Mulai Move On, AS Inisiasi PTM dengan Taliban

MONITORDAY.COM - Dulu lawan sekarang kawan, itulah yang dapat digambarkan dari Amerika Serikat (AS) yang diam-diam mulai melupakan masa kelamnya terhadap Taliban. Kabarnya, AS melakukan tatap muka dengan rivalnya itu.
Langkah AS ini dinilai sebagai ikhtiar move on yang baik, daripada malu hengkang dari Afghanistan, lebih baik membuktikan dirinya sebagai Paman Sam yang baik, tidak sombong dan legowo dengan fakta yang ada.
Sejarah mencatat, Amerika Serikat merebut kekuasaan Taliban di Afghanistan. Alasannya, Taliban adalah aktor dari penyerangan gedung WTC di New York. Akibatnya, Presiden Bush junior kala itu murka dan melontarkan ungkapan tersombong sepanjang sejarah " join us or be our enemy" mau gabung atau jadi musuh kami.
Meski tuduhan itu tak beralasan, Afgahnistan pun diduduki dengan dukungan peralatan super canggih dan aliansi sekutu AS yang bisa ditebak selalu membeo apa kata Negeri Paman Sam.
AS dengan pongahnya melakukan apa saja, pasti diamini oleh negara-negara sekutunya. Bahkan negara-negara Arab tak ubahnya macan ompong yang menutup mata akan kebrutalan Negara pengimpor isu teroris demi minyak dan deretan keuntungan bisnis lainnya.
AS dan sekutunya hadir di Afghanistan dan membentuk pemerintah boneka dengan menjual konsep demokrasi dan sederet konsep kapital dan kebebasan. Namun AS lupa, ini bukan Arab, yang didudukinya adalah Afghanistan, rumahnya para pejuang yang tak akan menyerah hingga titik darah penghabisan.
20 tahun berlalu, Pemerintah bentukan Afgahnistan yang semangatnya bukan untuk memajukan bangsanya namun segepok dolar dan kesenangan dunia, diindikasi melakukan korupsi dan sederat kebohongan.
AS mulai mencium gelagat ini, layaknya orang dagang, yang diinginkan adalah untung, faktanya buntung alias kerugian. Harapan AS menduduki negara manapun, termasuk Afghanistan sudah diketahui oleh seantero bumi dan planet lainnya.
Pengakuan rugi ini dilontarkan oleh orang no 1 di AS, Joe Biden yang usai dilantik sebagai Presiden AS langsung mengeluarkan fatwa bahwa perang di Afghanistan jelas sebuah kerugian.
Dalam sambutannya di Gedung Putih, Biden mengaku bertanggung jawab atas keputusan menarik warga Amerika Serikat termasuk evakuasi terakhir di Bandara Kabul.
"Perang 20 tahun ini harus diakhiri, Amerika tidak boleh berperang sementara warga Afghanistan saja tidak mau berperang. Lebih baik dikahiri saja," begitulah ucap Biden yang tampaknya baper dengan Ashraf Gani, Presiden Boneka yang kabur dari negerinya.
Dengan demikian, Sejarah kembali mencatat, merebut kekuasaaan dengan paksa maka endingnya juga dengan kehinaan.
Jika Taliban berperang demi keyakinan, ada makna perjuangan dan legacy yang dikobarkan. Sementara pasukan Afghanistan besutan AS, berperang demi gaji dan lauk pauk untuk mengenyangkan perut, sukur-sukur seumur hidup sehingga AS bisa menjadi papa asuh pemerintah Afghanistan yang dipimpin oleh Asghraf Gani dan begundal-begundalnya.
Setelah hengkang tanggal 31 Agustus 2021, 1 bulan setelah itu, Delegasi Amerika Serikat (AS) menghendaki pertemuan dengan musuh lamanya yakni Taliban pada Sabtu (9/10/2021) dan Minggu (10/10/2021).
Pertemuan yang berlangsung di Doha, Qatar, itu merupakan pertemuan pertama kedua pihak sejak AS meninggalkan Afghanistan.
Taliban menyebut bahwa pembicaraan tersebut berjalan dengan baik, dengan AS disebut berjanji untuk memberikan bantuan kemanusiaan terhadap warga Afghanistan.
Meski begitu, AS tampkanya masih malu dan jaga kewibawaannya bahwa bantuan ini bukan berarti pengakuan Negeri Paman Sam terhadap Taliban.
"AS telah setuju untuk memberikan bantuan kemanusiaan ke Afghanistan yang sangat miskin di ambang bencana ekonomi, sementara menolak untuk memberikan pengakuan politik kepada Taliban,"ujar Juru Bicara Politik Taliban Suhail Shaheen.
dikutip AP, Senin (11/10/2021).
Sementara itu, Jubir Departemen Luar Negeri AS Ned Price menyebut diskusi itu profesional. Pihak AS menegaskan kembali bahwa Taliban akan dinilai atas tindakan mereka
Taliban sendiri masih meyakinkan AS bahwa pihaknya mampu dalam menjaga perdamaian di Negara Asia Tengah itu. Mereka berkomitmen bahwa negara itu tidak akan dipakai sebagai tempat pengembangan kelompok teroris.