Menggenjot Realisasi Investasi di Tengah Pandemi

Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana memanggil Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk melakukan evaluasi atas capaian realisasi investasi yang dinilai masih minim.

Menggenjot Realisasi Investasi di Tengah Pandemi
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM - Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana memanggil Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk melakukan evaluasi atas capaian realisasi investasi yang dinilai masih minim. Menurut anggota Komisi VI DPR RI Amin AK, komitmen investasi besar, tapi realisasinya minim. DPR RI perlu duduk dengan mitra dari BKPM untuk mengevaluasi apa yang sebenarnya terjadi. Banyak berita gembira komitmen investasi, tapi realisasinya belum ada.

Menurut Amin, meski belakangan kabar soal komitmen investasi terus mengalir, ia menilai realisasinya belum nampak. Misalnya saja, komitmen investasi dari Abu Dhabi yang mencapai 22,8 miliar dolar AS atau Rp319,8 triliun pada awal 2020 lalu. Misalnya Abu Dhabi yang katanya deal terbesar, tapi tidak ada realisasi. Artinya ada informasi yang dia tangkap di awal. Setelah mereka kunjungi dan dalami itu berbeda jauh. Sampai saat ini memang belum ada pernyataan batal, tapi realisasi juga belum ada.

Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan rencana investasi asing ke Indonesia yang cukup tinggi tidak diimbangi dengan realisasi komitmen investasi. Ia memaparkan, investor kerap menemui berbagai hambatan untuk merealisasikan rencananya. Selain soal perizinan, lahan dan tenaga kerja, hambatan investasi juga dipicu kurang ketatnya koordinasi antara kementerian dan lembaga sertai permasalahan hubungan pemerintah pusat dan daerah.

Hal lain yang menjadi pertimbangan investor dalam merealisasikan investasi adalah insentif pajak. Maklum, di tengah kompetisi antar negara dalam memperebutkan investasi, insentif pajak akan menjadi pemanis untuk menambah daya tarik suatu negara. Apalagi, negara-negara jiran tergolong royal dalam menggelontorkan insentif fiskal demi menarik investasi. Itu sebabnya, menurut Yusuf, pemerintah perlu juga mempertimbangkan pemberian insentif berdasarkan kebutuhan industri yang akan dibidik oleh investor.

Ia menambahkan, pemberian insentif dalam rangka menarik investasi tidak bisa dipukul rata. Pasalnya, jika ditilik lebih dalam, investor yang berkomitmen untuk berinvestasi datang dari berbagai jenis industri mulai industri manufaktur, barang konsumen hingga produk inovasi seperti mobil listrik. Hal ini menunjukkan bahwa investor membutuhkan jenis insentif yang berbeda.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, pada tahun ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) punya target realisasi investasi sebesar Rp866,1 triliun. Namun, target tersebut nyatanya harus direvisi dua kali untuk disesuaikan dengan kondisi pandemi COVID-19. Awalnya, BKPM membuat simulasi jika COVID-19 berakhir pada Mei 2020 maka target realisasi investasi dipatok Rp855,6 triliun.

Sayangnya, target tersebut kembali dipangkas menjadi Rp817,2 triliun karena pandemi yang tidak menunjukkan tanda akan berakhir. Dipangkasnya target realisasi investasi harus dimaklumi lantaran di tengah kondisi pandemi, investor tentu tidak ingin mengambil risiko menanamkan modal tanpa ada kepastian. Terlebih, pandemi membuat banyak negara memberlakukan lockdown.

Dalam penelitian mengenai dampak pandemi terhadap ekonomi, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyebut pandemi akan menekan aliran investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI). UNCTAD bahkan memprediksi FDI global akan turun 30-40 persen tahun ini.

Dengan tren tersebut, wajar jika kemudian Presiden Jokowi meminta menteri terkait, yakni Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia untuk tetap menjaga pertumbuhan realisasi investasi di Indonesia. Menurut Kepala Negara, laju investasi menjadi penting di tengah pandemi COVID-19 saat ini. Mengingat hal itu dapat menjadi daya dorong di tengah lesunya pertumbuhan konsumsi domestik.