Polemik “Tuhan Bukan Orang Arab”

MONITORDAY.COM - Akhir-akhir ini jagat media sosial dikejutkan lagi dengan sebuah ucapan yang dinilai menistakan agama. Seseorang bercerita di sebuah podcast, “Kalau saya berdoa setelah sholat, doa saya simpel aja, ya pakai bahasa Indonesia saja, karena Tuhan kita kan bukan orang Arab.” Ungkapan “Tuhan bukan orang Arab” inilah yang memicu polemik.
Jika dilihat secara sekilas, ungkapan “Tuhan bukan orang Arab” memang menimbulkan kerancuan. Pertama, Tuhan atau Allah itu faktanya bukan ‘orang’. Tuhan adalah suatu Zat Yang Esa, Maha Agung yang pasti berbeda dengan makhluk atau ciptaan-Nya. “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 163).
Tidak hanya dalam Islam, dalam agama maupun kepercayaan lain Tuhan tidak pernah sekalipun didefinisikan sebagai orang. Meski tidak ada kesepahaman mengenai konsep ketuhanan, tentang wujud, kehendak ataupun sifat, namun Tuhan disepakati berbeda dari ‘orang’ (manusia).
Dalam agama Budha, Tuhan didefinisikan dengan Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang artinya sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan dan yang mutlak.
Dari sini terlihat letak kerancuan ungkapan di atas bahwasannya Tuhan tidak akan sama dengan orang. Diantara sifat wajib Tuhan dalam agama kita adalah berbeda dengan makhluk-Nya (Mukhalafatul lil hawaditsi). Maka mustahil Tuhan sama dengan makhluk-Nya (Mumatsalatul lil hawaditsi).
Kedua, premis “Tuhan bukan orang” sebetulnya sudah menepis premis selanjutnya, “Orang Arab”. Sudah jelas-jelas bukan orang, maka tidak mungkin Tuhan punya bangsa. Segala yang melekat pada orang (manusia) termasuk bangsa, sudah dipastikan bukan Tuhan.
Intinya, ungkapan di atas sudah terhenti, sudah terpatahkan dan sudah terjawab pada kalimat “Tuhan bukan orang”, mau dia arab, sunda, jawa, kalimatnya tidak akan sampai disana. Karena dengan kalimat “Bukan orang” saja kita sudah bisa paham, kalau Tuhan itu bukan orang, bukan manusia.
Kemudian jika dipahami secara keseluruhan, pasti akan menimbulkan tanya. Jika Tuhan bukan orang Arab, lalu orang mana?
Dilihat secara kata, ungkapan tersebut sudah menyalahi kaidah definisi. Maka, pantas saja jika orang menanggapinya negatif bahkan dianggap sebagai penistaan agama. Itu terjadi jika kalimat yang diperhatikan sampai pada situ saja. Padahal bisa saja maksud si pembicara bukan kesana. Mungkin dia hanya salah kata.
Penulis tidak membela pihak manapun. Penulis hanya ingin mengajak pembaca untuk memperluas sudut pandang. Sehingga tidak mudah terpancing sumbu pendek, termakan hoax atau tergiring opini.
Kembali pada pembahasan ungkapan “Tuhan bukan orang arab.” Kita bedah kemana arah ungkapan yang dimaksud pembicara. Ternyata setelah membicarakan ungkapan “Tuhan bukan orang arab”, ada pembicaraan lanjutan seperti ini, “Saya (berdoa) pakai Bahasa Indonesia, Ya Tuhan, Ya Allah SWT saya ingin membantu orang, saya ingin menolong orang, itu saja doanya.”
Jika dikaitkan dengan ungkapan “Tuhan bukan orang arab”, penulis lebih melihat bahwa yang dimaksud si pembicara adalah Tuhan mengerti semua bahasa termasuk bahasa Indonesia. Allah Maha mendengar apa saja doa yang dipanjatkan hamba-Nya. Memang hal ini benar.
Ibnu Taimiyah berkata: “Berdoa boleh dengan bahasa Arab dan bahasa non Arab. Allah SWT tentu saja mengetahui setiap maksud hamba walaupun lisannya pun tidak bisa menyuarakan. Allah Maha Mengetahui setiap doa dalam berbagai bahasa apapun itu dan Dia Maha Mengetahui setiap kebutuhan yang dipanjatkan.”
