Survei BPS : Tak Sedikit Yang Pendapatannya Turun Meski Tetap Bekerja Tanpa WFH

Pandemi Covid-19 belum jelas ujungnya. Kapan berakhirnya dan bagaimana kita mengatasinya dalam beberapa waktu ke depan. Banyak hal tak terduga terjadi selama penanganan wabah. Tak hanya di negara miskin, di negara maju pun para pemimpinnya kelabakan.

Survei BPS : Tak Sedikit Yang Pendapatannya Turun Meski Tetap Bekerja Tanpa WFH
Gedung BPS/ net

MONDAYREVIEW.COM –  Pandemi Covid-19 belum jelas ujungnya. Kapan berakhirnya dan bagaimana kita mengatasinya dalam beberapa waktu ke depan. Banyak hal tak terduga terjadi selama penanganan wabah. Tak hanya di negara miskin, di negara maju pun para pemimpinnya kelabakan.

Kehilangan pekerjaan, menurunnya pendapatan, dan tak terjaganya produktivitas kerja menjadi soal dalam aktivitas ekonomi saat pandemi. Beragam siasat harus diterapkan agar dampaknya terantisipasi. Pun risiko terjangkit Covid-19 harus tetap menjadi prioritas.  

Para pengambil kebijakan perlu menyandarkan keputusannya pada data ilmiah. Dan untuk itu Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan hasil survei sosial demografi dampak COVID-19 yang memotret perbandingan perilaku laki-laki dan perempuan terhadap protokol kesehatan pencegahan terinfeksi SARS-CoV-2.

Riset itu juga menunjukkan kesiapan masyarakat menuju normal baru, perbandingan persepsi terhadap COVID-19, lalu terhadap upaya memutus rantai penularannya, termasuk dampak pandemi terhadap pendapatan dan pengeluaran masyarakat.

Survey tersebut menunjukkan tenaga kerja yang hingga saat ini masih memperoleh pendapatan tetap diduga karena mereka merupakan pegawai tetap, atau karena masih pada bulan awal pandemi COVID-19. Produktivitas mereka seharusnya dijaga dan ditingkatkan.     

Tenaga kerja yang pendapatannya mengalami penurunan diduga berada di sektor pekerjaan paling terdampak, atau jam kerja yang berhubungan dengan pendapatan langsung menurun karena penerapan kebijakan bekerja dari rumah atau  work from home (WFH).

Lebih dari setengah atau 53 persen dari total responden di mana pekerjaannya tidak memungkinkan untuk menerapkan WFH menyebut, mengalami penurunan pendapatan. Dari data BPS tersebut pengambil kebijakan semestinya mampu memberikan kompensasi untuk menunjang pemenuhan kebutuhannya.

Sebagian yang sangat kecil atau satu persen justru menyatakan mengalami peningkatan pendapatan selama pandemi COVID-19. Dari data ini kita dapat melihat peluang sektor atau bidang usaha yang potensial untuk dikembangkan. Bukan tidak mungkin dapat menyerap tenaga kerja.

Sementara itu, 4.000 di antara responden yang tempat kerjanya tidak menerapkan WFH alias masuk seperti biasa sejak awal SARS-CoV-2 merebak, mengaku mengalami penurunan pendapatan. Tentu tak mudah bagi mereka untuk menghadapi situasi tersebut. Risiko tetap tinggi dan pendapatan menurun.  

Responden yang tempat kerjanya menjalankan sebagian WFH dan masuk kantor, 62 persen atau sekitar 54.174 orang pendapatannya tetap, sedangkan yang mengaku mengalami penurunan pendapatan selama pandemi mencapai 32.330 tenaga kerja.

Dari data-data tersebut hal terpenting yang patut dicermati adalah pentingnya ketahanan keluarga. Jika keluarga mempunyai ketahanan yang bagus maka mereka mempunyai peluang yang lebih besar untuk memetik bonus demografi.

Untuk menjaga ketahanan keluarga ini dari dalam, masing-masing anggota keluarga harus mempunyai kesadaran baru ketika tinggal bersama dalam waktu lama di rumah. Komunikasi harus dibuka, membuat struktur kehidupan baru pada anggota keluarga untuk mengisi waktu yang kosong.

Kreativitas dan kegiatan yang sederhana, seperti bekerja sama membersihkan rumah, akan mendekatkan anggota keluarga. Kreativitas ini akan menjadi jalan bagi keluarga untuk membangun kesehatan mental sekaligus mendidik anggota keluarga untuk bertahan dalam situasi sulit.  

Hal lain yang patut digarisbawahi adalah peran "caregivers" masih menjadi tanggung jawab utama perempuan membuat mereka lebih hati-hati memikirkan segala macam dan hal itu seringkali menimbulkan efek sampingan kesehatan mental. Mengingat 63 persen perawat di Indonesia adalah perempuan, dan perawat biasanya menjadi yang pertama menerima pasien sehingga mereka mewakili perempuan yang juga rentan terinfeksi SARS-CoV-2.