Polemik UU KPK : Judicial Review atau Perppu Dulu?

Tarik ulur terkait UU KPK agaknya belum akan menemui muaranya. Sebagaimana diberitakan sebelumnya Presiden dan DPR RI telah mengambil keputusan tentang RUU KPK sehingga telah menjadi UU KPK sebagai revisi atas UU lama yang telah bertahan sejak tahun 2002.

Polemik UU KPK : Judicial Review atau Perppu Dulu?

MONDAYREVIEW.COM-Tarik ulur terkait UU KPK agaknya belum akan menemui muaranya. Sebagaimana diberitakan sebelumnya Presiden dan DPR RI telah mengambil keputusan tentang RUU KPK sehingga telah menjadi UU KPK sebagai revisi atas UU lama yang telah bertahan sejak tahun 2002.

Persetujuan atas UU krusial ini berlangsung relatif cepat di penghujung periodisasi DPR RI 2014-2019. Meski demikian DPR dan Pemerintah mengklaim bahwa kajian dan proses legislasi sesungguhnya telah berlangsung tak kurang dari 3 (tiga) tahun.

Gelombang unjuk rasa mahasiswa dan pelajar berlangsung di berbagai kota. Sehingga Presiden pun bertemu dengan para tokoh bangsa hingga memberi sinyal kemungkinan akan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang akan menunda penerapan UU KPK hasil revisi.

Kekhawatiran publik yang anti dengan revisi UU KPK bukan tanpa sebab. UU KPK diputuskan hampir bersamaan dengan proses seleksi dan penetapan Pimpinan KPK yang baru. Dimana figur pimpinan terpilih dan transparansi kinerja panitia seleksi juga dipersoakan oleh publik.

Di pihak yang kontra revisi UU KPK dinilai akan melemahkan KPK. Penindakan termasuk di dalamnya proses penyadapan dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) akan sulit dilakukan manakala harus ada izin terlebih dahulu.

Kewenangan KPK dinilai akan dipreteli dan tidak lagi mampu melakukan fungsi penindakan dengan tegas dan lugas. Dengan revisi UU KPK maka para pengamat yang tidak setuju dengan revisi menilai KPK akan dibatasi pada fungsi pecegahan semata. Taringnya dalam penindakan tak lagi tajam.   

Di pihak yang pro dengan revisi menilai UU KPK akan memperkuat penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi dengan mengawasi kinerja KPK, memberi kemungkinan penerbitan SP3, dan beberapa revisi lainnya. Jangan sampai penegakan hukum berjalan tanpa pengawasan dan membuka peluang terjadinya skandal di tubuh KPK sendiri. Jika ada ketidaksetujuan atas UU KPK maka dapat ditempuh jalur judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Fahri Hamzah menjadi salah seorang politisi yang secara lugas menyuarakan perlunya pembatasan atas kewenangan KPK. Dalam berbagai kesempatan Fahri menegaskan perlunya perbaikan dan pengawasan atas kinerja KPK. Lembaga anti rasuah ini harus dipertahankan dalam posisi sebagai penegak hukum dan dijauhkan dari manuver dan kepentingan politik. Dugaan terjadinya abuse of power oleh lembaga superbodi ini dinilai telah melangkahi hak-hak dasar publik.   

Pada perkembangan terakhir Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem memberi sinyal bahwa Presiden dan partai pendukungnya lebih cenderung menunda penerbitan Perppu dan mempersilahkan proses judicial review berjalan terlebih dahulu.

"Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana, presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah presiden bisa di-impeach karena itu," ungkap Surya Paloh (02/10/2019).

Hal senada disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

“Kan baru saja presiden teken berlaku, masak langsung presiden sendiri menarik itu. Di mana kita mau tempatkan kewibawaan pemerintah? Baru meneken berlaku, lalu satu minggu kemudian ditarik lagi. Logikanya di mana?” kata Kalla (01/10/2019)

Jika mengacu pada trias politica, apa yang sudah diputuskan oleh eksekutif dan legislatif semestinya bisa dilaksanakan sebagai wujud dari konsolidasi demokrasi. Keseimbangan dan kontrol dapat dilakukan oleh lembaga yudikatif dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme judicial review. Di media sosial twitter pada Kamis (03/10/2019) trending topik bertagar MKSolusiUUKPK juga tampak masih dikicaukan banyak netizen.