De-industrialisasi, Hilangnya Pasar, dan Minimnya Serapan Angkatan Kerja

Bangsa lain akan terkekeh-kekeh saat kita ikut nimbrung mewacanakan Industri 4.0 sementara pada kenyataannya kita terseok-seok dalam mempertahankan sektor industri khususnya manufaktur. Secara sederhana bila ekonomi masih tumbuh namun lebih bertumpu pada konsumsi dan sektor jasa itu berarti kita tak mampu mengolah berbagai produk kebutuhan kita.

De-industrialisasi, Hilangnya Pasar, dan Minimnya Serapan Angkatan Kerja
ilustrasi deindustrialisasi/ net

MONDAYREVIEW.COM – Bangsa lain akan terkekeh-kekeh saat kita ikut nimbrung mewacanakan Industri 4.0 sementara pada kenyataannya kita terseok-seok dalam mempertahankan sektor industri khususnya manufaktur. Secara sederhana bila ekonomi masih tumbuh namun lebih bertumpu pada konsumsi dan sektor jasa itu berarti kita tak mampu mengolah berbagai produk kebutuhan kita.

Kita jual minyak mentah dan impor BBM karena kita tak mampu mengolahnya. Kita jual bahan baku pembuat baterai dan kita impor produk jadi baterai. Industri dapat tumbuh dan berkembang manakala ada pasar yang terbentuk dan menyerap hasil industri tersebut. Kini dari ponsel sampai cangkul pun kita impor. Pabrik atau basis produksinya di negara lain padahal pasarnya sangat gemuk di negeri ini.

Pendek kata kita tak relevan bicara Making Indonesia 4.0 bila tak mampu merevitalisasi industri kita. Dari modal, pasar, kebijakan energi, juga transportasi penunjangnya agar sampai di tangan konsumen termasuk yang berada di luar negeri.  

Indonesia kini sedang mengalami gejala perlambatan pertumbuhan industri yang ditandai oleh pertumbuhan sektor industri yang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini merupakan sebuah permasalahan bagi perekonomian Indonesia yang saat ini mencoba untuk mencapai pertumbuhan nasional yang lebih berkelanjutan dan menjadi negara dengan tingkat pendapatan tinggi.

Industrialisasi juga akan menyerap angkatan kerja. Sektor industri harus tetap menjadi pendorong utama perekonomian Indonesia karena menawarkan peluang besar bagi penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih produktif yang memfasilitasi terjadinya proses akumulasi knowledge dan knowhow bagi tenaga kerja serta masyarakat secara keseluruhan.

Hasilnya memungkinkan terjadinya transformasi ekonomi yang lebih baik. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan strategi re-industrialisasi yang tepat, yang tidak hanya mencerminkan kekhususan dan keunikan situasi Indonesia, tetapi juga memungkinkan untuk dilaksanakan di era perekonomian global yang dinamis saat ini.

Kita harus berpijak pada beberapa kata kunci yakni re-industrialisasi, transformasi ekonomi, pertumbuhan berkelanjutan, negara pendapatan tinggi, penciptaan lapangan kerja, produktivitas, akumulasi knowledge dan knowhow, keunikan perekonomian Indonesia, adaptasi, dinamika perekonomian global.

Praktik terbaik industrialisasi dan re-industrialisasi di berbagai negara menjadi salah satu poin penting. Kali ini kita akan bahas pengalaman Tiongkok yang beberapa dekade lalu belum menjadi negara industri dan pendapatan pe-kapitanya juga jauh lebih rendah daripada sekarang. 

Belajar menjadi negara industri seperti belajar matematika. Itulah gambaran yang diungkapkan ekonom Yi Wen saat membahas tahapan-tahapan yang harus dilalui suatu bangsa untuk sebuah revolusi industri. Ungkapan itu dilansir dalam situs stlouisfed.org. Wen juga menyinggung mengapa butuh waktu lama bagi Tiongkok untuk menjadi negara industri.

Jadi, oleh karena itu, sekarang kembali ke pertanyaan yang  ajukan sebelumnya. Apa resep rahasia revolusi industri? Dan Tiongkok baru menemukannya belakangan. 

Pertama-tama kita suatu negara perlu menciptakan pasar. Pasar industri modern membutuhkan beberapa tahap penting untuk dibuat. Pengembangan adalah proses sekuensial penciptaan pasar. Tidak peduli seberapa terlambat suatu negara memulai pembangunannya, ia harus mengulangi tahap sebelumnya untuk berhasil. Kita tidak bisa begitu saja melewatkannya, melompat langsung dari pertanian, metode produksi primitif ke jalur perakitan mobil modern. Demikian menurut Wen.

Jika kita melakukannya, itu tidak berkelanjutan. Sama seperti belajar matematika, umat manusia telah melalui ribuan tahun menemukan hukum matematika. Tetap saja ketika belajar memulainya dari angka hingga aritmatika hingga aljabar hingga kalkulus, dan seterusnya.

Jadi meskipun kita sudah mengetahui kalkulus dengan sangat baik dari ahli matematika. Tetapi agar anak-anak zaman sekarang untuk belajar matematika, kita masih harus mengulangi tahap-tahap sebelumnya, persis seperti yang telah ditempuh seluruh umat manusia kecuali dengan langkah yang cepat dan lebih cepat. Kita harus mengulanginya. Jadi itulah metafora untuk teori tahap baru ini.

Sebaliknya, kebanyakan teori ekonomi pembangunan modern mencoba untuk mengajar negara berkembang atau negara yang ingin mereka lakukan juga. Oke, tidak seperti mengambil pelajaran dari ekonomi lain. Mereka ingin melakukannya sendiri; mereka ingin melompat ke depan. Oke, mereka ingin melompat ke depan.

Dan untuk memulai revolusi industri dengan membangun industri padat modal yang maju, dengan mendirikan sistem keuangan modern, dengan mendirikan lebih dari sekedar institusi politik karena itulah yang dimiliki AS saat ini, oleh karena itu mereka berpikir jika kita ingin tumbuh ke level AS kita harus melakukannya juga . Tapi itu atap bangunannya, bukan fondasinya. Mereka melewatkan kesempatan untuk melihat bagaimana orang Amerika membangun fondasi mereka pada abad ke-19. Mereka lahir terlambat. Sejarah telah mengajarkannya kepada kita.

Ada beberapa teori bijak. Itulah argumen orang-orang mengapa kita harus mengulang tahapan sebelumnya. Tiongkok seharusnya langsung melompat ke depan tetapi itu akan menjadi kesalahan besar. Jadi  katakanlah pendekatan top-down seperti itu melanggar urutan sejarah Revolusi Industri, oleh karena itu menimbulkan masalah.