Peci Djarot, Antara Meraih Suara Umat Islam dan Simbol Nasionalisme Ala Sukarno

Jika menilik exit poll Indikator Politik Indonesia pada Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, dari 100 persen pemilih beragama Islam, pasangan Ahok-Djarot mendapatkan 33 persen, pasangan Anies-Sandiaga mendapatkan suara terbanyak hingga 46 persen.

Peci Djarot, Antara Meraih Suara Umat Islam dan Simbol Nasionalisme Ala Sukarno
Djarot Saiful Hidayat (vltrends)

MONDAYREVIEW.COM – Pada surat suara Pilkada DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat akan menggunakan peci. Djarot menyatakan alasan menggunakan peci, yakni sebagai simbol nasionalisme.

“Jadi, ini adalah simbol dari nasionalisme, inilah sebetulnya yang dipopulerkan bung Karno,” kata Djarot seperti dilansir Republika di kawasan Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat.

Djarot pun menyatakan dirinya memakai peci untuk lebih mendekatkan diri kepada sosok Sukarno dibandingkan meniru pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang memiliki slogan “Coblos Pecinya”.

“Ingat lho saya itu dikenal dengan juru kuncinya makam bung Karno di Blitar sepuluh tahun dan semua tahu. Bung Karno yang mempopulerkan pakai kopiah. Kalau orang Jawa Timur menyebutnya kopiah. Kalau sini bilangnya peci,” tutur mantan Wali Kota Blitar ini.

Djarot pun berkelit tidak melakukan copy paste pasangan Anies-Sandi. Ia menyatakan memakai peci saat maju di Pilkada 2005 di Blitar, Jawa Timur.

“Tidak apa-apa saya niru Bung Karno tidak apa-apa, niru Bung Karno katanya dipuji ya terima kasih, dipuji, dikritik juga terima kasih,” imbuh Djarot.

Peci, Simbol Nasionalisme Ala Sukarno

Ada pun kisah Sukarno mempopulerkan penggunaan peci dapat terlacak di buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

Sukarno ketika itu masihlah seorang pemuda berusia 20 tahun. Sebelum masuk ke ruang rapat Jong Java di Surabaya Juni 1921, Sukarno berdebat dengan dirinya sendiri.

“Apakah engkau seorang pengekor atau pemimpin?”

“Aku seorang pemimpin.”

“Kalau begitu, buktikanlah,” yakin Sukarno kepada dirinya sendiri. “Majulah. Pakai pecimu. Tarik nafas yang dalam! Dan masuklah ke ruang rapat… Sekarang!”

Di ruang rapat Jong Java, kaum intelegensia ternganga melihat tampilan Sukarno. Mereka, kaum intelegensia, membenci pemakaian blangkon, sarung, dan peci karena dianggap cara berpakaian kaum lebih rendah.

Sukarno pun memecah hening dengan berbicara:”…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”

Itulah awal semula Sukarno mempopulerkan pemakaian peci, seperti disarikan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Seperti dilansir Historia, Sukarno menyebut peci sebagai “ciri khas saya…simbol nasionalisme kami.” Sukarno mengkombinasikan peci dengan jas dan dasi. Ini menurut Sukarno untuk menunjukkan kesetaraan antara bangsa Indonesia (terjajah) dan Belanda (penjajah).

Suara Umat Islam yang Diperebutkan

Dari sekitar 7 juta pemilih Jakarta, pemilih beragama Islam mencapai 85 persen. Jika menilik exit poll Indikator Politik Indonesia pada Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, dari 100 persen pemilih beragama Islam, Agus-Sylvi menangguk dukungan 20 persen. Pasangan Ahok-Djarot mendapatkan 33 persen, pasangan Anies-Sandiaga mendapatkan suara terbanyak hingga 46 persen.

Dengan skema tersebut, serta dekatnya selisih suara antara pasangan Ahok-Djarot dengan Anies-Sandiaga, maka sukar untuk tidak menyatakan pemakaian peci Djarot di surat suara merupakan upaya untuk meraih simpati suara umat Islam.