Perang Baliho di Era Digital 

Perang Baliho di Era Digital 
baliho Puan Maharani, Airlangga Hartarto dan A. Muhaimin Iskandar

MONITORDAY.COM - Dalam beberapa pekan terakhir media massa dan media sosial tengah menyoroti banyaknya baliho politisi yang bertebaran. Musim kampanye masih jauh namun upaya merintis jalan menuju kontestasi Pemilu 2024 mulai memanas. Baliho Ketua DPR Puan Maharani, Ketua Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar terpasang di banyak tempat strategis di beberapa kota. Demikian juga baliho yang menampilkan Ketua Partai Demokrat (PD) Agus Harimurti Yudhoyono.  

Tak dapat dipungkiri baliho menjadi salah satu medium bagi politisi memperkenalkan diri dengan segenap citranya. Para kandidat capres menyadari bahwa elektabilitas diawali oleh popularitas. Pengenalan publik atas sosok politisi adalah separuh jalan menuju keterpilihan. Itulah keniscayaan dalam demokrasi elektoral. Dan langkah membangun. popularitas memerlukan waktu yang cukup lama. Apalagi di tengah persaingan yang semakin ketat. 

Melalui baliho komunikasi politik dilakukan. Komunikasi Politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik melalui baliho dengan menampilkan sosok-sosok elit partai menunjukkan bahwa mesin politik partai sedang bekerja. Pada gilirannya partai dan para aktornya akan saling memanfaatkan untuk meraih keuntungan politik.  

Meski kini era digital, media luar ruang semacam baliho masih memiliki peran efektif sebagai media kampanye. Tak sembarang orang memiliki sumber daya yang cukup untuk menyewa titik-titik strategis sebagai lokasi memasang baliho. Pajaknya relatif mahal. Hanya orang kuat yang mampu melakukan itu. Kebanyakan orang akan melihat hal itu sebagai tindakan spekulatif alias ‘bakar duit’.   

Bagi politisi bermodal kuat, semua media kampanye dapat digunakan. Termasuk baliho. Meski ada banyak kritik dan kejenuhan publik pada maraknya penggunaan media luar ruang yang tak jarang membuat pemandangan kota semakin sumpek. Mau tak mau setiap pengguna jalan yang melewati titik strategis dimana terpasang baliho politisi akan merekam pesan yang disampaikan iklan tersebut. Setidaknya mereka yang melihat akan mengenal sang tokoh dalam baliho. Memilih atau tidak itu urusan nomor dua. 

Baliho-baliho itu dicetak dengan mesin digital printing yang semakin mudah dan murah. Sehingga beragam desain dapat dituangkan sesuai keinginan konseptornya. Bahkan dapat diseragamkan meski dicetak di berbagai daerah oleh beragam mesin cetak. Hal itulah yang nampak dari gejala baliho spontan namun seragam.   

Baliho bertema kebhinekaan yang menjual sosok Puan Maharani paling populer sekarang ini. Baliho itu dianggap upaya mengunci jatah calon presiden. Meski para pengurus partai di daerah mengklaim bahwa pemasangan baliho Puan adalah spontanitas, publik tak dapat dilarang untuk memiliki anggapan yang berbeda. Mobilisasi dan instruksi bagi mesin partai untuk mendongkrak popularitas Puan yang masih ‘satu digit’ sangat kuat aromanya.

Sangat beralasan jika tujuan komunikasi politiknya adalah mendongkrak popularitas. Menurut survei popularitas Puan belum menggembirakan. Masih di kisaran 1,7 atau kurang dari dua digit. Tak hanya kalah populer dari tokoh-tokoh politik partai lain, Puan juga masih tertinggal dari Ganjar Pranowo sebagai rival separtai. 

Banyaknya baliho Airlangga dan Cak Imin juga menunjukkan bahwa pengaruh dan kekuatan mereka terhadap struktur partai cukup tinggi. Setidaknya hal itu menjadi penanda bahwa mereka punya kuasa. Yang menjadi soal adalah seberapa besar efek Airlangga bagi elektabilitas Partai Golkar dan efek Cak Imim pada elektabilitas PKB. Juga seberapa besar efek baliho bagi popularitas keduanya.  

Jika baliho masih menjadi sarana utama dalam menyampaikan pesan politik hal itu dapat menjadi pertanda biaya politik masih cukup tinggi. Termasuk dalam komponen biaya alat peraga kampanye. Dan mereka yang memiliki kekuatan finansial maupun kendali mesin politik yang mampu memenangkan tahap demi tahap laga demokrasi mendatang.