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, Allah Maha Mengetahui, jangankan doa yang diucapkan, yang disembunyikan di hati saja Allah Tahu, yang diisyaratkan apalagi. Namun, yang menjadi soal, bolehkah ‘terus-terusan’ berdoa dengan bahasa Indonesia? Sementara Rasulullah SAW mencontohkan banyak doa di dalam haditsnya memakai bahasa Arab.
Hal ini selalu menjadi kontroversi yang tidak ada hentinya. Apakah boleh bacaan sholat diartikan ke bahasa lain? Mari kita perbesar kacamata kita, bukankah sudah jelas alasan mengapa Al-Quran berbahasa arab dan datang kepada orang arab? Ya, karena bahasa arab adalah bahasa yang paling layak untuk penyampaian pesan-pesan Ilahi dengan jumlah diksi yang banyak dan punya kedalaman makna yang indah.
Menurut Ustadz Ahmad Sarwat, peneliti senior Rumah Fiqih, bahasa arab adalah bahasa yang abadi. Bahasa bagian dari budaya yang akan terus tumbuh, berkembang bahkan berubah seiring perjalanan waktu. Sedangkan bahasa arab tidak pernah mengalami perubahan, ia tidak akan punah meski melewati waktu berabad-abad. Seandainya Al-Quran menggunakan bahasa inggris, bisa jadi 200 tahun kemudian orang tidak bisa memahaminya lagi. Karena bahasa inggris sering mengalami perubahan.
Oleh karena itu, umat Islam hendaknya tidak menolak untuk belajar bahasa arab. Bisa dibilang bahasa arab itu adalah bahasa resmi umat Islam, bahasa arab mendorong umat Islam untuk lebih peka lagi dalam menangkap pesan Ilahi dalam Al-Quran.
Dari pemaparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa boleh saja berdoa menggunakan bahasa non arab, tapi jika mampu untuk menghafal doa berbahasa arab, kenapa tidak? Selama masih diberi kemampuan menghafal, lebih baik diusahakan berdoa dengan bahasa arab.
Syaikh Sholih Al Munajid menjelaskan, “Jika orang yang shalat mampu berdoa dengan bahasa Arab, maka ia tidak boleh berdoa dengan bahasa selainnya. Namun jika orang yang shalat tersebut tidak mampu berdoa dengan bahasa Arab, maka tidak mengapa ia berdoa dengan bahasa yang ia pahami sambil ia terus mempelajari bahasa Arab.”
Menanggapi pembicaraan “Tuhan bukan orang Arab” di atas, penulis punya catatan sendiri. Pertama, saat membicarakan Tuhan, kehati-hatian kita harus lebih ditingkatkan. Karena pembahasan Tuhan, Al-Quran dan agama secara keseluruhan itu sangat rentan. Pemahaman tiap orang bisa saja berbeda, bisa jadi menurut kita A, menurut dia B.
Agama kita khususnya, punya kebenaran yang mutlak, yang datangnya bukan dari manusia. Jadi, bila ada yang menyinggung agama dan tidak sesuai dengan standar kebenaran agama, maka disinilah muncul yang disebut dengan penistaan.
Kedua, tentang berdoa memakai bahasa selain bahasa arab, penulis menyetujui apa yang dikatakan para ulama. Selama masih mampu memakai bahasa arab, kenapa harus berdoa dengan bahasa lain. Sebab, begitulah yang Rasulullah sunahkan.
Ketiga, kita sebagai warga media sosial, sebaiknya jangan semena-mena dalam mengomentari sesuatu. Coba lebih bijak lagi, lihat konteks pembicaraanya. Apalagi jika ada video yang dipotong, pastilah timbul kesalahpahaman. Tenangkan diri, jangan mudah terpancing. Lihatlah video secara utuh, pahami secara utuh, lalu berkomentar.
Keempat, ungkapan “Tuhan bukan orang Arab”, penulis rasa memang sudah menyinggung keagungan Dzat Allah yang tidak mungkin sama dengan orang (manusia). Al-Quran menegaskan hal ini setegas-tegasnya, “Tiada ada sesuatu pun yang sama dengan Allah. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syuro: 11)