Prediksi Partisipasi Pilkada 2020. Ini Faktanya!

Di masa pandemi pilkada akan dilangsungkan. Tinggal sekira 5 pekan lagi. Banyak fihak memperkirakan tingkat partisipasi pemilih akan turun. Apalagi untuk menjadi panitia pemungutan suara. Padahal kualitas demokrasi salah satu indikatornya adalah tingkat partisipasi pemilih. Meski bukan berarti golput di negara demokrasi lebih kecil dibanding negara yang sedang merintis jalan demokrasi.

Prediksi Partisipasi Pilkada 2020. Ini Faktanya!
kampanye pikada/ net

MONDAYREVIEW.COM – Di masa pandemi pilkada akan dilangsungkan. Tinggal sekira 5 pekan lagi. Banyak fihak memperkirakan tingkat partisipasi pemilih akan turun. Apalagi untuk menjadi panitia pemungutan suara. Padahal kualitas demokrasi salah satu indikatornya adalah tingkat partisipasi pemilih. Meski bukan berarti golput di negara demokrasi lebih kecil dibanding negara yang sedang merintis jalan demokrasi.

Disamping merasa tak aman dengan kerumunan, para pemilih juga sedang berkutat dengan masalah ekonomi. Banyak usaha sedang berjuang untuk bertahan. Tak sedikit pula yang kehilangan pekerjaan. Dan urusan perut lebih penting diselamatkan. Sementara kepercayaan atas pilkada yang akan mampu mennghasilkan kemakmuran bagi diri dan keluarganya masih minim. Untuk tidak mengatakan telah hilang.

Sebagian pemilih juga masih lelah dengan keterbelahan politik pilpres setahun yang lalu. Walau di tingkat elit telah terjadi rekonsiliasi namun di akar rumput tak sedikit yang merasa diselingkuhi. Maka pilkada akan menerima dampak dari menurunnya antusiasme dan energi publik untuk menyemarakkannya.

Kepercayaan publik pada netralitas elit dan KPU sangat penting di masa sekarang. Jika di masa persiapan sudah terjadi gejolak dan indikasi ‘miring’ maka pemilih dipastikan makin enggan memberikan suaranya. Mereka tak mau hanya menjadi ornamen demokrasi yang pincang. Apalagi terjebak dalam demokrasi prosedural yang miskin substansi.

Apa yang harus dilakukan KPU dan para paslon? Tentu sosialisasi. Bahwa pilkada penting bagi demokrasi. Keberhasilan pilkada dengan tingkat partisipasi yang tinggi dan bersih dari politik uang dan perselingkuhan para politisi akan memupuk harapan bagi kemakmuran dan keadilan warga.  

Bisa saja KPU telah bersikap netral. Namun jika majunya para calon penuh dengan aroma politik transaksional maka pemilih akan menghukum elit dengan bersikap golput alias tidak memilih. Di pilkada yang menghadirkan calon tunggal bukan tak mungkin akan diwarnai oleh kemenangan kotak kosong. Biaya politik yang besar akan menguap bersama janji-janji politik yang urung ditagih.

Mari kita lihat contoh kasus di daerah yang sedang mempersiapkan pilkada. Di Cianjur salah satunya. Sosialisasi diakui telah dilakukan KPU Cianjur. Mereka optimistis tingkat partisipasi pada Pilkada Cianjur 2020 meningkat meski sosialisasi langsung atau tatap muka terhambat karena pandemik, sehingga sosialisasi melalui daring atau online digenjot dengan harapan dapat meningkatkan angka partisipasi sesuai target KPU pusat 77 persen.

Namun warga yang ditemui di akar rumput banyak yang belum tahu kapan pilkada akan dilakukan. Bukan tidak mungkin mereka tidak mengenal paslon yang akan berlaga. Meski di sisi lain Ketua KPU Cianjur, Selly Nurdinah mengatakan sosialisasi terkait Pilkada Cianjur 2020 yang akan dilaksanakan tanggal 9 Desember, terus digencarkan dengan berbagai cara di tengah masa pandemik yang serba dibatasi, termasuk sosialisasi langsung dengan jumlah peserta yang dibatasi.

Untuk sosialisasi tatap muka, KPU Cianjur juga melibatkan PPK dan PPS, agar tingkat partisipasi pada pilkada kali ini, terus meningkat minimal lebih tinggi dari tahun sebelumnya di angka 56 persen atau tercapai sesuai target KPU pusat 77 persen. Kami mengenjot sosialisasi melalui media sosial dengan menyentuh pemilih muda dan pemilih pemula.

Sosialisasi melalui media cetak, elektronik dan dsring pun, dilakukan sebagai upaya meningkatkan partisipasi dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 1.631.564. Sementara sosialisasi yang dilakukan KPU Cianjur, dinilai berbagai kalangan belum menyentuh hingga ke pelosok, bahkan beberapa kilometer dari kantor KPU Cianjur, sebagian besar warga seperti di Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur, mengatakan belum mengetahui bentuk sosialisasi tersebut.

Merujuk pada situs KPU  tanggal 26 September 2020 - 5 Desember 2020 adalah Masa Kampanye. Sementara  tanggal 25 September 2020 – 25 Desember 2020 dijadwalkan sebagai masa Laporan Audit dan Dana Kampanye. Tanggal 7 Agustus 2020 – 20 November 2020 untuk Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Pemungutan dan Penghitungan Suara.

Dan pada 9 Desember adalah puncak kegiatan pesta demokrasi dengan pemungutan suara dan rekapitulasi penghitungan suara. Jika tak serius melaukan terobosan dalam mengajak pemilih maka bukan tidak mungkin TPS akan sepi saat hari H pencoblosan. Lalu hasilnya pun tidak maksimal. Legitimasi bagi pemimpin baru yang minim sulit dikonversi menjadi energi perubahan. Dengan kata lain kemajuan daerah akan terkendala karena demokrasi dibiarkan merana.

Jika hidup harus memilih maka pilkada menjadi salah satu pilihan sulit bagi sebagian orang. Jika memutuskan untuk ikut pemilih sendiri tak yakin apakah pilkada akan berlangsung adil sementara aroma pragmatisme semakin telanjang dipertontonkan. Jika memutuskan untuk absen maka hasilnya bisa lebih buruk lagi.

Demokrasi yang tak ditemani nomokrasi agaknya memang sulit menghadirkan kebaikan bagi bangsa dan warga. Paslon maju bukan karena kapasitas namun lebih mengandalkan ‘isi tas’. Politik uang masih kuat mewarnai pilkada. Mahar pencalonan hingga ‘biaya saksi’ boleh dibilang tidak sedikit.

Walau tak dipungkiri sebagian pemimpin terpilih di pilkada lalu memang figur yang memiliki kemampuan, integritas, dan kedekatan hati dengan pemilihnya. Namun mayoritas pilkada masih terjerembab dalam lingkaran setan budaya korupsi warisan penjajah.