Menggugat Anggaran Negara untuk Influencer dan Buzzer
Total anggaran belanja pemerintah pusat untuk aktivitas yang melibatkan influencer mencapai Rp90,45 miliar untuk 40 paket pengadaan.

MONDAYREVIEW.COM – Indonesia Corruption Watch (ICW) sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu anti korupsi menggebrak publik Indonesia. ICW mengeluarkan rilis terkait anggaran negara untuk buzzer dan influencer sejumlah Rp95 miliar. Buzzer dan influencer merupakan sekelompok orang yang aktif di media sosial, mempunyai follower yang banyak dan bertugas untuk membentuk opini public agar mendukung kebijakan pemerintah. Buzzer mempunyai konotasi negative di kalangan masyarakat, adapun influencer konotasinya masih netral.
Peneliti dari ICW Egi Primayogha mengatakan hal tersebut merupakan temuan ICW dalam data yang dikumpulkan pada 14 hingga 18 Agustus 2020. Salah satu metode yang dipakai adalah menelusuri Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Total anggaran belanja pemerintah pusat untuk aktivitas yang melibatkan influencer mencapai Rp90,45 miliar untuk 40 paket pengadaan.
Anggaran-anggaran itu dikeluarkan oleh sejumlah kementerian. Egi menyampaikan anggaran belanja untuk influencer semakin marak sejak 2017. Berdasarkan temuannya, saat itu ada lima paket anggaran belanja dengan nilai Rp17,68 miliar. Angka itu mengalami peningkatan di 2018 yakni 15 paket pengadaan senilai Rp56,55 miliar. Selanjutnya, di 2019 turun menjadi 13 paket pengadaan dengan total nilai Rp6,67 miliar. Sementara di 2020 hingga saat ini terdapat tujuh paket pengadaan dengan total nilai Rp9,53 miliar.
Berangkat dari itu, ICW menyimpulkan bahwa pemerintahan Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya hingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer. Dia pun menyatakan, pemerintah seharusnya transparan dari segi anggaran, baik alokasi atau penggunaannya. Menurut ICW, publik sebenarnya berhak tahu kebijakan yang menggunakan influencer dalam sosialisasinya, kebijakan mana saja. Influencer juga harus memberikan disclaimer bahwa ini adalah aktivitas berbayar atau yang didukung pemerintah dalam publikasikan postingannya.
Sementara itu, Denny Siregar seorang influencer yang juga disebut buzzer pemerintah menanggapi tuduhan ICW tersebut di dalam medsosnya. Menurut Denny, anggaran untuk influencer adalah sesuatu yang wajar bagi upaya komunikasi pemerintah menyampaikan program-programnya. Praktik tersebut sudah berjalan sejak dulu, hanya saja menggunakan media mainstream. Hari ini pemerintah menggeser saluran komunikasi pemerintah dari media mainstream. Lebih jauh, Denny menuduh media mainstream kehilangan pendapatan sehingga menyerang influencer.
Menanggapi kritik ICW, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian mengatakan pemerintah memiliki kanal-kanal resmi untuk menyampaikan informasi. Misalnya Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) hingga juru bicara Istana dan KSP. Di kementerian-kementerian juga banyak juru-juru bicara. Donny pun meminta ICW membuktikan tuduhannya itu. Dia meminta ICW menjelaskan perihal temuannya soal anggaran untuk influencer.
Lebih lanjut Donny merasa heran terhadap penggunaan influencer yang selalu dipermasalahkan. Menurutnya, tak ada yang salah dengan menggunakan jasa influencer. Senada dengan Denny Siregar, menurut Donny, influencer seperti kalau dulu ada layanan masyarakat kita menggunakan public figure. Kenapa? Karena dia dikenal orang banyak, dia dikenal. Sehingga ketika orang melihat dia, kemudian tertarik untuk mendengar apa yang disampaikan.
Banyak warganet mengeluhkan perilaku buzzer yang bisa menghack atau menghabisi lawan politiknya di medsos. Inilah perilaku tidak sehat dari buzzer. Adapun jika hanya sebatas sosialisasi program pemerintah, boleh kita pahami dan maklumi.