Ayam Betutu dan Wisata Pandemi

Ayam Betutu dan Wisata Pandemi
Ilustrasi foto/MMG.

MONITORDAY.COM - Liburan panjang akhir pekan lalu saya ke Bali. Sengaja saya kesana, karena kabarnya akibat pembatasan kegiatan masyarkat (PKM), Bali sepi seperti tak berpenghuni.

Bermodal informasi tersebut, saya pun tak begitu terpacu untuk buru-buru pergi dan mengambil jadwal penerbangan terlalu pagi. Kebetulan saya dapat pesawat Garuda yang ternyata cukup besar. Ada sosial distancing dan aturan ketat yang diterapkan. Hingga tak ada makan di atas pesawat.

Sebelum pemberangkatan, maskapai flat merah ini mewajibkan calon pelancong memenuhi syarat dokumen, seperti surat kesehatan dengan mencantumkan keterangan negatif dengan metode tes swab PCR dan rapid test antigen.

Hal itu merujuk pada Surat Edaran (SE) Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 No 3 tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19.

Dengan modal itu, saya pun sedikit santai namun tetap berhati-hati. Mengingat saya pernah dinyatakan positif covid-19 gegara menganggap enteng aturan menjaga protokol kesehatan.

Irfan Setia Putra, bos Garuda Indonesia ternyata menepati janjinya. Beberapa saat lalu dia sempat bilang beberapa pesawat yang terbang ke Denpasar dari Jakarta akan menggunakan pesawat wide body, sperti B777-300 ER berkapasitas 314 penumpang (triple class) dan 393 penumpang 9dual class). Ada juga peawat A330-200 berkapasitas 222 penumpang, A330-300 berkapasitas 287 penumpang dan A330-900 Neo dengan kapasitas 301 penumpang.

Pesawat yang saya naiki saat itu adalah B777-300 ER berpenumpang dual clasa. Sehingga cukup luas dan ideal untuk dilakukan social distancing. Para penumpang juga tidak diperkenankan untuk makan di atas pesawat. Meski lapar, saya pun harus memaksa diri menahan, hingga betul-betul keluar pesawat.

Setelah mendarat di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai, saya kaget bukan kepalang. Ternyata Bali sudah cukup ramai. Rupanya, banyak warga Indonesia yang memanfaatkan jatah libur 3 hari kemarin untuk pergi ke Bali.

Padahal setahu saya, Bali saat ini masih begitu terpuruk, gegara pandemi Covid-19. Paling tidak saya masih mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pertumbuhan ekonomi lapangan usaha di sektor pariwisata di bali terkontraksi. Misalnya, transportasi dan pergudangan -31,79 persen, kemudian penyediaan akomodasi dan makan-minum 27.52%. Ekonomi provinsi ini pun terkonstraksi 9,31% (YoY).

Keterpurukan ini, lantaran Bali amat bergantung pada sektor pariwisatanya.

Dengan ramainya kembali Bali di tengah pandemi yang belum usai, Saya pun jadi optimis, sektor pariwisata akan kembali menjadi sektor yang memiliki peran penting dalam memberi devisa provinsi mapun secara nasional, serta dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Syaratnya, pariwisata harus dikembangkan dengan kebiasaan baru.

Bisa juga dikembangkan berbasis desa. Apalagi dengan cara ini, kita bisa mengurangi jumlah pengangguran dan meningkatkan produktivitas warga desa. Jadi tak perlu lagi datang ke kota kan. Efeknya jadi lebih luas bukan.

Di Bali saya lihat beberapa lokasi wisata sudah cukup ramai. Bedanya, jika dulu ramainya oleh wisatawan asing, kini ramainya oleh wisatawan lokal. Tapi bagi saya itu justru bagus. Bisa jadi ini efek positif dari program vaksinasi yang masih berjalan. Juga persyaratan ketat yang diterapkan oleh maskapai peenerbangan.

Ini menjawab pertanyaan banyak orang selama ini, apakah pariwisata bisa dijalankan di saat covid? Jawabanynya bisa, dengan catatan semua insan pariwisata ikut aturan protol kesehatan. Termasuk di Bali.

Meski masih perlu diberi catatan panjang, tapi saya lihat Bali sudah berbenah. Para petugas hotel bergantian masuk, mereka dibagi dalam dua shift. Dua minggu tugas, dua minggu libur.

Kios-kios yang sebelumnya sempat tutup, kini sudah bisa dibuka kembali. Meski masih terbatas, dan dengan protokol kesehatan yang ketat.

Memang perlu ada perubahan mendasar jika sektor pariwisata ingin dibuka kembali. Terutama di Bali. Karena pulau ini, menjadi tujuan utama, dan model bagi daerah lainnya.

Para pengelola hotel, restoran dan kios harus mulai mengubah kebiasaan. Mengubah konsep ruangan yang tadinya full AC, menjadi lebih terbuka. Perlu ada lebih banyak ventilasi agar proses pertukaran udara dapat berlangsung cepat.

Ketika berkunjung daerah Tuban, Bali Saya sempat berwisata kuliner. Saya ingin sekali makan ayam betutu di tepi sawah. Sayang, ayam betutunya habis.

Katanya ini di luar dugaan, karena banyak wisatawan lokal yang ternyata banyak berkunjung ke Bali. Apalagi, wisatawan asing ada yang nekat masuk Bali lewat Jakarta.

Cerita habisnya ayam betutu ini sebetulnya menjadi sinyal, jika pariwisata kita sudah mulai membaik. Bukan cuma Bali, tapi tempat lainnya juga bisa. Intinya kita bisa, kembail recovery jika lebih patuh terhadap aturan.

Selama dua atau tiga tahun mendatang kita memang akan tetap begini. Memakai masker, menjalankan protokol kesehatan, dan sebagainya. Karena itu, sekali lagi, tempat-tempat wisata harus sudah mulai menjalankan kebiasaan dan konsep baru.

Seperti yang diproyeksikan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), yaitu wisata di luar ruangan, wisata olahraga, wisata kesehatan dan medis, serta ekowisata.

Ini saya alami sendiri, sebagai Ketua INATK, organisasi yang mewadahi Karate Tradisional. Ada antusiasme yang tinggi dari masyarakat kita terhadap model olahraga yang berada di bawah naungan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) ini. Meski tak seantusias terhadap olahraga sepeda, atau gowes.

Bersama konsep wisata baru lainnya di masa pandemi, saya yakin wisata olahraga akan menjadi "senjata" untuk menggairahkan kembali sektor pariwisata Tanah Air pada 2021. Karena semua orang saat ini sangat rindu pelesiran, rindu makan 'Ayam Betutu'.