Pilkada Jakarta Meninggalkan Kesan yang Menyakitkan

Perbedaan pilihan politik warga DKI Jakarta pada Pilkada menimbulkan gejala konflik ke-indonesiaan dan ke-Islaman.

Pilkada Jakarta Meninggalkan Kesan yang Menyakitkan
Istimewa

MONDAYREVIEW.COM- Perbedaan pilihan politik warga DKI Jakarta pada Pilkada kali ini meninggalkan kesan yang sangat menyakitkan. Pasalnya dengan perbedaan inilah gejala konflik ke-indonesiaan dan ke-Islaman kembali menguat.

Demikian disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, K.H Salahudin Wahid saat ditemui di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Sabtu (6/5).

Menurut pria yang akrab disapa Gus Solah ini, justru  konflik terjadi pada umat Islam itu tersendiri.  Umat Islam pendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama- Djarot Saiful Hidayat dianggap sebagai non-Islam dan munafik. Dan umat Islam pendukung  Anies Baswedan-Sandiaga  Uno dianggap anti-Indonesia dan intoleran.

"Melihat masalah yang kita hadapi belakangan ini seakan-akan ada upaya untuk mempertentangkan kembali ke-Indonesiaan dan ke-Islaman, sesuatu yang tidak perlu terjadi sebetulnya dalam berbagai kesempatan," katanya.

Menurut adik kandung Abdurahman Wahid ini hal tersebut muncul karena adanya perbedaan penafsiran soal Surat Al-Maidah ayat 51. Dengan adanya perbedaan ini seharusnya masyarakat bersikap lebih sejuk dengan tidak saling menyalahkan dan saling mengejek.  

"Tidak perlu saling salahkan, serang, atau ejek,” tambahnya.

Baginya, seharusnya  gejala itu tidak perlu diucapkan apalagi menimbulkan sikap saling menjustifikasi dan menghakimi. "Anggapan itu cukup diri kita sendiri tapi tidak boleh diucapkan untuk menghakimi orang lain," tegasnya.

Menurutnya Pilkada DKI Jakarta merupakan pilkada yang paling buruk. Pasalnya pada tahun 2017 ratusan pilkada digelar di sejumlah daerah, namun tidak sepanas di Jakarta. “Pilkada ratusan tapi tidak pernah terjadi konflik tajam seperti Pilkada DKI,"katanya.