Parpol, Caleg Artis dan Budaya Narsis
Marak caleg artis, bukan soal biaya transfer, tapi juga soal masa depan demokrasi kita.

SIAPA tak kenal Cynthia Nixon, pemeran Miranda di serial ‘Sex and the City’, yang terjun ke dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai Gubernur di New York. Sebetulnya, Cynthia cukup akrab dengan dunia politik, karena selain menjadi aktris, ia juga seorang aktivis pendidikan.
Ketika berita pencalonannya dikabarkan di akun twitter pribadinya, hanya dalam waktu 18 menit setelah video pengumumannya diunggah, perempuan 51 tahun ini langsung menjadi trending topic di New York, lalu 20 menit kemudian menjadi trending topic di tingkat nasional, Amerika Serikat.
“Saya tak pernah tinggal di tempat lain. Tapi ada sesuatu yang harus berubah, kami ingin pemerintah bekerja lagi, memperbaiki perawatan kesehatan, mengakhiri penahanan massal, memperbaiki kereta bawah tanah yang rusak. Kami muak dengan politisi yang lebih memperhatikan headline dan kekuasaan daripada pekerjaan yang mereka lakukan terhadap kita,” ujar Cynthia dalam video di Twitter tersebut.
Meski sempat viral, namuan rupanya publik New York sudah skeptic dengan fenomena artis yang terjun ke dunia politik. Apalagi setelah kasus Donald Trump yang terpilih jadi Presiden Amerika dan dianggap tidak becus memimpin.
Memang tak ada yang salah dengan arti yang kemudian beralih karier menjadi politikus. Setiap warga negara Indonesia, termasuk para artis, berhak untuk terjun ke dunia politik. Hanya, wajar juga sebagai publik figur, artis yang beralih profesi menjadi politikus banyak mendapat sorotan masyarakat.
Hanya saja, ada banyak hal yang akan jadi perdebatan ketika seorang publik figure memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Selain dari kegaduhan yang seperti terjadi saat ini terkait, biaya transfer’ caleg artis. Juga soal sistem politik, masa depan demokrasi dan budaya popular di lingkungan kita saat ini.
Seperti diketahui, saat ini Partai Nasdem tercatat paling banyak menerima kepindahan sejumlah pesohor dan artis dari partai sebelumnya. Selain Lucky Hakim ada juga Okky Asokawati, Nurul Qamar, Krisna Mukti, Vena Melinda. Mereka sebelumnya tergabung di partai lain. Dari sisi jumlah artis dan pesohor, Partai Nasdem memegang rekor pada pemilu tahun ini, dan mungkin yang terbanyak sepanjang sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia. Ada puluhan orang terkenal yang bergabung di partai ini. Tidak hanya artis, ada juga mantan penyiar televisi.
Anggota Komisi IX DPR RI, Okky Asokawati menuturkan, jika para pemilih sebaiknya sebaiknya melihat sosok figure pilihannya terlebih dahulu, apalagi bila pilihan tersebut kepada artis. “Kita lihat treck recordnya. Si public figure ini sebelumnya bagaimana. Memang betul kalau seseorang punya treck record masing-masing, bisa positif bisa negative,” ujar Okky di DPR, Senin (23/7).
Terlepas dari semua analisa dan kemungkinan di atas, satu hal yang penting diutarakan, terutama dalam realitas sosial politik masyarakat kita saat ini. Ada banyak orang yang ternyata belum dapat memisahkan dunia politik dari budaya tayangan terutama sinetron. Sehingga tak heran bila ketika ada problem elektabilitas partai politik yang sulit terkerek, atau diprediksi mengalami penurunan electoral, maka jalan singkatnya dengan merekrut atau ‘membeli’ caleg-caleg dari kalangan publik figure. Dengan cara ini akan begitu banyak orang yang merasa terpukul, terutama para kaum democrat.
Gejala ini sebetulnya bagian kecil dari kecenderungan masyarakat kita yang tengah diterjang budaya narsisisme (culture of narcissism), yang di dalamnya orang mencari segala bentuk kepuasaan, hiburan, tontotan, dan kesenangan menjadi sebuah keniscayaan hidup. Budaya narsisisme cenderung menciptakan masyarakat konsumtif yang lebih senang berkeliaran menciptakan masyarakat konsumtif ketimbang berjerih payah mengembangkan pengetahuan. Masyarakat kita saat ini menguat hasrat memilikinya (active analytic desire) namun kurang memiliki hasrat identifikasi (passive analitice desire), termasuk dalam kasus maraknya caleg artis.
Dalam pandangan postmodern, budaya manusia saat ini menunjukkan bahwa identitas individu lebih cenderung dimediasi melalui image-image atau citra-citra yang ditampilkan individu tersebut, baik melalui fashion, kosmetik, gaya bicara maupun style (Kellner, 1999).
Sehingga media massa, termasuk tayangan iklan dan terutama sinetron di dalamnya yang mengandalkan teknologi pencitraan, memiliki peran yang besar dalam proses konstruksi identitas individu. Maka dengan demikian tayangan sinetron selain mengkonstruksi identitas melalui citra-citra, juga sekaligus memberikan mutual recognition atas identitas tersebut.
Celakanya, sinetron sebagai salah satu bentuk tayangan televisi menjadi sumber atau rujukan bagi individu untuk melakukan kategorisasi, identifikasi dan pembandingan sosial (Social Identity Theory) dalam proses konstruksi identitas. Termasuk ketika menentukan partisipasi politiknya dalam proses demokrasi.
Kemungkinan terburuk dari turunan konstruksi identitas yang bersandar pada budaya narsis ini tentu saja adalah penilaian yang singkat dan dangkal atau snap judgment. Pemimpin atau wakil parlemen yang baik dalam persepsi ini adalah sosok tegap, dermawan, dan sopan dikaitkan dengan sikap tegas, baik, serta ‘dekat dengan rakyat’.
Padahal, seringkali citra hanya digunakan sebagai alat untuk memenangkan pertarungan politik electoral ansich, atau yang dalam sejarah demokrasi Amerika Serikat di tahun 1920an, dikenal dengan istilah Warren Harding Error. Jebakan demokrasi, lantaran hanya bersandar pada kebiasaan mengaitkan satu hal dengan hal lain secara linear dan sederhana.
Maka kasus maraknya caleg dari kalangan artis dengan segala dinamikanya, yang saat ini menyita perhatian, sebetulnya menjadi tidak penting. Yang menarik dan penting untuk kita cermati justeru adalah hiruk pikuk, perdebatan, dan makna di balik itu semua. Karena dari situ, paling tidak kita jadi tahu siapa kita sesungguhnya.