Neraca Surplus Karena Impor Bahan Baku dan Barang Modal Terjun Bebas

Neraca perdagangan menjadi salah satu indikator ekonomi makro yang penting. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir surplus neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2020 mencapai 3,26 miliar dolar AS dengan total nilai ekspor 13,73 miliar dolar dan nilai impor 10,47 miliar dolar AS. Surplus neraca perdagangan Juli 2020 yang diumumkan 18 Agustus 2020 ini memberi harapan bagi para pelaku pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia bahkan sudah menguat sejak sesi pagi.

Neraca Surplus Karena Impor Bahan Baku dan Barang Modal Terjun Bebas
halaman muka laporan BPS/ situs BPS

MONDAYREVIEW.COM – Neraca perdagangan menjadi salah satu indikator ekonomi makro yang penting. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir surplus neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2020 mencapai 3,26 miliar dolar AS dengan total nilai ekspor 13,73 miliar dolar dan nilai impor 10,47 miliar dolar AS.

Surplus neraca perdagangan Juli 2020 yang diumumkan 18 Agustus 2020 ini memberi harapan bagi para pelaku pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia bahkan sudah menguat sejak sesi pagi.

Harus diakui bahwa surplus ini terjadi karena nilai impor yang turun tajam terutama pada bahan baku dan barang modal. Hal ini menandakan lesunya ekonomi produktif. Nilai ekspor yang turun signifikan seiring dengan nilai impor yang turun lebih tajam.

Neraca perdagangan atau balance of trade (BoT) adalah perbedaan antara nilai semua barang dan jasa yang diekspor serta diimpor dari suatu negara dalam periode waktu tertentu. Neraca perdagangan menjadi komponen terbesar dalam neraca pembayaran karena jadi indikator untuk mengukur seluruh transaksi internasional.

Dalam praktiknya, neraca perdagangan mempunyai dua sifat, positif dan negatif. Suatu negara dikatakan mempunyai neraca perdagangan yang positif apabila negara tersebut lebih banyak melakukan ekspor daripada impor. Sebaliknya, ketika suatu negara lebih banyak menerima impor dari negara lain daripada ekspor, negara tersebut mempunyai neraca perdagangan yang negatif.

Ada dua hal yang dibutuhkan untuk menghitung neraca perdagangan, yaitu nilai ekspor dan nilai impor. Neraca perdagangan punya rumus yang sederhana, yaitu nilai ekspor dikurangi nilai impor.

Yang dimaksud ekspor adalah barang dan jasa yang dibuat di dalam negeri dan dijual kepada orang asing. Sementara, impor adalah barang dan jasa yang dibeli oleh penduduk suatu negara, di mana barang dan jasa tersebut dibuat di luar negeri.

Nilai ekspor Indonesia Juli 2020 mencapai US$13,73 miliar atau meningkat 14,33 persen dibanding ekspor Juni 2020. Sementara dibanding Juli 2019 menurun 9,90 persen.

Ekspor nonmigas Juli 2020 mencapai US$13,03 miliar, naik 13,86 persen dibanding Juni 2020. Sementara jika dibanding ekspor nonmigas Juli 2019, turun 5,87 persen.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–Juli 2020 mencapai US$90,12 miliar atau menurun 6,21 persen dibanding periode yang sama tahun 2019, demikian juga ekspor nonmigas mencapai US$85,44 miliar atau menurun 3,96 persen.

Peningkatan terbesar ekspor nonmigas Juli 2020 terhadap Juni 2020 terjadi pada logam mulia, perhiasan/permata sebesar US$452,7 juta (79,79 persen), sedangkan penurunan terbesar terjadi pada bijih, terak, dan abu logam sebesar US$100,5 juta (33,07 persen).

Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari– Juli 2020 turun 0,67 persen dibanding periode yang sama tahun 2019, demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya turun 22,14 persen, sementara ekspor hasil pertanian naik 9,92 persen.

Ekspor nonmigas Juli 2020 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$2,53 miliar, disusul Amerika Serikat US$1,61 miliar dan Jepang US$1,05 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 39,82 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$1,05 miliar.

Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari–Juli 2020 berasal dari Jawa Barat dengan nilai US$14,65 miliar (16,26 persen), diikuti Jawa Timur US$11,54 miliar (12,81 persen) dan Kalimantan Timur US$7,80 miliar (8,65 persen).

Sementara nilai impor Indonesia Juli 2020 mencapai US$10,47 miliar atau turun 2,73 persen dibandingkan Juni 2020, dan dibandingkan Juli 2019 turun 32,55 persen.

Impor nonmigas Juli 2020 mencapai US$9,51 miliar atau turun 5,70 persen dibandingkan Juni 2020. Dibandingkan Juli 2019 juga turun 30,95 persen.

Impor migas Juli 2020 senilai US$0,96 miliar atau naik 41,53 persen dibandingkan Juni 2020, namun dibandingkan Juli 2019 turun 45,19 persen.

Penurunan impor nonmigas terbesar Juli 2020 dibandingkan Juni 2020 adalah golongan kendaraan dan bagiannya senilai US$157,9 juta (42,77 persen), sedangkan peningkatan terbesar adalah golongan mesin dan perlengkapan elektrik senilai US$220,9 juta (15,77 persen).

Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Juli 2020 adalah Tiongkok senilai US$21,36 miliar (29,31 persen), Jepang US$6,75 miliar (9,26 persen), dan Singapura US$4,86 miliar (6,66 persen). Impor nonmigas dari ASEAN senilai US$13,94 miliar (19,12 persen) dan Uni Eropa senilai US$5,77 miliar (7,91 persen).

Nilai impor seluruh golongan penggunaan barang selama Januari–Juli 2020 mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan terjadi pada golongan barang konsumsi (7,15 persen), bahan baku/ penolong (17,99 persen), dan barang modal (18,98 persen).

Neraca perdagangan ini menjadi acuan bagi pasar maupun pengambil kebijakan dalam melangkah. Walau demikian harus pula dipertimbangkan ada celah yang menyebabkan penghitungan neraca perdagangan menjadi tidak akurat. Salah satunya adalah perdagangan gelap.

Apa lagi saat kondisi pandemi seperti sekarang ini dimana  dalam perdagangan gelap, beberapa kegiatan transaksi tersebut hanya tercatat di satu negara (yang mengekspor atau yang mengimpor), sedangkan negara lainnya tidak. Alhasil, akumulasi dari seluruh neraca perdagangan dunia menjadi tidak seimbang.