Opsi Penggunaan Gas Bumi dan Pembangunan Jaringan Gas

MONITORDAY.COM - Ketahanan energi menjadi salah satu isu penting bagi Indonesia dengan kebutuhan energi yang sangat tinggi terutama untuk konsumsi rumah tangga. Di tahun 2008 saat subsidi minyak tanah makin memberatkan pemerintah. Tak kurang dari Rp 5 ribu harus dikeluarkan untuk tiap 1 liter minyak tanah. Konsumsi masyarakat diasumsikan memakai 10 juta liter minyak tanah, berarti Rp 50 triliun dihabiskan hanya untuk subsidi. Maka dilakukanlah program konversi dari minyak tanah ke LPG.
Kini setelah lebih dari 12 tahun Indonesia kembali harus mengevaluasi kebijakan terkait penggunaan LPG. Impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) harus dilakukan dalam jumlah yang cukup signifikan. PT Pertamina (Persero) memproyeksikan impor LPG pada 2021 mencapai sebesar 7,2 juta metrik ton (MT), naik sekitar 16% dari 6,2 juta MT pada 2020. Data menunjukkan subsidi LPG pada 2020 sebesar Rp50,6 Triliun.
Harga pengadaan impor LPG mengikuti pergerakan harga di Timur Tengah yakni CP Aramco dan tren freight cost. Dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2021, perkiraan harga impor LPG berada di level US$ 411 per MT. Pada Januari CP Aramco telah mencapai US$ 540 per MT.
Opsi penggunaan gas bumi
Ada pilihan lain. Pemerintah mendorong penggunaan gas bumi sebagai bahan bakar rumah tangga dengan membangun jaringan gas (jargas) bumi. Penggunaan jaringan gas karena bumi murah dan bisa mengurangi impor Liqufied Petroleum Gas (LPG). Dalam jangka pendek memang diperlukan dana yang relatif besar untuk membangun jaringan gas.
Di kawasan padat penduduk termasuk di rumah susun opsi ini sudah digunakan. Dengan jaringan gas ini akan pengguna di apartemen atau rumah susun akan lebih praktis dan aman. Bayangkan bila harus naik-turun tangga mengangkat tabung. Pun boleh dikata ketersediaannya akan lebih terjamin. Dari sisi keamanan pun demikian. Gas bumi lebih ringan berat jenisnya dari udara hingga akan cepat menguap. Lain dengan LPG yang berat jenisnya di atas udara sehingga jika terjadi kebocoran akan cenderung terkonsentrasi di sekitar titik kebocoran.
Jika digunakan gas bumi berasal dari sumur minyak dan gas (migas) dalam negeri sebagai bahan bakar rumah tangga, maka akan mengurangi impor LPG. Gas alam adalah gas yang terkumpul di bawah tanah dengan beragam komposisi yang bisa berkaitan dengan komposisi penyusun minyak bumi atau tidak berkaitan. Gas alam merupakan campuran hidrokarbon yang memiliki daya tekan tinggi dan daya kembang besar dengan berat jenis yang spesifik rendah. Terbentuk secara alamiah dalam bentuk gas.
Ada lagi Cairan Gas Alam (NGL) yang merupakan senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam kandungan akumulasi gas alam dalam bentuk cair di kondisi suhu dan tekanan yang tidak ekstrim. Propan, Butan, dan Pentan didapati dialam dalam bentuk cairan gas dan bisa diperoleh dengan proses pendinginan, penyulingan, atau absorpsi.
Ada pula Gas alam yang dicairkan (LNG). Kebanyakan gas metan yang dicairkan. Proses pencairaanya tidak semudah jenis LPG, LNG harus didinginkan dengan suhu ekstrim hingga -162 derajar celcius dan tekanan yang sangat tinggi. Setelah dilakukan proses regasifikasi (pengembalian ke wujud gas), LNG baru bisa digunakan kembali untuk industri besar karena kemampuan energinya yang lebih besar. Misalnya seperti industri listrik dan pekerjaan berat.
Sementara yang banyak kita gunakan saat ini adalah Petro Gas yang dicairkan (LPG) yang merupakan gas propan atau gas buatan. Hidrokarbon berbentuk gas yang lebih berat dari bentuk jenis gas lainnya sehingga diproses menjadi cairan agar dapat dimudahkan dalam penampungan. Biasa digunakan untuk industri kecil dan menengah serta rumah tangga karena kepraktisaanya sebagai sumber energi panas.
Jika pembangunan jaringan gas semakin banyak maka pengurangan konsumsi LPG pun semakin banyak juga. Untuk diketahui, dari konsumsi LPG di Indonesia mencapai 6,9 juta ton per tahun, sekitar 4,7 ton berasal dari impor.
Diperkirakan 1 MMSCFD, bisa mengaliri 35-40 ribu rumah. Kalau 1 MMTBU itu sekitar USD 8 dikonversikan menjadi 1 MMSCFD sekitar USD 6000 per MMSCFD.
Sementara LPG ukuran 12 kilo gram (kg) non subsidi setara dengan 15 meter kibik (m3) dengan gas bumi, sementara konsumsi normal rata-rata rumah tangga tangga per bulan sekitar 10 m3. Jika dengan konsumsi LPG 12 kg sebanyak 10 m3 sekitar Rp 80 ribu, sedangkan gas bumi sekitar Rp 40 ribu.