Perkawinan Anak dan Permasalahannya
Indonesia menempati angka perkawinan anak tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja

MONITORDAY.COM - Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA RI, Indra Gunawan menilai Perkawinan anak perlu mendapat perhatian serius karena Indonesia menempati angka perkawinan anak tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
"Perkawinan anak mengakibatkan hilangnya hak-hak anak, terutama anak perempuan, untuk mendapatkan pendidikan, bermain, mendapat perlindungan dan keamanan, serta menjaga kesehatan reproduksinya" ujarnya kepada monitorday.com, rabu sore ini (15/1/2020)
Dia menjelaskan 16 tahun usia minimal perempuan menikah dan 18 tahun minimal usia laki-laki menikah. Jika belum mencapai usia tersebut, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita
Pada tahun 2019, kata Indra bahwasanya telah ditetapkan revisi pada UU Perkawinan mengenai batas minimum usia pernikahan menjadi 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara sanksi, tidak ada delik pidana
"Tidak ada sanksi pidana yang disertakan bagi yang melanggar batas usia perkawinan anak" lanjutnya
Ia pun merujuk pada data Perkawinan Anak mencapai terbaru mencapai 59,5% terjadi pada keluarga dengan ekonomi rendah. Sementara untuk faktor penyebab terjadinya perkawinan anak, Dia menyebutkan seperti tradisi/adat, pendidikan yang rendah, perjodohan dan sex pra-nikah.
Ditambahkan Indra, perkawinan anak memiliki dua dampak yang harus menjadi perhatian bersama.
Dampak Sosial
Dampak sosial Perkawinan Anak kata Indra, berpotensi pada perceraian dan perselingkuhan di kalangan pasangan muda yang baru menikah. Hal ini dikarenakan emosi yang belum stabil sehingga mudah terjadi pertengkaran dalam keluarga. Pertengkaran ini juga sering berujung pada KDRT karena relasi hubungan yang tidak seimbang.
"Kebanyakan perkawinan anak tidak tercatat secara hukum (nikah dibawah tangan) sehingga ketika terjadi kasus kekerasan dan berujung perceraian, korban tidak memiliki kekuatan hukum"
Dampak Psikologis
Sementara itu, dampak psikologinya adalah pasangan yang secara mental belum siap menghadapi perubahan peran dan menghadapi masalah rumah tangga seringkali menimbulkan penyesalan atas hilangnya masa sekolah dan remaja. Ketika perkawinan anak diwarnai dengan pertengkaran dan KDRT, hal ini dapat menyebabkan trauma psikologis yang dalam kepada anak.
"Dukungan bersama untuk menekan angka perkawinan anak dan mendukung anak-anak Indonesia mendapatkan haknya sangat diperlukan" pungkasnya