Mengakhiri Spiral Kekerasan

Perlu ada upaya-upaya normalisasi kembali hubungan antara warga Perancis dan imgiran juga antara kelompok sekular dan religius.

Mengakhiri Spiral Kekerasan
Sumber gambar: firstpost.com

MONDAYREVIEW.COM – Peristiwa yang terjadi di Perancis akhir-akhir ini menarik perhatian dunia. Bermula dari sebuah majalah di Perancis yang bernama Charlie Hebdo. Majalah ini memiliki kredo kebebasan berpendapat dan kritis terhadap doktrin-doktrin agama. Pandangan itu direfleksikan dengan pembuatan karikatur-karikatur yang bernada ejekan terhadap agama-agama samawi. Karikatur yang membuat heboh adalah kartun Nabi Muhammad SAW. Sosok Nabi Muhammad SAW dalam kredo muslim haram digambarkan. Pengharaman penggambaran Nabi Muhammad SAW dalam studi agama disebut dengan ikonoklasme.

Karikatur Nabi Muhammad SAW memancing kemarahan umat Islam seluruh dunia. Kemarahan umat Islam diekspresikan dalam bentuk aksi-aksi protes maupun aksi kekerasan. Aksi kekerasan terbaru menimpa seorang guru sejarah yang bermaksud menerangkan kartun tersebut di forum kelasnya. Beliau kemudian dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya oleh seorang pemuda imigran dari Checnya. Pemuda tersebut tewas ditembak oleh polisi akibat aksinya. Hal ini memancing reaksi dari warga Perancis yang marah dengan perilaku sang pemuda tersebut.

Kemarahan warga Perancis diekspresikan dalam aksi massa yang melibatkan warga yang cukup banyak. Terjadi pula peristiwa kekerasan yang menimpa umat Islam sebagai bentuk balas dendam atas kekerasan yang dilakukan sebelumnya. Hal ini membuat kita miris karena terjadi spiral kekerasan yang tidak akan ditemukan ujungnya jika tidak diputus. Dendam akan melahirkan dendam berikutnya yang tak akan selesai. Eskalasi konflik juga sudah meningkat menjadi antar negara mengingat Emmanuel Macron Presiden Perancis menyatakan kecamannya terhadap muslim. Hal ini memancing reaksi negara-negara timur tengah untuk memboikot produk Perancis.

Perlu ada upaya-upaya normalisasi kembali hubungan antara warga Perancis dan imgiran juga antara kelompok sekular dan religius. Masing-masing perlu sedikit menurunkan egonya untuk kemudian membangun dialog yang sehat. Kelompok yang pro kebebasan berpendapat perlu untuk berempati kepada kelompok religius yang mempunyai keyakinan tertentu. Sebaliknya kelompok religius pun perlu tetap menahan diri agar tidak memilih jalan kekerasan dalam mengekspresikan penolakannya terhadap Majalah Charlie Hebdo.

Indonesia dapat menjadi laboratorium pengelolaan keberagaman yang baik bagi bangsa lain. Indonesia merupakan bangsa yang ramah agama namun menggunakan sistem demokrasi dalam perpolitikannya. Artinya antara kebebasan berpendapat dengan ajaran agama bisa beriringan, tentu dengan kompromi satu sama lain. Adanya kompromi ini membuat kebebasan di Indonesia tidak sebebas di Perancis. Namun hal ini justru melahirkan stabilitas sosial sehingga bangsa kita bisa lebih fokus ke hal lain seperti pendidikan, ekonomi, sosial dll.

Persoalan yang terjadi di Perancis mesti diambil pelajarannya bahwa toleransi dan tenggang rasa itu penting. Kebebasan tanpa rambu-rambu akan menjadi bencana dan menimbulkan kekacauan sosial. Indonesia sebagai negara dengan bhineka tunggal ika sangat rawan untuk terjadinya gesekan dan bentrokan. Namun berkat dasar negara pancasila semua itu bisa diminimalisir dengan tetap menghormati eksistensi masing-masing entitas dalam suatu bangsa.