Patriot Militan di Tengah Pandemi, Siapa Dia?
Dr. dr. Andani Eka Putra, MSc, putra asli Minang layak dicatat sebagai salah satu “patriot” Covid-19

MONDAYREVIEW.COM - Saat bangsa gelisah dirundung wabah, kabar cerah datang dari Ranah Minang Sumatra Barat (Sumbar). Bumi yang banyak melahirkan “Sang Pencerah”, mulai dari Tuanku Imam Bonjol, Hatta, Buya Hamka, Sjahrir hingga Rasuna Said.
Ditengah upaya pemerintah mengadaptasi pola hidup baru (new normal), Dr. dr. Andani Eka Putra, MSc, dokter asli Minang ini layak dicatat sebagai salah satu “patriot” Covid-19 yang tepat disejajarkan dengan nama-nama besar Sumbar.
Bagaimana tidak, dokter berkacamata minus ini bukanlah nama yang asing. Selain sebagai pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang, juga menjabat Direksi RS Universitas Unand. Saat ini, ia menjabat sebagai Kepala Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Dia memang banyak berkecimpung di ranah virus, mulai dari rotavirus, hepatitis, HIV dan lain-lain. Dengan sepasukan pekerja laboratorium yang berstatus mahasiswa, Andani menorehkan prestasi, dalam hal kapasitas pemeriksaan sampel darah untuk mendeteksi Covid-19. Ketika laboratorium lain hanya bisa menyelesaikan pemeriksaan 100 hingga 200 sampel per hari, laboratorium FK Unand rata-rarta bisa menyelesaikan 800 sampel.
Bagaimana Andani bisa bekerja dengan hasil yang begitu fantastis? Bahkan melampaui pencapaian hasil tiga laboratorium besar di Indonesia yang dimiliki Kementerian Kesehatan, Pemprov DKI Jakarta, dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Diketahui, Laboratorium yang dipakai awalnya adalah labotarorium riset miliknya . Hampir semua barang dan peralatan laboratorium adalah milik Andani. Sebagiannya, Ia beli sendiri, sebagian pengadaan hasil kerjasama dengan perusahaan untuk sebuah pengembangan produk yang dikerjakannya.
Nah, ketika virus corona mulai masuk Indonesia, ia pun bersiap-siap terlibat di dalamnya. Untuk membantu pemeriksaan di laboratorium, Ia meminta kesediaan para mahasiswa kedokteran Universitas Andalah, baik yang S1 maupun S2.
Untuk keperluan pemeriksaan sampel Covid-19, Andani diberi tempat lebih luas oleh Dekan FK Unand. Sementara, Rektor Unand pun mendukung dan memberi bantuan untuk memperbaiki ruangan labotatorium. Izin lab terbit pada tanggal 19 Maret 2020, dan pertama kali pemeriksaan sampel Covid-19 pada tanggal 25 Maret 2020.
Saat awal menerima sampel darah, para “pekerja lab” dadakan tadi tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir dan ketakutannya. Bahkan Andani menjumpai, ada beberapa yang sampai menangis. Andani memakluminya dan menjelaskan cara kerjanya hingga tekhnis pengerjaannya. Selain itu, Ia juga membimbing para pekerja dadakan yang juga mahasiswanya bagaimana pemeriksaan sampel darah.
Seiring dengan waktu, para mahasiswa mulai terbiasa. Bahkan Andani memuji loyalitas mereka yang sangat tinggi. Andani bahkan memasang target bisa memeriksa 300 sampel per hari. Sama seperti di bidang lain, maka laboratorium juga akan berjalan bagus kalau pemimpinnya strong.
Tak lupa, Andani mengisahkan riwayat labotatorium miliknya. Sebelum digunakan untuk memeriksa virus corona, semua peralatan lab dihibahkan ke FK Unand. Jika dirupiahkan, tak kurang dari Rp 2 miliar.
Dalam proses, datanglah bantuan alat PCR (Polymerase Chain Reaction) dari Walikota Padang. Juga bantuan lain dari Pemprov Sumatera Barat, Paragon, dan banyak pihak lain yang mendukung. Untuk mempercepat pemeriksaan sampel, serta meningkatkan kapasitas, Andani pun mengajukan permohonan pengadaan mesin ekstraksi.
Di luar dugaan, dari target 300 sampel per hari, saat itu dirinya dan tim sudah bisa menyelesaikan 700 sampai 800 sampel per hari. Maka, jika dilengkapi mesin ekstraksi hasilnya bisa 1.500 sampel per hari.
