Narasi Alternatif untuk Keadaban Digital

Keadaban digital mesti dijalankan untuk menjaga relasi sosial.

Narasi Alternatif untuk Keadaban Digital
Ilustrasi foto/Net

BANGSA INDONESIA saat ini sedang menghadapi realitas baru di era digital. Dimana relasi sosial dalam bingkai kebangsaan kita telah banyak dipengaruhi oleh hiruk pikuk dan dinamika sosial di ruang digital.

Baik suara nyaring atapun senyap di ruang digital kerap berubah menjadi suara miring bila tidak direspon dan dikelola dengan bijak dan tepat. Saat narasi negatif berkembang dan menunjuk hidung kita, sikap diam seringkali malah menjadi kontraproduktif.

Karena temali emosi kemudian membentuk jejaring pembenaran di kanal-kanal digital tersebut. Sebaliknya ketika suara kita nyaring namun miskin data dan argumentasi yang lemah, maka temali emosi melahirkan sentimen publik yang kuat.

Disinilah pentingnya mengelola atau bahkan memberikan ‘narasi alternatif’ di ruang-ruang digital. Artinya, mesti kita pahami, jika tidak cerdas dalam menyikapi dinamika sosial di ruang digital maka yang terjadi adalah pendegradasian nilai dalam konteks berbangsa dan bernegara. Isu nyinyir, pemikiran menyimpang, ujaran kebencian dan permusuhan, serta hoaks pun tumbuh kian subur. Lalu menjadi virus yang buruk bagi generasi milenial.

Kalau saat ini ada hiruk-pikuk, dinamika, pergerakan, atau bahkan perlawanan sosial, maka yang paling mungkin dapat menimbulkan perubahan sosial adalah berasal dari kanal-kanal digital.

Gerakan #2019GantiPresiden misalnya, tak dapat dimungkiri merupakan buah dari hiruk pikuk dan pergerakan sosial yang ada di ruang-ruang digital. Karena di ruang-ruang inilah kita dapat merasakan kebebasan sejati.

Meski dalam beberapa kasus, kebebasan itu pun terasa ambigu. Dalam konteks ini, peristiwa hilangnya foto Amien Rais dan Habib Rizieq Syihab di Instagram beberapa saat lalu menarik untuk dicermati. Tentu saja bukan hanya soal siapa yang bertanggungjawab atas penghapusan foto tersebut. Tapi juga soal tata kehidupan digital kita dewasa ini.

Hilangnya foto Amien Rais dan Habib Rizieq sebelumnya membuat media sosial ramai. Foto yang diunggah Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais di Instagram mendadak hilang. Sebelum foto tersebut terhapus, akun @amienraisofficial itu memajang foto dirinya bersama Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dan pentolan FPI Habib Rizieq.

Pihak Amien Rais menuding bahwa apa yang dilakukan Instagram terkait foto yang diunggah lalu tiba-tiba dihapus, merupakan wujud ketidakadilan dan bertentangan dengan prinsip kebebasan. Apalagi, kejadian itu tak hanya sekali dua kali namun berkali-kali.

"Ini bukti bahwa kebebasan berekspresi (yang bertanggung jawab) yang menjadi salahsatu agenda reformasi kembali diciderai; mengembalikan kita pada era yang represif (order baru), di tengah-tengah kebijakan-kebijakan populis yang palsu (order lama). Kita semua menantikan terang setelah zaman-zaman gelap, bukan sebaliknya! Mari #selamatkanindonesia," lanjut tulisan tersebut.

Informasi raibnya foto Amien Rais ini pun menjadi topik panas di hampir semua media masa nasional. Pastinya, para pengguna media sosial Tanah Air tidak kalah seru menyebarkan berita-berita seputar isu tersebut, baik yang faktual maupun yang masih diragukan kebenarannya.

Bahkan, isu ini mampu dengan cepat mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu lainnya. Kecaman, cibiran, bahkan meme seputar hilangnya foto tersebut pun mengalir deras ke ruang-ruang digital.

Di tengah riuhnya pemberitaan seputar raibnya foto AR-HRS tersebut, muncul beberapa spekulasi yang beredar di balik itu. Mulai dari dugaan soal invisible hand, pihak Instagram yang bermain politik, hingga peran pemerintah dalam kasus tersebut.

Sejatinya, pihak Instagram menyatakan bahwa mereka memang melarang foto-foto tanpa busana, spam, SARA, dan foto milik orang lain. Instagaram juga sangat responsif, bila ada laporan tentang aktivitas para penggunanya terkait beberapa hal yang dilarang tersebut. Apalagi bila laporan tersebut dilayangkan oleh tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh cukup besar.

Apa yang dialami akun @amienraisofficial sebetulnya juga pernah dialami Mallory King, seorang personal trainer. Sebagai seorang trainer bersertifikat, ia tak pernah malu untuk tampil apa adanya. Termasuk memamerkan pahanya yang berselulit di Instagram. Namun foto tersebut mengundang perkara yang akhirnya membuat Instagram menghapusnya.

Semua bermula setelah seorang pengguna Instagram mengejek dan mengkritik Mallory di Instagram karena selulitnya. Tak terima, Mallory mengunggah fotonya berbusana minim sambil memamerkan selulit di paha lagi sebagai balasan. Selang beberapa hari, foto itu pun kembali dihapus Instagram. Ucapapan kasar, serta foto semi bugil, bisa jadi penyebabnya. Namun Mallory yakin, bukan itu alasannnya.

Baik kasus foto IG Amien Rais, Mallory King, atau bahkan disuspendnya akun Ustad Abdul Shomad beberapa waktu lalu, sebetulnya menunjukkan bahwa ada hal-hal non teknis di kanal-kanal digital yang mesti dipahami. Aturan tak tertulis namun wajib ditaati.

Termasuk soal etis tidak etisnya sebuah foto atau ungkapan yang kita posting di Instagram ataupun kanal digital lainnya. Karena pada akhirnya, warganet lah yang menentukan. Artinya, jangan sampai karena menganggap ruang digital sebagai ruang dengan kebebasan paripurna, tapi kita tak peduli dengan emosi, adat, kebiasaan, atau tata digital yang tak terlihat itu.

Hal lainnya adalah jangan kemudian setiap ada kejadian seperti yang dialami Amien Rais atau juga pernah menimpa akun Ustad Abdul Shomad selalu dikaitkan dengan rezim penguasa atau pihak-pihak tertentu secara politis. Karena bisa jadi, raibnya foto-foto tersebut atau disuspendnya akun tertentu, karena memang ada laporan dari para pengguna kanal digital lainnya yang merasa terusik oleh aktivitas daring mereka.

Betul bahwa ruang digital adalah ruang dimana setiap orang dapat menikmati kebebasannya. Ruang digital juga adalah oksigen demokrasi, demikian ungkapan yang biasa kita lontarkan untuk menggambarkan betapa kanal-kanal digital saat ini telah menjadi saluran alternatif paling unik dan efektif untuk menampung aspirasi publik. Namun sejatinya, ada keadaban digital yang mesti kita pahami dan jalankan untuk menjaga relasi sosial dalam bingkai kebangsaan kita.

[Mrf]