Cara Minimalis Dorong UMKM dan Koperasi Naik Kelas
UMKM maupun koperasi memang seringkali dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian. Namun sejatinya, semua sektor ekonomi itu merupakan sebuah kesatuan.

SAAT memperkenalkan jajaran kabinet terbarunya, Presiden Jokowi menyampaikan jika tugas utama menteri koperasi dan UKM adalah membawa UMKM naik kelas ke tingkat global. Tentu saja arahan presiden ini menjadi pekerjaan rumah yang berat, namun sekaligus menarik.
Berat, karena melihat kondisi perekonomian global yang kurang baik. Banyak yang saat ini tengah melakukan wait and see dalam menjalankan bisnisnya. Bahkan sejumlah lembaga internasional, seperti disinggung Menkeu Sri Mulyani, telah melakukan revisi laporan dan menyebut ada penurunan ekonomi global.
Menarik, karena nyatanya ekonomi domestik kita dalam kondisi baik. Pertumbuhannya diprediksi berkisar di angka 5 persen. Daya tahan ini diantaranya berkat pasar domestik yang besar. Ini menjadi semacam asuransi yang mampu menopang ekonomi domestik di tengah global environment yang berada di tengah ketidakpastian.
Tentu ada banyak persoalan yang terlebih dahulu mesti diselesaikan agar UMKM kita bisa naik kelas. Namun jangan sampai berhenti pada kebanggaan saja. Bahwa kita bisa bertahan dari krisis karena keberadaan UMKM dan koperasi. Itu alasan klasik yang melenakan.
UMKM maupun koperasi memang seringkali dikatakan sebagai tulang punggung perekonomian. Namun sejatinya, semua sektor ekonomi itu merupakan sebuah kesatuan. Seumpama sebuah bangunan, maka pondasinya adalah ekonomi mikro, lantainya usaha kecil, dindingnya usaha menengah, dan atapnya adalah usaha besar.
Lalu, jika angin pelambatan menerpa, ataplah yang pertama kali terkena. Lambat laun, jika tidak ada treatment khusus, maka dinding, lantai, bahkan pondasi pun goyah. Oleh sebab itu, jika ingin membangun gedung yang menjulang tinggi, maka perkuat pondasinya, bukan malah memoles atapnya terus menerus.
Peristiwa krisis 1998 silam, sejatinya mengajarkan kepada kita untuk kembali kepada pondasi awal, ekonomi kerakyatan. Yaitu perekonomian yang menjalankan model ekonomi yang disebut Fumio Sazaki atau yang dipraktikan nenek moyang kita sebagai ‘minimalisme’. Yang mengajarkan kita untuk tak silau dengan gelembung ekonomi.
Dari situ, kita juga bisa mengambil pelajaran bahwa rumus minimalis untuk memulai usaha di tengah pelambatan ekonomi (resesi) adalah adanya kemampuan dan keberanian untuk memulai. Kemampuan yang tak hanya berupa modal usaha, melainkan juga kreativitas. Sebagai modal yang tak terhingga, kreativitas merupakan kekuatan yang dapat mendobrak ketidakberdayaan, lalu melahirkan inovasi usaha.
Ketika terlempar dari Apple setelah terlibat perseteruan dengan John Scully, Steve Jobs mulai mengubah model bisnisnya dengan rumus yang minimali namun kreatif, yaitu dengan merampingkan sistem operasi yang ada. Ia buang segala sesuatu yang tak perlu, lalu fokus pada pengembangan produk yang aplikatif dan nir prosedural. Hasilnya, ketika kembali ke Apple, Jobs berhasil mencetuskan ide mengembangkan iMac sekaligus menyelamatkan Apple dari kehancuran.
Rumus sederhana Jobs sebetulnya juga ditanamkan pemain mega bintang Lionel Messi. Sadar akan postur tubuhnya yang mungil untuk ukuran pemain sepakbola Eropa, Lionel Messi terbilang pemain yang irit dalam berlari, jarak tempuh yang ia lakukan per pertandingan tercatat tak lebih dari 8 kilometer saja. Bedanya dengan pemain lain, Messi tahu kapan ia harus berlari secara maksimal. Hasilnya, Messi kini menjadi pemain dengan raihan pernghargaan terbanyak; 6 kali meraih sepatu emas dan 6 kali pula meraih Balon d’Or.
