kita memahami salah satu prinsip dalam antropologi digital. Bahwa baik yang digital maupun yang analog merupakan hal yang sama-sama material. Prinsip ini menegaskan, bahwa yang digital tak berbeda dari kebudayaan material pada umumnya, sebelum yang digital lahir. Semua hal yang digital adalah juga artefak kebudayaan. Ia memiliki mekanisme kerja sebagaimana pradigital.
Karena itulah, Jika selama ini kita menerima kehadiran uang sebagai ekspresi universal terhadap nilau suatu barang. Lalu mengapa kita harus ribut soal larangan mudik dan anjuran silaturrahmi digital?
Apalagi, jika dilihat dari kacamata antropologi digital, mudik dan silaturrahmi baik analog maupun digital adalah sama-sama material, punya artefak kebudayaan, dan harusnya disambut antusias seperti kita menyambut revolusi digital saat ini.
Merujuk pada laporan yang dirilis Layana Manajemen Konten HootSuite, dan Agensi Pemarasan Media Sosial We Are Social bertajuk ‘Digital 2021’ bahwa pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibanding Januari 2020. Jika melihat jumlah penduduk indonesia yang mencapai 274,9 juta jiwa, maka penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 telah mencapai 73,7 persen. Cukup tinggi ternyata.
Sayangnya, seperti pernah diungkap Bart Barendregt, Guru Besar Antropologi dari Universitas Leiden, bahwa pengguna internet di Indonesia lebih banyak di ruang-ruang media sosial. Dalam sebuah buku yang dikurasi Heather A. Horst dan Daniel Miller, berjudul ‘Digital Anthropology’ dia menulis dan mengungkapkan hasil penelitiannya soal penggunaan media sosial di Indonesia. Bart mengatakan bahwa aktivitas ‘menggoda’ (flirling), bercakap-cakap, dan mengeluh (complaining) tentang pemerintah di media sosial, lebih tinggi di Indonesia dibandingkan dengan negara lain.
Ya, meminjam analisanya Bart, maka bisa jadi antusiasme inilah yang sebetulnya membuat kita berat untuk menerima larangan mudik dan mengikuti anjuran bersilaturrahmi secara digital. Karena kita kadung lekat dengan budaya lisan (orality) ketimbang budaya keaksaraan (literacy). Bagaimana tidak, data pengguna internet menunjukkan, jika hanya 6 persen pengguna internet kita yang mengunjungi mesin pencari google. Masih kalah dengan para pencari situs dewasa yang mencapai 7,9 persen.
Puasa momentum perubahan
Tak dapat dipungkiri, jika puasa dan lebaran kali ini sebetulnya adalh momentum pas untuk melakukan perubahan. Bahwa budaya mudik dan silaturrahmi yang selama ini kita jalankan hanyalah bersifat relatif dan sementara. Kebudayaan dalam konteks ini masih bersifat dinamis.
Jika sudah begitu, maka hal penting saat ini yang mesti kita lakukan adalah menggeser tradisi kelisanan (orality) menuju tradisi keaksaraan (literacy). Tentu saja ini sesuai dengan spirit Ramadhan, bulan yang di dalamnya terdapat momentum diturunkannya wahyu pertama al-Qur’an tentang perintah membaca (iqra’).
Membaca seumpama jendela, memberi kita pengetahuan dan memperluas wawasan. Membaca adalah kunci, dengannya kita bisa membuka tabir kehidupan di dunia. Membaca adalah jalan, agar kita tak sesat paham soal hidup, termasuk soal makna mudik dan silaturrahmi.
Bahwa mudik dan silaturrahmi sesungguhnya memiliki makna yang lebih dalam ketimbang sekadar tradisi mudik dan silaturrahmi dengan berkumpul bersama sanak saudara secara analog. Mudik sesungguhnya adalah kembali kepada fitrah sejati kemanusiaan yang hakiki, yaitu minal aidin wal faizin.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Bertugas untuk beribadah dan menjaga keseimbangan hidup di dunia. Sementara silaturrahmi mengikatkan kembali nilai persaudaraan yang pernah terkikis. pernah pudar atau terputus.
Jika pesan utama mudik dan persaudaraan seperti itu, maka bukankan bisa kita laksanakan secara digital dengan memindahkan ruang dan waktunya saja. Pada akhirnya, tinggal menunggu waktu sajalah kapan mudik dan silaturrahmi digital ini menjadi refresentasi dari ekspresi kita secara alami.