Apa yang terjadi? Selagi permohonannya diproses, Andani dan anak buahnya sudah berhasil menyentuh hasil pemeriksaan 1.500 sampel per hari.
Luara bisa, Andani dan timnya harus bekerja 22 jam sehari. Mulai bekerja habis shubuh pukul 05.30 dan baru selesa pukul 03.30 setiap hari. Alhasil, ketika mesin ekstraksi datang, labotatorium FK Unand bisa menyelesaikan 2.500 sampel per hari. Hingga hari ini, tidak ada satu pun labotatorium di Indonesia yang bisa melampaui hasil 1.100 per hari. Baik laboratorium Litbang Kemenkeas, Litbangkes DKI Jakarta, dan LBM Eijkman.
Sama-sama militan dan spartan
Sampai di titik ini, kita menangkap kesamaan frekuensi antara Dr. dr. Andani Eka Putra., MSc dengan Letjen TNI Doni Monardo. Bukan karena keduanya sama-sama berdarah Minang, tetapi ada satu benang merah di antara keduanya:
Jika Andani dan tim laboratoriumnya bekerja 22 jam sehari, demikian pula Doni Monardo dan sejumlah staf Gugus Tugas Covid-19 lainnya.
Bahkan Andani dan tim bermukim di laboratorium Komplek FK Unand kawasan Limau Manis, Pauh - Padang, Doni dan tim sudah hampir tiga bulan tidur di markas Graha BNPB, Jl Pramuka, Jakarta Timur.
Inilah teladan yang bisa menginspirasi kita. Wabah tidak untuk diratapi atau dicaci-maki. Wabah harus dihadapi dengan jiwa patriot sejati. Jiwa Andani dan Doni, adalah jiwa yang dibutuhkan bangsa ini melawan wabah yang entah kapan bakal enyah.
Wujud Nasionalisme
Totalitas bekerja Andani dan timnya, tak bisa diragukan, adalah wujud nasionalisme tertinggi. Seperti yang ia kemukakan, bahwa sejak awal kepada anggota lab, Andani sudah tegas mengatakan bahwa yang mereka kerjakan semata-mata untuk bangsa dan negara, atas nama kemanusiaan.
Tidak peduli soal honor, bahkan tidak peduli bagaimana mereka bisa hidup sehari-hari. “Bahkan, untuk makan sehari-hari kami dibantu oleh para donatur. Selalu saya tekankan, bekerjalah dengan ikhlas. Ada atau tidak ada imbalan, jangan sekali-kali dipikirkan. Ini saatnya berjuang,” tegas Andani semangat.
Kini, mereka bahkan tidak saja bisa bekerja untuk Sumatera Barat, tetapi juga bisa membantu daerah-daerah lain. Surabaya yang sedang diguncang besarnya angka korban yang terpapar, pun mendapat tawaran untuk memeriksakan sampelnya ke Padang.
Sebelumnya, ia sudah permohonan bantuan pemeriksaan sampel Covid-19 dari Palembang, Kabupaten Sambas Kalbar Bengkulu, dan beberapa daerah lain.
Tanpa disadari, hadirnya Andani dan tim laboratoriumnya, melahirkan satu pola penanganan Covid-19 tersendiri, yang bisa ditiru bahkan diterapkan di daerah lain. Sebagai contoh, statistik nasional, pasien positif yang dirawat di RS sebesar 66 persen. Sedangkan di Sumatera Barat, persentase yang dirawat di RS hanya 16 persen.
OTG adalah ibarat harimau yang berkeliaran dan bisa memangsa siapa saja.
Menariknya, kita melihat jika pemerintah pusat terjebak pada pemeriksaan PDP sedangkan pola Andani dan tim lebih kepada mendiagnosa langsung ke OTG,. Ada analogi yang menarik dari Andani yang patut disimak, yakni mana lebih baik, menangkap harimau di dalam kandang atau menangkap harimau yang berkeliaran di rimba. OTG adalah ibarat harimau yang berkeliaran dan bisa memangsa siapa saja.
Atas analogi itu, Andani menjawabnya sendiri, “Jelas lebih baik menangkap harimau di rimba, kan?” Ia menambahkan, yang dilakukan adalah pemeriksaan PCR, bukan rapid test. “Sudahlah, kalau boleh saran, tinggalkan pola rapid test, yang bahkan WHO sendiri tidak merekomendasikannya.
