Manajemen Utang RI Sudah Amankah?

Di era Soeharto, Indonesia juga pernah berjaya sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup lumayan. Utang RI juga cukup besar. Namun Soeharto dianggap memiliki keunggulan dan manajemen utang. Banyak Kepala Negara berguru padanya. Para ekonom senior bertangan dingin menjadi andalan Soeharto. Ekonomi tumbuh dengan signifikan namun sendi-sendinya keropos karena korupsi dan ekonomi biaya tinggi.

Manajemen Utang RI Sudah Amankah?

 

MONDAYREVIEW.COM- Di era Soeharto, Indonesia juga pernah berjaya sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup lumayan. Utang RI juga cukup besar. Namun Soeharto dianggap memiliki keunggulan manajemen utang. Banyak Kepala Negara berguru padanya. Para ekonom senior bertangan dingin menjadi andalan Soeharto. Ekonomi tumbuh dengan signifikan namun sendi-sendinya keropos karena korupsi dan ekonomi biaya tinggi.

Sampai datanglah badai krisis moneter yang memukul banyak negara Asia. Indonesia yang paling terpuruk karena fundamental ekonomi yang rapuh. Korupsi merajalela utang dalam US Dollar melejit seiring terpuruknya Rupiah. Ekonomi Indonesia ambruk dan menyeret kejatuhan Rezim Orde Baru. Bapak Pembangunan Nasional Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998. 

Sebelum Orba berkuasa, kejatuhan ekonomi Indonesia juga menyeret kejatuhan Rezim Orde Lama. Pada masa akhir Era Soekarno keadaan ekonomi porak-poranda. Inflasi melonjak hingga 400%. Devaluasi pada tahun 1959 yang mengatur bahwa uang Rp 500 dihargai Rp 50 dan pinjaman di atas Rp 25.000 dibekukan tak mampu meredam gejolak harga.

Sistem ekonomi yang semakin mengarah pada etatisme (segala diatur oleh negara) semakin menyurukkan kondisi perekonomian nasional. Devaluasi di akhir 1965 yang memotong uang Rp 1.000 menjadi Rp 1 tidak mampu menahan inflasi. Masyarakat hanya menghargai uang denominasi baru Rp 1 senilai Rp 10.  

Ketika rezim Orba berkuasa, ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh 5,98%. Bahkan perekonomian Indonesia pernah mencatat level tertingginya hingga 10,92% pada 1968. Namun, di penghujung kekuasaan orde baru, ekonomi nasional terpuruk dengan mencatat pertumbuhan negatif (kontraksi) sedalam 13,13%. Kepiawaian para ekonom di belakang Soeharto yang kerap dijuluki Mafia Berkeley kandas dikhianati oleh korupsi dan krisis moneter.

Mengapa kita berutang? Utang untuk menutup defisit APBN. APBN defisit karena kita membutuhkan anggaran yang lebih banyak untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Rezim negara fiskal memang meniscayakan utang. Dengan utanglah ekonomi berputar. Ekonomi tumbuh dan lapangan kerja tersedia terutama untuk menyerap angkatan kerja baru. 

Pada tahun 2001, pemerintah mengadopsi standar Internasional Government Finance Statistics (GFS) dalam penyajian APBN. Penandanya adalah diterapkannya kebijakan anggaran defisit, dimana struktur APBN dipilah kedalam lima bagian; pendapatan, belanja, keseimbangan primer, defisit anggaran, dan pembiayaan. (Edy Burmansyah : 2017)

Anggaran defisit adalah kebijakan yang menghendaki posisi pengeluaran negara lebih besar dari pada posisi penerimaan negara dalam satu tahun anggaran. Karena pengeluaran lebih besar dari penerimaan maka anggaran negara mengalami defisit (kekurangan). Selanjutnya, defisit ditutupi dengan mengajukan utang ke negara donor atau menerbitkan obligasi.

Utang dan pertumbuhan ekonomi seakan seiring sejalan dalam kebijakan anggaran defisit. Sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setiap tahunnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan defisit dalam APBN tidak lebih dari 3 persen, sementara rasio utang pemerintah dibatasi pada level 60 persen terhadap PDB.

Sejak penerapan anggaran defisit, utang merupakan kata kunci dalam pengelolaan APBN. Ketidakmampuan pemerintah menutup defisit berpotensi meningkatkan resiko fiskal. Mengapa kita tidak beranjak ke penerapan anggaran surplus? Karena kita tidak dalam situasi krisis namun ekonomi kita masih harus tumbuh. Angkatan kerja baru membutuhkan lapangan kerja. Negara-negara maju dan kaya pun berutang untuk menekan pengangguran. Kuncinya di seberapa produktif pemanfaatan utang itu. Dan tax ratio menjadi kata kunci untuk mengukurnya.   

Risiko fiskal merujuk pada suatu situasi dimana pemerintah sebagai pengelola keuangan negara kesulitan mendapatkan utang tambahan untuk mengatasi defisit anggaran. Utang yang bocor oleh korupsi dan inefisiensi akan menjadi beban negara, dan pada gilirannya beban bagi anak cucu. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjamin bahwa pengelolaan utang dilakukan dengan perencanaan yang matang dan transparan. Pun pemanfaataannya dilakukan secara hati-hati.

Kemampuan Pemerintah mengelola utang inilah yang kini dipertanyakan banyak fihak. Utang sebagai sumber pembiayaan menutup defisit dijadikan faktor penentu bagi keberlanjutan fiskal, yakni keberlanjutan atas penerimaan dan pengeluaran pemerintah, baik pada sisi rencana maupun realisasi.

Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sektor konsumtif atau produktif. Inilah salah satu kata kuncinya. Manufaktur harus tumbuh. Ekspor harus mampu menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi. Bukan sebaliknya dengan mengandalkan sektor konsumsi karena jumlah penduduk yang besar dan menjadikannya pasar bagi produk impor.

Peningkatan ekspor akan menekan defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi yang rendah menunjukkan kita produktif. Utang kita menjadi modal usaha. Bukan untuk membeli barang dan jasa seakan berfoya-foya dengan tumpukan utang yang bunganya ditanggung anak cucu. Efisiensi harus dilakukan di semua sektor. Belanja Pemerintah harus dirancang seefisien mungkin, anggaran pengeluaran harus mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.