Obral Gelar Doktor Honoris Causa dan Integritas Akademik

Muncul keresahan bahwa gelar Doktor Kehormatan pada hari-hari ini terlalu mudah untuk diobral khususnya kepada pejabat publik.

Obral Gelar Doktor Honoris Causa dan Integritas Akademik
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – Doktor kehormatan atau Doktor Honoris Causa (HC) adalah gelar akademik yang diberikan kepada seseorang sebagai penghormatan atas kontribusinya dalam bidang akademik. Gelar ini diberikan kepada individu-individu yang tidak mempunyai gelar akademik tinggi namun dirasa pantas menyandangnya karena kontribusinya. Banyak tokoh yang mendapatkan gelar ini, misalnya Buya Hamka yang mendapatkan gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Al Azhar Mesir. Yang berwenang mengeluarkan gelar ini adalah universitas dengan tahapan seleksi tertentu.

Sayangnya, muncul keresahan bahwa gelar Doktor Kehormatan pada hari-hari ini terlalu mudah untuk diobral khususnya kepada pejabat publik. Bahkan pemberian gelar tersebut bisa menjadi bagian dari komitmen tertentu antara pihak universitas dengan pejabat publik yang mendapatkan gelar. Banyak pula kasus aturan administratif tidak dipenuhi karena yang diberi gelar adalah tokoh bangsa bahkan mantan Presiden RI. Hal ini mencederai integritas akademik yang seharusnya bersih dari campur tangan politik. Dalam dunia akademik integritas menjadi standar moral yang wajib dipatuhi. Ada adagium seorang ilmuwan boleh salah tapi tidak boleh bohong.

Menurut akademisi Universitas Islam Indonesia Nizamuddin Saddiq, seseorang membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun untuk menyelesaikan studi di Inggris dan 5.8 tahun di Amerika Serikat. Selama kurun waktu tersebut, mereka mengorbankan kedudukan, penghasilan, keluarga dan kehidupan sosial mereka. Dari segi proses, mahasiswa doktoral di luar negeri juga melewati berbagai fase perjuangan dari awal menyiapkan keberangkatan hingga kembali pulang saat pulang ke negara asal.

Suatu analisis tahun 2019 di majalah Nature tentang kehidupan mahasiswa doktoral menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga responden (36%) menderita depresi yang disebabkan oleh studi PhD mereka. Mayoritas (76%) responden menghabiskan waktu mereka lebih dari 41 jam/minggu untuk studi doktoral, dan sekitar 10% responden bertanggung jawab untuk merawat anak di bawah usia 12 tahun. Sulit bagi mereka untuk menjadi mahasiswa PhD sekaligus menjadi orang tua yang baik secara bersamaan. Sementara itu, penerima gelar Dr HC tidak perlu mengalami itu semua. Mereka cenderung pasif karena proses lebih banyak dilakukan pihak perguruan tinggi dan pemerintah.

Karena sifatnya yang rawan kepentingan politis, pemberian gelar Dr HC di Indonesia bisa dihilangkan. Universitas terkemuka di Amerika seperti Cornell, Stanford dan UCLA yang memilih untuk tidak memberikan gelar kehormatan tersebut. Jika ingin tetap memberikan gelar tersebut, Nizamuddin Saddiq merekomendasikan tiga prinsip utama yang seharusnya dijalankan dalam pemberian gelar Dr HC untuk menghindari konflik kepentingan.

Pertama, pemberi dan penerima gelar kehormatan harus memiliki komitmen untuk tidak saling “menggoda”. Artinya, anggota senat universitas dan rektor tidak memberi rekomendasi untuk memberi gelar kepada pejabat publik. Sebaliknya, pejabat publik juga harus berkomitmen untuk untuk tidak menerima tawaran tersebut saat dia sedang menjabat. Selama ini, tidak ada etika atau aturan tertulis yang melarang promotor untuk mengusulkan seseorang dengan jabatan publik. Dengan banyaknya kasus yang terjadi maka sudah waktunya etika ini dijadikan pedoman entah tertulis atau tidak untuk menghindari obral gelar tersebut.

Kedua, perguruan tinggi harus berkomitmen untuk tidak memberikan gelar Dr HC saat momen politik seperti pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden untuk menghindari konflik kepentingan. Idealnya, setahun sebelum dan sesudah tanggal pemilihan umum merupakan jangka waktu ideal untuk tidak memberikan gelar doktor kehormatan ini.

Ketiga, pemberian gelar Dr HC harus fokus kepada kontribusi akademik yang diberikan secara selektif. Saat ini, pemberian gelar Dr HC tidak berdampak secara nyata kepada peningkatan atmosfer akademik di perguruan tinggi. Karena bersifat simbolik, hampir tidak ada sumbangsih keilmuan dari penerima gelar kehormatan setelah mereka mendapatkan gelar Dr HC tersebut. Harusnya, pemberian gelar ini bergantung pada seberapa besar ide-ide pemikiran mereka dikutip atau dijadikan landasan keilmuan oleh masyarakat umum dan masyarakat akademik.

University of Virginia, Amerika Serikat sudah memberikan contoh. Mereka memang memiliki kebijakan tegas untuk tidak memberikan gelar kehormatan. Sebagai gantinya, mereka mempersembahkan “Thomas Jefferson Foundation Medal” bagi tokoh berprestasi di luar universitas, dalam bidang arsitektur dan hukum. Penghargaan ini lebih elegan karena sesuai dengan prinsip akademik dan tidak menimbulkan keresahan politik.