Nasib UMKM dan Strategi Pasar Tradisional di Era Baru

…..kali ilang kedunge pasar ilang kumandange. (Ronggowarsito dalam Jangka Jayabaya, digubah Sunan Giri ke-3, 1618). Potongan kalimat tersebut dapat dikaitkan dengan kerusakan ekosistem dan dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan masyarakat.  

Nasib UMKM dan Strategi Pasar Tradisional di Era Baru
…..kali ilang kedunge pasar ilang kumandange. (Ronggowarsito dalam Jangka Jayabaya, digubah Sunan Giri ke-3, 1618). Potongan kalimat tersebut dapat dikaitkan dengan kerusakan ekosistem dan dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan masyarakat.  (Pasar Tradisional/ Flickr)

MONDAYREVIEW.COM – Ada pasar daring ada pasar modern. Namun pasar tradisonal tetap dibutuhkan. Pasar rakyat atau pasar tradisional masih fungsional. Lekat dengan kesan murah dan segala kebutuhan tersedia di sana dalam jarak yang terjangkau konsumennya. Banyak pasar tradisional yang hidup 24 jam dengan jumlah dan volume transaksi yang tinggi.   

Denyut aktivitas pasar tradisional menjadi pertanda kehidupan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Aromanya menjanjikan optimisme dan daya hidup para pedagang, pemasok barang dagangan, penyedia transportasi, buruh angkut, tukang parkir dan pengais rejeki yang hidup dan menghidupi pasar tradisional.

Para pedagang di jenjang UMKM bersandar pada keberadaan pasar tradisional. Untuk ukuran tertentu modal untuk berdagang di pasar tidaklah kecil. Jumlah pedagang cenderung bertambah seiring jumlah konsumen yang meningkat. Boleh dikata UMKM adalah aktor utama dan pasar tradisional adalah panggungnya.

Kala pandemi datang pasar tradisional kelimpungan. Ia masih identik dengan kerumunan, selasar atau gang antar kios yang sempit. Belum lagi saat rapid test dilakukan pada para pedagang dan didapati ada yang reaktif. Tetiba pasar harus ditutup. Pasar rakyat terancam eksistensinya di era normal baru.

Wabah ini ternyata tak segera berlalu. Bahkan sebagian ahli berpendapat bahwa dunia memang sudah berubah. Tak akan kembali seperti dulu lagi. Norma-norma baru harus dirumuskan dan diterapkan. Strategi yang pas mulai digelar. Maka yang tradisional pun harus ditata dengan standar modern.

Jadi apa yang masih tersisa hingga masih disebut pasar tradisional? Ciri khas itulah yang coba dipertahankan agar upaya pembenahan pasar tradisional tak berarti menghilangkannya. Produk yang dijual, tawar-menawar dan penentuan harga, dan kultur layanan dengan sentuhan lokal mungkin masih dapat dipertahankan.   

Pembenahan infrastruktur dan sumber daya manusia di sejumlah pasar tradisional agar dapat menjadi tempat transaksi yang layak tanpa menghilangkan ciri khas pasar rakyat. Langkah itu dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)), terus berupaya.

Beberapa pembenahan yang dilakukan meliputi kebersihan, lantai yang kering dan tidak becek, penataan barang dagangan, lorong yang leluasa untuk orang lalu lalang, pengaturan ventilasi dan pencahayaan yang sehat.

Selain itu sistem keamanan di pasar yang terjamin, jalur evakusi, pengelolaan sampah yang baik, tempat untuk beristirahat yang bersih dan lain sebagainya.

Pasar tradisional tak hanya simbol budaya. Hilangnya pasar rakyat akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu daerah terkait dengan bertambahnya pengangguran, menurunnya daya beli akibat tingkat pendapatan per kapita yang semakin kecil, melemahnya sektor perdagangan informal, terhambatnya arus distribusi bahan pokok, dan lain sebagainya.

Di Kabupaten Sleman terdapat 42 pasar dan resto yang dikelola Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sleman. Berdasarkan komoditas yang diperjualbelikan, pasar di Sleman dibedakan menjadi pasar umum, pasar produk pertanian dan pasar hewan.

Mayoritas pasar yang ada adalah pasar umum dengan komoditas yang dijual adalah kebutuhan sehari-hari.