Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung Solusi Efisiensi Lahan

MONITORDAY.COM -Teknologi semakin berkembang, berbagai inovasi tercipta dalam penyediaan energi bersih. Arahnya jelas agar investasi dan operasional pembangkit energi bersih semakin terjangkau dan layak secara ekonomis. Dalam jangka panjang diharapkan kalkulasi keekonomian pembangkit energi bersih akan unggul berkompetisi dengan pembangkit energi fosil.
Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) semakin mendesak. Langkah dan kebijakan terkait EBT perlu didorong agar semakin ekonomis. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas sebesar 2/3 berupa perairan dan potensi energi surya yang besar dengan berada posisi di negara tropis dengan iradiasi matahari rata - rata 4,8 Wh/m2
Salah satu peluang yang sangat terbuka adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Salah satu kendala yang dihadapi adalah soal lahan sebagai lokasi penempatan panel-panel surya tersebut. Selain di lokasi terbuka biasanya panel surya diletakkan di atap bangunan.
Pemerintah melakukan berbagai langkah untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional, salah satunya dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung. PLTS menjadi salah satu prioritas yang bisa dilakukan secara cepat, seperti PLTS terapung. PLTS terapung adalah adalah sebuah model PLTS terpusat yang diletakan terapung diatas air seperti danau, waduk dan sejenisnya, termasuk laut.
Di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang tengah disusun saat ini, potensi PLTS terapung di Jawa, dari waduk, danau, dan bendungan mencapai 1.900 Mega Watt (MW). Untuk PLTS Terapung Cirata terhitung memiliki tingkat keekonomian yang baik dengan angka-angka yang berada di bawah BPP pembangkitan Jawa.
Para ahli menegaskan bahwa PLTS terapung akan lebih baik lagi jika dikombinasikan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) melalui konsorsium PLTS Terapung Cirata, PT Pembangkitan Jawa-Bali Masdar Solar Energi (PT PMSE) telah memastikan pendanaan untuk investasi sekitar US$ 145 juta.
Kebutuhan investasi untuk proyek ini ada di kisaran US$ 140 juta hingga US$ 145 juta. Nilai proyek kurang lebih sekitar US$ 1 juta per 1 MW. 80% oleh lender asing dan 20% dari konsorsium.
Lender terdiri dari Sumitomo Mitsui Banking Corp, Societe Generale dan Standard Chartered Bank. Amir melanjutkan, dengan financial close yang telah tercapai maka pelaksanaan proyek ditargetkan bisa rampung dalam 18 bulan ke depan. Artinya, proyek ini diharapkan beroperasi komersil pada November 2022.
PLTA bisa digunakan pada saat beban puncak, sehingga tidak dipakai 24 jam karena ketersediaan air terbatas. Pada siang hari PLTA digantikan dengan PLTS, sehingga tidak menambah kapasitas. Proses perizinan untuk PLTS terapung ini juga lebih mudah karena tidak membutuhkan pembukaan lahan baru.
Pemerintah juga akan mendorong konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) ke PLTS. Dia mengatakan, tahun ini sekitar 200 MW PLTD akan dikonversi menjadi PLTS.
Langkah PLN akan mengarah ke pulau-pulau kecil yang masih berbasis PLTD untuk penyediaan listrik di Kawasan Timur Indonesia. Direncanakan tahun ini terpasang sekira 200 mega watt (MW) PLTS plus baterai.
Selanjutnya adalah membangun PLTS skala besar di wilayah yang secara potensi surya bagus, seperti di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dan yang tak kalah pentingnya yaitu pemanfaatan PLTS di atap rumah atau gedung. Menurutnya, potensi PLTS atap di pabrik-pabrik dan gedung sangat besar, sistem sudah tersedia, dan peraturan sudah tersedia lengkap.