Jangan Nodai Pesantren Kami

Jangan Nodai Pesantren Kami
Ilustrasi Pondok Pesantren

MONITORDAY.COM - Pemberitaan miring mengenai pondok pesantren kembali mencuat. Kali ini datang dari seorang yang disebut ustadz tapi perilakunya jauh panggang dari api. Sebut saja namanya HW. Seorang yang mendirikan yayasan dan Ma'had tahfizh namun dengan tujuan terselubung.

Selaku yang pernah mondok dan mengajar di pesantren, saya sangat geram. Saya tidak menganggap HW sebagai ustadz dan lembaga yang didirikannya sebagai pesantren. Berdasarkan pernyataan KH. Maman Imanul Haq, Anggota DPR RI asal Jawa Barat, HW tidak punya riwayat pendidikan pesantren. Dia hanya seorang lulusan jurusan PAI di Universitas Islam Swasta di Bandung.

Yang dilakukan HW pun di luar nalar. Dia menjadikan santri-santrinya sebagai pelampiasan nafsu bejatnya. Tidak hanya satu, tapi belasan orang. Kelihatannya Iblis saja akan minder dengan perilaku HW. Namun itulah kenyataannya. 

Untuk HW saya hanya ingin mengatakan, jangan Nodai citra pesantren kami. Gara-gara perilakumu, banyak yang mengambil momentum untuk menyerang kredibilitas pesantren. Padahal masih banyak pesantren yang bagus di dunia ini. 

Tentu bukan berarti pesantren yang sudah ada suci dan tidak ada noda di dalamnya. Setidaknya berdasarkan pengalaman pribadi, ada tiga hal yang rentan terjadi di sekolah berasrama (tidak hanya pesantren) yang harus diantisipasi:

1. Kekerasan Fisik dan Verbal Oleh Guru

Kekerasan masih menjadi cara efektif untuk mendidik peserta didik. Hal ini terjadi di dalam berbagai lembaga pendidikan. Tentu saja kita yakin bahwa kekerasan yang dilakukan seorang guru kepada murid didasarkan atas rasa kasih sayang. Namun apakah kekerasan menjadi satu-satunya jalan? 

Seiring dengan perkembangan ilmu pedagogik, kekerasan bukan lagi jawaban atas kenakalan atau perilaku siswa yang ingin kita ubah. Efektifitas penggunaan kekerasan dalam pendidikan sipil dipertanyakan. Muncul banyak metode menanamkan kedisiplinan tanpa kekerasan. Sudah selayaknya ponpes juga mengikuti perkembangan ini dan menjadikan cara non kekerasan sebagai pilihan utama dalam mendidik santri. 

2. Bullying Oleh Sesama Santri

Bullying rentan terjadi dalam sekolah berasrama. Hal ini disebabkan intensitas pertemuan yang sangat tinggi dari siswa. Pesantren meniscayakan santri-santrinya berinteraksi selama hampir 24 jam sehari. 

Bullying bisa disebabkan banyak hal. Pertama faktor keisengan. Kedua faktor balas dendam kepada santri yang dianggap nakal dan tidak disukai oleh teman-temannya. Ketiga dilakukan oleh santri yang kuat kepada santri yang lemah. 

Bullying berbahaya bagi perkembangan mental santri. Bisa menyebabkan trauma yang mendalam bagi korbannya. Pihak pondok perlu menetapkan kebijakan yang tegas dan menerapkan mekanisme penanganan yang jelas bagi kasus bullying di pesantren. 

3. Kekerasan dan Penyimpangan Seksual

Dibandingkan dengan dua poin di atas, kekerasan dan Penyimpangan seksual lebih jarang terjadi. Namun perilaku ini tak bisa diremehkan. Kekerasan seksual contohnya adalah pemerkosaan. Sementara penyimpangan seksual contohnya perilaku LGBT di kalangan santri. 

Lagi-lagi pihak pengurus ponpes dibebani tanggung jawab untuk mengawasi putra putri didikannya agar jangan sampai menjadi pelaku atau korban dari penyimpangan ini. 

Yang jelas munculnya kasus yang mencuat ke publik jangan membuat lemah semangat para pengurus pesantren. Justru harus semakin kuat untuk menunjukan dan membuktikan pesantrennya aman dan nyaman bagi santrinya. Ini menjadi tantangan pengurus pondok di era dimana segala sesuatu mudah menjadi viral.