Pelajaran lain yang dapat kita petik dari peristiwa krisis 1998 adalah soal akses pembiayaan. Akses pembiayaan adalah salah satu problem klasik yang seringkali menjadi perdebatan panjang dalam dunia perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Pangkal masalahnya adalah sulitnya kalangan UMKM dan koperasi untuk mengakses pembiayaan.
Nah, pasca 98 berbagai upaya pun dilancarkan untuk menanggulangi problem tersebut, mulai dari mendorong lembaga keuangan bank maupun non-bank untuk memberikan akses pembiayaan, peningkatan kapasitas UMKM dan koperasi, hingga menberikan beberapa lembaga keuangan yang lebih berkonsentrasi memberikan pembiayaan untuk kalangan UMKM dan koperasi.
Sesaat, problem tersebut mulai terasa dapat ditanggulangi. Namun, setelah masyarakat dan kalangan usaha kecil mulai mendapatkan kemudahan untuk mengakses pembiayaan, ternyata mulai muncul persoalan baru, yang disebut sebagai credit booming. Kondisi dimana kredit menjadi primadona dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Baik orang per orang, maupun pelaku usaha demi mempercepat dan mempermudah dalam memenuhi kebutuhannya.
Entah kebutuhan yang sifatnya produktif maupun konsumtif, kredit menjadi pilihan utama; lembaga keuangan bank maupun non-bank (bank keliling atau bahkan renternir) seolah menjadi pihak yang dicari orang per orang maupun kalangan usaha. Untuk yang terbaru, adalah maraknya pinjaman online atau pinjol.
Pihak perbankan maupun lembaga keuangan lainnya yang menyalurkan kredit pun mulai merasa kesulitan untuk menjangkau UMKM dan koperasi sebagai sasaran kreditnya. Sulit, karena minimnya informasi tentang kinerja dan kemampuan UMKM dan koperasi. Padahal, karakter pengusaha yang mengajukan kredit, serta azas kehati-hatian tetap menjadi prioritas. Kalau pun riwayat kredit saat ini dapat diakses dari Sistem Infomasi Debitur (SID) Bank Indonesia, tapi jumlahnya masih terbatas.
Dalam konteks inilah lembaga penjaminan diharapkan dapat memainkan peranannya. Lembaga Penjaminan dapat berperan terkait geliat dan animo masyarakat yang cukup tinggi terhadap pembiayaan kredit. Kecenderungan yang di satu sisi cukup menggembirakan, karena masyarakat mulai mengenal jalur pembiayaan tersebut. Namun di sisi lain, bila tidak dikelola secara baik akan berdampak kurang baik dan mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional.
Lembaga penjaminan hadir untuk memperkenalkan layanan yang tak hanya membantu calon debitur untuk mengakses pembiayaan, namun juga membantu calon kreditur untuk menyalurkan kredit. Dalam hal ini misalnya, hingga September 2018, total kredit yang dijamin lembaga penjaminan adalah sebesar Rp126 triliun. Porsi terbesar 80% atau Rp 85,18 triliun diperoleh dari penjaminan Non KUR dan sisanya Rp 41,30 triliun merupakan penjaminan KUR.
Usaha penjaminan kredit yang dijalankan saat ini memang tak dapat dipungkiri memiliki potensi risiko yang tinggi. Risiko tersebut dapat timbul sebagai akibat dari kegagalan nasabah perbankan dalam memenuhi kewajibannya. Karena itulah lembaga penjaminan diharapkan dapat mendorong UMKM dan Koperasi untuk melakukan reformasi total dengan menerapkan cara dan model minimalis ala Fumio Sazaki di atas. Mereka harus naik kelas, lebih modern, dan go internasional.
Supaya mereka memiliki daya saing yang tinggi, maka UMKM dan Koperasi harus diberi pelatihan teknik operasional yang ramping dan kreatif. Buang segala prosedur dan pernak-pernik bisnis yang tak perlu, cukup fokus untuk menghasilkan produk. Manfaatkan kemajuan teknologi untuk mengurangi biaya administratif dan teknis.
Cara lainnya, bisa dengan memperbaiki regulasi agar ada afirmasi kepada UMKM dan Koperasi. Lalu, setelah beberapa UMKM dan Koperasi sudah maju, maka dorong mereka agar mau menolong yang lain untuk merangkak. Jadi ada semacam kesetiakawanan ekonimis.
Semua pihak, baik pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat secara keseluruhan juga bisa saling bekerjasama. Ya, di era disrupsi kolaborasi memang menjadi keniscayaan. Dengan kolaborasi, maka peluang UMKM dan Koperasi untuk naik kelas bisa lebih besar dan cepat.