Pilkada Serentak, Demokrasi, dan Kepemimpinan yang Ideal
Meski kerap berjibaku dengan persoalan internalnya sendiri, demokrasi tetaplah alternatif paling baik di antara beragam sistem pemerintahan yang bisa kita pilih. Paling tidak, sistem ini telah memberikan ruang bagi keragaman pendapat, keinginan, dan harapan publik.

Meski kerap berjibaku dengan persoalan internalnya sendiri, demokrasi tetaplah alternatif paling baik di antara beragam sistem pemerintahan yang bisa kita pilih. Paling tidak, sistem ini telah memberikan ruang bagi keragaman pendapat, keinginan, dan harapan publik.
Dengan kata lain, sistem demokrasi masih cukup ideal dan adil dalam memenuhi hak asasi manusia untuk menentukan nasib melalui kepercayaannya menunjuk seorang pemimpin. Meminjam ungkapan seorang politisi sekaligus pemikir kenamaan asal Inggris Lord Bolingbroke bahwa, kebebasan bagi masyarakat itu seumpama dengan faktor kesehatan, yang amat penting bagi siapa pun.
Bisa pula kita simak perkataannya Amartya Sen dalam bukunya ‘Development as Freedom’, bahwa betapa pentingnya kebebasan dan hak politik bagi masyarakat. Bagi Sen, kebebasan dan hak politik dapat mencegah munculnya malapetaka. Ketika sistem politik, realitas sosial dan ekonomi berjalan dengan baik, kebebasan dan hak politik memang terasa tak begitu memikat. Isunya juga tak seksi untuk didiskusikan. Namun dalam kondisi seperti saat ini, kebebasan menjadi teramat penting. Tanpa itu semua maka benih-benih totalitarianisme maupun oligarki politik sekecil apa pun dapat menjadi bara dalam sekam. Tanpa ragu, Sen menyebutkan bahwa sebelum bergulirnya reformasi, Indonesia tak memperlihatkan ketertarikannya pada demokrasi sebelum luluh lantah diterjang krisis moneter.
Kehadiran demokrasi sejenak dapat meredakan beragam kekacauan yang menerpa kehidupan berbangsa dan bernegara; relasi sosial yang sempat rapuh, mulai kembali menguat, sementara sistem politik dan ekonomi dapat melewati masa transisi secara konstitusional. Namun, karena dalam perkembangan selanjutnya demokrasi diganggu oleh perilaku politik yang pragmatis, yang membuat demokrasi mulai kehilangan separuh nafas dan tak lagi mampu memberi jalan menuju keadilan yang dicita-citakan.
Idealnya demokrasi memang meniscayakan kebaikan untuk bersama. Namun bila demokrasi dijalankan dengan cara-cara tidak baik, hasilnya pun pasti akan tidak baik. Meminjam istilah sejarawan Lilia Shevtsova demokrasi seperti ini tak lebih dari “an “imitation democracy” with imitation democratic institutions. The form of democracy is there, but the essential content of competition and pluralism is not”. Demokrasi, yang secara formal ada tetapi secara substansial entah kemana.
Benar, bahwa dalam praktiknya demokrasi sendiri kemudian menjadi semacam permainan. Tetapi bukankah sejatinya memang manusia, sebagaimana dikatakan filosof Johan Huizinga, adalah makhluk yang menyukai permainan alias homo ludens? Jadi tidak pada tempatnya bila untuk hal alami itu kita terlampau memberikan waktu untuk mempersoalkannya.
Tengok saja pilkada serentak yang dalam waktu dekat akan segera dihelat di negeri ini, menjadi momen yang ramai, heboh, krusial, dan bahkan dramatis. Terutama setelah adanya UU No. 1 tahun 2014 mengamanatkan pemilihan Gubernur, Bupati, dan walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dilaksakan pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2015.
Terkadang, belum juga pemilu digelar, namun ingar bingar dan riuh riaknya sudah mulai terasa jauh sebelum hari pelaksanaannya. Berbagai macam cara dilakukan para politikus dan partai-partai politik untuk memuluskan jalan menuju pusat kekuasaan. Tak jarang itu membuat nilai-nilai demokrasi yang telah dibangun pun tercederai. Saat-saat itulah, timbul keadaan yang menurut Michael Foucalt tak ubahnya satu pintu menuju ‘kegilaan’, saat jiwa dikendalikan sepenuhnya oleh mesin hasrat; apa saja yang menghalangi pelampiasan hasrat akan didobrak, termasuk hukum dan moralitas.
Alih-alih meniscayakan regenerasi kepemimpinan, yang ada malahan melahirkan ilusi kepemimpinan. Para pemimpin yang besar dan gagah di dunia maya, namun kemudian melempem di dunia nyata. Beragam resep dan rumusan kesejahteraan dilantunkan di kala kampanye politik, namun tak lama setelah memimpin sang pemimpin mulai kembali ke jati dirinya.
Untuk membebaskan politik dari para pemimpin yang ilutif tersebut, tampaknya kita harus kembali mengingat satu hal mendasar dalam demokrasi selain spirit kebebasannya yang inheren, yakni sisi keadilan. Termasuk juga adil dalam melihat kepemimpinan sebagai sebuah siklus dimana yang menggantikan pada saatnya mutlak harus digantikan. Dengan lebih dahulu sadar akan hal ini, seorang pemimpin selalu siap untuk menghadapi perubahan, kapan pun itu terjadi. Terutama siap untuk menggantikan dan digantikan, dan menerimanya dengan adil. Bukanlah seorang pemimpin jika tidak siap dengan itu dan selalu mempertahankan status quo.
Dengan kesadaran itu pula, maka seorang pemimpin punya kepedulian untuk menumbuhkan kader-kader terpilih yang siap menggantikan dirinya. Sebagai filsafat hidup seorang pengusaha nasional, Thayeb Mohammad Gobel, yang mengumpamakan seseorang sebagai pohon pisang, yang tidak akan mati sebelum mempersiapkan penerus dalam arti menumbuhkan tunas dan anakan untuk melanggengkan baktinya kepada alam. [ ]