Hidup Damai dengan Covid-19
Hidup damai dengan Covid-19 bukan berarti menyerah, namun menggugah kesadaran agar kita berubah karena ancaman Covid-19 begitu nyata.

PUASA BULAN RAMADHAN kali ini sangat berbeda, karena banyak aktivitas ibadah yang harus dijalankan di rumah akibat pandemi Covid-19. Semoga perbedaan ini tidak mengurangi makna dan kekhusyuannya, karena sesungguhnya berbeda itu justru anugerah.
Saya sengaja menyebut ‘ramadhan’ lengkap dengan kata ‘bulan’ untuk menekankan makna anugerah yang kita jalani selama melaksanakan puasa bulan ramadhan. Karena bila tidak, ini bisa jadi dimaknai secara lain.
Apalagi, selain berbeda beberapa bulan terakhir ini lantaran saat ini kita memang ditimpa kesedihan dan kedukaan secara beruntun. Kita kehilangan orang-orang terkasih dan berdedikasi kepada negeri. Mulai dari ibunda Presiden Joko Widodo, Sujiatmi Notomiharjo, musisi kenamaan Didi Kempot, hingga mantan Panglima TNI Jendral Djoko Santoso.
Mistikus Islam kenamaan Ibnu Arabi punya penjelasan menarik soal ini dalam Futuhat. Menurutnya, penahanan hawa nafsu dan hubungan suami istri, tidak makan dan minum, serta gesekan emosi lainnya sesungguhnya telah menimbulkan gejolak dalam diri.
Jika begitu, maka perbedaan, kesusahan, ketakutan dan duka yang terjadi di masa pandemi dan kebetulan bersamaan dengan pelaksanaan ibadah puasa tidak usah diratapi, melainkan dijadikan momentum untuk melakukan perubahan.
Mengutip perkataan Lord Didi Kempot, kesedihan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup kita. karena betapa fana hidup ini, apalagi perasaan kita yang datang silih berganti, jadi mari kita hadapi saja.
Sebaliknya apa pun yang terhadi kita hadapi, termasuk kemungkinan kehidupan kita saat ini dan di masa akan datang. Dalam konteks inilah perkataan Presiden Jokowi soal ‘berdamai dengan virus’ mesti kita maknai secara teliti.
“Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta dalam video yang diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Kamis (7/5/2020).
Kabar Baik
Bagi sebagian orang, pernyataaan Pak Jokowi ini mungkin dianggap menunjukkan ketidakmampuannya melanjutkan perang melawan corona. Dia dianggap menyerah dan mulai mengibarkan bendera putih, tanda menyerah.
Anggapan tersebut tentu saja keliru, karena sebaliknya, Presiden Jokowi sebetulnya ingin mengatakan ada harapan untuk melanjutkan hidup secara normal di masa depan. Hanya saja, ada banyak ketentuan yang harus dijalankan sesuai protokol kesehatan.
Hingga saat ini, dunia memang sedang setengah lumpuh, tapi hasil penelitian beberapa ilmuwan dunia menunjukkan kabar gembira terkait mutasi Covid-19. Hal ini seperti ditemukan peneliti dari Arizona State University, yang sudah mengambil 382 sampel dari pasien positif Covid-19 di negara bagian itu.
Hasilnya, dari 382 sampel tersebut diketahui bahwa satu sampel tunggal kehilangan sebagian besar genomnya. Salah satu alasan mengapa mutasi ini menarik adalah karena itu mencerminkan penghapusan besar yang muncul dalam wabah SARS tahun 2003.
Meski ada juga yang menyebut mutasi itu sebagai sesuatu yang alamiah dan tidak terlalu berpengaruh pada tingkat infeksinya, mematikan atau tidak. Namun, paling tidak penemuan ini kian memudahkan para peneliti untuk membuat vaksin.
Sejak Maret 2020, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) telah mengirimkan enam sekuens parsial ke GISAID (Global Inisiative for Sharing All Influenza Data). Tujuh sekuens diantaranya dikirim Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, sedangkan dua lagi dikirim Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga (Unair).
Jika dilihat dari sekuens genomnya, virus corona yang terdapat di beberapa negara ternyata tidak sama persis dengan di China, tempat asal virus tersebut. Sepanjang perjalanan mereka telah bermutasi menjadi galur atau strain baru.
Penemuan terbaru terkait mutasi Covid-19 ini tentu saja memotivasi para peneliti, dus juga kita mestinya sebagai orang yang beriman dan tengah menjalankan puasa. Karena seperti firman Allah Swt. dalam surah al-Furqon ayat 3 yang artinya: “Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Ahmad Rusdan Utomo, PhD, peneliti Stem cell dan kanker dari Stem Cell and Cancer Institute Jakarta, menuturkan jika titik tekan ayat di atas ada pada kalimat ‘Dia menetapkan ukuran-ukuran dengan serapi-rapinya.
Dari temuan-temuan soal mutasi virus ini menjadi jelas, jika betul bahwa Allah telah menetapkan ukuran yang jelas dan rapi terkait gen, mekanisme mutasi, dampak fisiologi, dan mekanisme penyakit. Nah, dari sinilah kemudian vaksin bisa dibuat, semoga.
Kehidupan Normal Baru
Adanya kabar soal mutasi virus maupun pelaksanaan ibadah puasa dengan rasa yang berbeda sejatinya memotivasi kita untuk melakukan perubahan dalam menyikapi realitas hidup. Apalagi seperti dikemukakan para ilmuwan, bahwa meskipun kurva penyebaran Covid-19 mulai melandai, namun bisa saja kembali naik, atau kembali turun. Jadi jangan lengah!
Ini artinya kita perlu menjalani hidup dengan cara-cara baru atau kini poluer sebagai normal baru (new normal). Seperti yang sudah dilakukan di negara-negara yang lebih dulu mencapai puncak pandemi seperti Korea Selatan dan Vietnam. Mereka saat ini tengah berusaha berdamai dengan Covid-19.
Sejumlah aturan yang semula ditetapkan secara ketat, kini mulai dilonggarkan dengan penerapan protokol kesehatan secara disiplin. Sementara di Eropa, negara-negara selain Inggris telah mencoba menerapkan pelonggaran untuk berdamai dengan Covid-19.
Di Indonesia, kita belum melakukannya. Namun Presiden Jokowi pekan lalu sudah ancang-ancang bahwa dalam waktu dekat kita juga harus mulai berdamai dengan Covid-19. Gugus Tugas Covid-19 sudah berusaha dengan keras, kita tinggal berdoa dan berharap agar puncak pandemi Covid-19 akan segera kita lewati.
Maksudnya bukan menyerah, namun menggugah kesadaran agar kita berubah karena ancaman Covid-19 begitu nyata. Perubahan perilaku dalam dua bulan terakhir mesti kita pertahankan dan jalankan dengan disiplin.
Tentu saja bukan sekadar kebiasaan berkemeja rapi namun sarungan untuk hadir di rapat-rapat virtual, tapi juga bagaimana mengatur keuangan, menjaga kesehatan, rajin cuci tangan dan memakai masker.
Jika semua kebiasaan baru tersebut kita jalankan dengan ketat, maka pada dasarnya aktivitas apa pun terutama ekonomi bisa tetap kita jalankan. Kuncinya, jalankan protokol kesehatan hingga Covid-19 betul-betul hilang dan vaksin ditemukan.