Pemborosan Kapal Pembangkit PLN Jadi Temuan BPK
Terlalu beratnya beban kelebihan (supply) daya listrik sebagai akibat tak ditindaklanjutinya berbagai program pembangunan industri (sektor riil)

MONDAYREVIEW- Pengadaan pembangkir bergerak berkapasitas 500 megawatt belum seluruhnya menggunakan bahan bakar gas. Akibatnya terjadi pemborosan di PT PLN (Persero) Rp 1,6 Triliun. Hal itulah yang menjadi temuan BPK sebagaimana dikemukakan Suprawadi selaku Penanggungjawab Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu BPK.
Menanggapi hal tersebut, ekonom konstitusi Defiyan Cori menegaskan bahwa Pemborosan yang terjadi pada PT. PLN lebih disebabkan tidak bekerjanya Dewan Manajemen (Direksi dan Komisaris) secara terencana, terprogram dan terjadwal. Terlalu beratnya beban kelebihan (supply) daya listrik sebagai akibat tak ditindaklanjutinya berbagai program pembangunan industri (sektor riil) di satu sisi dan keinginan membangun sektor energi yang terlalu ambisius di sisi yang lain, membuat kinerja PLN menjadi buruk.
BPK pun menyoroti terjadinya keterlambatan dalam realisasi program tersebut. Hal itu tentu saja mengakibatkan kerugian secara ekonomis. BPK juga menemukan konsumsi bahan bakar pembangkit bergerak lebih besar. Kisarannya 0,37 sampai dengan 0,41 liter pe kWh.
PLN sendiri telah memulai proyek kapal listrik sejak 2015. PLN menargetkan membangun 8 unit di Paya Pasir dan Pulau Nias (Sumatra Utara), Balai Pungut (Riau), Air Anyir dan Belitung Suge (Babel) Tarahan (Lampung), Pontianak (Kalbar), Jerajang (Lombok).
Defiyan Cori juga memberi catatan penting bahwa sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) telah berkali-kali direvisi (tercatat 3 kali revisi) dengan sasaran 35.000 MW yang sangat ambisius di saat banyak proyek kelistrikan yang tak berjalan (mangkrak) di masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Berdasarkan temuan BPK, biaya produksi kapal listrik menggunakan HSD (high speed diesel) mencapai Rp 2.340 per kilowatt jam (kWh) jauh di atas biaya operasi bila menggunakan gas hanya sebesar Rp 1.284-Rp1.469 kWh.
Di sisi lain, potensi pemborosan itu tidak diiikuti oleh biaya produksi yang memadai. Uji petik yang dilakukan di 3 unit kapal listrik realisasi produksi listrik antara November 2017 dan Desember 2017 tidak sesuai dengan kontrak. Terkait beban pembayaran, PLN sendiri harus menanggung 70% biaya produksi kapal listrik walaupun listriknya tidak terpakai.
Alih-alih memeriksa penyebab tak berjalannya proyek-proyek kelistrikan itu, malah dijadikan bahan untuk "menyerang" pemerintahan sebelumnya yang disebut tak berkinerja. “Padahal yang dialami oleh PLN saat ini adalah kelebihan penyediaan listrik yang tidak mampu diserap oleh pasar atau pelanggan disebabkan pembangunan infrastruktur sektor industri non-energi yang sangat lamban.”, kata Defiyan Cori.
Kelambanan ini juga dipengaruhi oleh keengganan investor, baik dalam negeri maupun luar negeri mengurus perizinan di birokrasi yang terlalu panjang dan berbelit-belit, sehingga membuat beban biaya awal yang tinggi (high cost) bagi investor dan pengusaha. Jelas sekali, berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan sebanyak 16 paket tak berjalan dan berlaku efektif.
Selain itu, kinerja keuangan PLN yang selama ini disampaikan oleh Dewan Manajemen berhasil membukukan laba pada Tahun 2016 sebesar Rp 10,5 Triliun ternyata tak mampu membayar utang PLN dan kenaikan bahan mentah batu bara sebagai sumber produksi dalam menghasilkan listrik bagi PLN untuk kebutuhan pelanggan.
Jadi, harga sewa pembangkit listrik yang sangat mahal itu, semakin meyakinkan publik, bahwa Dewan Manajemen PLN tak saja bertindak tak profesional sama sekali, namun juga tak memahami skala prioritas. “Jika hal ini dibiarkan, maka negara dan terutama kelompok masyarakat akan menanggung beban sebagai dampak ketidakprofesionalan mengelola BUMN strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak ini.”, pungkas Defiyan Cori.