Ada contoh nyata. Dua hari lalu (4/6/2020), seseorang lolos dari rapid test di bandara Soekarno Hatta menuju Padang. Di bandara internasional Minangkabau, dilakukan test dan hasilnya positif. Sebelumnya lagi, Tim Andani memeriksa 20 anggota Polri yang sudah rapid test dan negatif, namun setelah dilakukan pengecekan lebih internsif, hasilnya dua di antaranya ternyata positif. Sebaiknya, berhati-hatilah dengan rapid test.
Tingkatkan Kapasitas Laboratorium
Yang perlu kita lakukan saat ini adalah meningkatkan kapasitas laboratorium. Sebab, hanya dengan cara itu kita bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Ingat, perang menghentikan Covid-19 itu adanya di lapangan, bukan di rumah sakit.
Perang sesungguhnya itu ya di pasar-pasar, di stasiun-stasiun, di terminal-terminal, di kantor-kantor, bahkan di rumah-rumah penduduk. Bukan di rumah sakit. Rumah sakit itu benteng terakhir untuk mencegah dan mengurangi angka kematian.
Laboratorium di Jakarta terbatas
Karenanya, Andani prihatin ketika koleganya sesama dokter di Jakarta bercerita, bahwa ketika ada pasien masuk, yang dirawat hanya pasien, sementara keluarganya tidak diperiksa. Ini terjadi karena memang kapasitas labotarotium di Jakarta juga terbatas.
Stop ego sektoral
Sedangkan kepada teman-teman di Dinas Kesehatan di mana pun berada, termasuk di Kementerian Kesehatan, Andani berharap bisa bekerjasama, menghentikan ego sektoral. Harus dibangun komitmen bersama.
Sederhananya, jangan ada yang merasa paling hebat, tapi pekerjaannya sedikit. Jangan diperbanyak publikasi di media massa, tetapi faktanya hasil kerjanya tidak seberapa.
Apa yang Andani kerjakan di Sumatera Barat, setidaknya sudah menunjukkan indikator positif. Dengan kapasitas lab yang ada, ia mampu menorehkan angka perbandingan 0,43 persen dari jumlah penduduk Sumbar yang dilakukan tes PCR. Bandingkan dengan angka nasional yang masih 0,08 persen.
Andani bersama Tim telah memeriksa 24.000 penduduk dari 5 juta penduduk, sekitar 0,43 persen. Sementara di Korea Selatan, 1,3 persen. Setidaknya di Indonesia, Sumbar adalah yang tertinggi. Harusnya semua provinsi berlomba-lomba memperbanyak jumlah pendduk yang dites.
Mengingat belum ditemukannya vaksin, dan belum adanya kepastian kapan Covid-19 akan hilang, maka Andani pun belum akan berhenti. Ia masih akan memacu diri dan timnya untuk bekerja ekstra keras memeprbanyak kapasitas. Bahkan, jika labnya diberi perlengkapan tambahan, ia optimis mampu menyelesaikan pemeriksaan hingga 4.000 sampel par hari.
Tiga Kunci Sukses
Berbicara kunci suksesnya mengembangkan laboratorium Covid-19 di Sumbar, Andani menyebut adanya tiga kunci. Pertama, berkat dukungan Gubernur Sumatera Barat, serta dukungan berbagai pihak. Ini terkait dengan posisinya di Unand dan pengalamannya sebagai direksu RS Unand.
Kunci kedua adalah nasionalisme. Ia dan tim bekerja untuk bangsa dan negara. Kunci ketiga adalah inovasi. Andani mengembangkan inovasi pemeriksaan sampel yang disebut Pool Test. Tapi untuk menghindari kesalahpahaman, persoalan pool test harus dikupas dalam satu penjelasan tersendiri.
Terakhir, apakah dengan demikian Sumatera Barat sudah siap untuk memasuki fase new normal? Jujur Andani mengatakan, belum ada satu daerah pun di Indonesia yang bisa mengatakan aman seratus persen.
Penginap di hotel akan mendapatkan voucher untuk test swab secara gratis
Akan tetapi, melihat perkembangan yang ada, maka Sumbar relatif menjadi salah satu daerah yang paling siap memasuki fase new normal. Bahkan, Sumbar sudah berani mempromosikan pariwisata. Penginap di hotel akan mendapatkan voucher untuk test swab secara gratis.
Bagaimana jika hasilnya reaktif positif? Jangan khawatir. Pihak Dinas Pariwisata kan mengirim wisatawan tadi ke pulau-pulau indah yang ada di Sumatera Barat (sepeti Kepulauan Mentawai). Di sana mereka bisa karantina mandiri selama 14 hari. “Setelah negatif, boleh pulang. Enak kan? Bahkan positif pun masih bisa berwisata di pulau-pulau indah yang ada di Sumatera Barat.