Mengurai Penyebab Parahnya Covid-19 di Jawa Timur
Ada dua penyebab utama parahnya Covid-19 di Jawa Timur. Pertama adalah tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol Covid-19 yang masih rendah. Kedua lemahnya kebijakan pemerintah provinsi terkait penanganan wabah Covid-19.

MONDAYREVIEW.COM – Duka cita sedang menyelimuti Pemerintan Provinsi Jawa Timur. Kepala Bappeda Jawa Timur Rudi Ermawan Yulianto meninggal pada Selasa (14/7) malam di RS dr. Soetomo Surabaya. Menurut Khofifah Indar Parawansa, meninggalnya Rudi disebabkan penyakit Covid-19 yang dideritanya. Seluruh jajaran Pemprov dan masyarakat Jawa Timur menyatakan duka cita atas berpulangnya beliau.
Jawa Timur menjadi provinsi yang menyumbang jumlah positif Covid-19 terbanyak sejak awal Juni 2020. Per 13 Juli, Jatim memiliki jumlah kasus tertinggi (22%) yakni 16.600 orang dinyatakan positif. Jumlah ini melampaui DKI Jakarta yang memiliki 14.500 orang positif Covid-19. Secara umum penularan Covid-19 di Jawa Timur belum bisa dikendalikan.
Tingkat kematian akibat COVID-19 di provinsi ini juga yang tertinggi di antara 38 provinsi, yaitu 7,57%, menurut data Dinas Kesehatan Jawa Timur per 5 Juli. Data ini termasuk kematian petugas kesehatan mencapai 6% (21 dari 325 petugas kesehatan yang terinfeksi COVID-19 per 3 Juli). Persentase kematian tenaga kesehatan ini yang terbanyak, termasuk meninggalnya 10 dokter, 6 perawat, dan 3 bidan.
Ada dua penyebab utama parahnya Covid-19 di Jawa Timur. Pertama adalah tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol Covid-19 yang masih rendah. Kedua lemahnya kebijakan pemerintah provinsi terkait penanganan wabah Covid-19. Hal ini menyebabkan jumlah positif Covid-19 melejit melebihi Jakarta. Bahkan Ibukota Provinsi Jawa Timur, Surabaya dinyatakan sebagai zona hitam yang berarti tingkat keparahannya sangat tinggi.
Kepatuhan masyarakat memang menjadi sorotan, karena secara umum masyarakat kita banyak yang melanggar protokol Covid-19. Namun soal kepatuhan seharusnya bisa direkayasa jika pemerintah melakukan tindakan tegas. Namun sepertinya masih ada dilema dalam benak pemerintah antara protokol kesehatan dengan berjalannya ekonomi masyarakat. Akibatnya upaya penegakkan hukum pemerintah terhadap masyarakat yang melanggar protokol tidak berjalan efektif.
Hasilnya cukup mengagetkan, misalnya, angka ketidakpatuhan penggunaan masker di Jawa Timur mencapai 70% saat berakvitas ekonomi dan sosial di luar rumah. Artinya hanya sekitar sepertiga penduduk yang memakai masker saat berinteraksi di ruang publik. Temuan itu merupakan hasil survei evaluasi implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik) tahap pertama dan kedua yang dilakukan pada Mei.
Survei digelar oleh Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) Jawa Timur dan Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Dari survei ini ditemukan mayoritas responden, sekitar 62%, tidak menjaga jarak fisik 1-2 meter saat beraktivitas di luar rumah. Survei serupa dari lembaga yang sama pada 23-24 Juni menunjukkan ada peningkatan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan meski belum mencapai 80%.
Selain kepatuhan individu, yang perlu disoroti terkait Jawa Timur adalah kebijakan pemerintahnya dalam penanganan Covid-19. Kebijakan pemerintah di Jawa Timur dinilai lemah terhadap Covid-19. Hal ini ditandai dengan masih tingginya mobilitas sosial antar kota dan kabupaten di Jawa Timur. Salah satu kebijakan yang harus diterapkan di ketiga daerah ini, juga di 7 kabupaten/kota lain yang zona merah dan 22 kabupaten/kota zona oranye, adalah pembatasan mobilitas dan aktivitas sosial masyarakat.
Namun sayangnya tidak ada sanksi tegas bagi yang melanggar, sehingga mobilitas tetap tinggi. Hal ini dapat dilihat melalui google mobility. Tak heran jika Madiun yang sempat berubah menjadi zona hijau harus kembali turun menjadi kuning. Daerah penyumbang positif Covid-19 terbesar yakni Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Gresik. Tiga wilayah ini masuk zona merah dan termasuk ke dalam Surabaya Raya. Hari Raya Idul Adha yang akan segera kita rayakan berpotensi meningkatkan kembali jumlah positif Covid-19.
Selain dua faktor tersebut, ada lagi faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap penanganan Covid-19 di Jawa Timur. Yakni masih rendahnya jumlah tes PCR/SWAB yang dilakukan. Tes PCR di Jawa Timur masih jauh lebih rendah dibanding daerah lain di Pulau Jawa, yaitu hanya 1.568 tes per 1 juta penduduk atau 3.872-3.992 tes per hari. Jumlah pengetesan ini lebih rendah dari standar WHO untuk Provinsi Jawa Timur yaitu 5.700 testing per hari. Sedangkan persentase yang positif (positivity rate) dari pengetesan tersebut cukup tinggi, sekitar 19%, sedangkan standar WHO mensyaratkan di bawah 5%