Terkait Larangan Cadar, Abdul Mu'ti: Konteksnya Aturan Kampus, Bukan Radikal atau Menyalahi Ajaran Islam

Pelarangan cadar semestinya dilihat dalam konteks aturan, bukan malah dalam ajaran. Karena sebagai ajaran atau keyakinan, itu adalah hak mereka.

Terkait Larangan Cadar, Abdul Mu'ti: Konteksnya Aturan Kampus, Bukan Radikal atau Menyalahi Ajaran Islam
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti/Net

MONITORDAY.COM - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti memberikan tanggapan terkait adanya aturan yang melarang mamakai cadar bagi mahasiswi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta. Menurutnya, pelarangan cadar sebetulnya tidak hanya diberlakukan di UIN Jogja, tapi juga di beberapa kampus UIN yang lain, dan itu konteksnya adalah aturan.

“Kebijakan itu merupakan bagian dari pembinaan busana mahasiswa. Selain bercadar, beberapa kampus UIN juga melarang mahasiswa berbusana terlalu ketat. Beberapa bahkan ada yang melarang mahasiswi memakai celana panjang dan jeans. Jadi konteksnya adalah aturan berbusana bagi mahasiswa,” kata Abdul Mu’ti melalui keterangan tertulisnya kepda monitorday.com, Kamis, (8/3/2018).

Abdul Mu’ti menambahkan, bahwa selama ini terdapat perbedaan pendapat dan persepsi soal cadar. Sebagian mengidentikkan cadar dengan radikalisme. Pandangan itu dipengaruhi oleh pemberitaan media dimana banyak tokoh radikal dan pelaku terorisme yang isterinya bercadar.

“Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Banyak dari mereka yang bercadar adalah kelompok moderat yang berpikiran dan berpandangan maju,” imbuh Mu’ti.

Pembinaan mahasiswa menurut Mu’ti merupakan otoritas pimpinan masing-masing perguruan tinggi. Rektor dan pimpinan perguruan tinggi memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan mahasiswa dalam berbagai aspek baik akademik maupun non-akademik. Norma dan aturan berbusana merupakan bagian dari kebijakan non-akademik.

Konteks Mematuhi Aturan

Bagi Mu’ti, jika pembinaan terhadap mereka yang bercadar dikaitkan dengan pencegahan radikalisme itu tidak masalah. Tapi kebijakan anti radikalisme harus berlaku untuk semua. Karena banyak juga kelompok radikal yang tidak bercadar dan tidak berjenggot panjang.

“Tetapi, kalau pembinaan dimaksudkan agar mereka melepas cadar itu bisa jadi masalah. Batasan aurat wanita di kalangan ulama berbeda-beda. Memaksa melepas cadar bisa dimaknai memaksakan keyakinan,” tegas pengajar di Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta ini.

Karena itu jika mahasiswi bertahan memakai cadar dengan alasan keyakinan, itu hak yang harus dihormati. Tetapi, karena kampus melarang memakai cadar, maka mereka juga harus mematuhi aturan. Jadi konteksnya tidak mematuhi aturan, bukan karena radikal atau menyalahi ajaran Islam.

Lebih lanjut Mu’ti mengatakakan, karena konteksnya mematuhi aturan, maka mahasiswi yang berpakain ketat juga bisa dikeluarkan. Hal yang sama juga bisa berlaku bagi mereka yang tidak membayar SPP, melakukan perbuatan amoral, tidak mengikuti kuliah, dan bentuk-bentuk pelanggaran lainnya.

Menurut Mu'ti, sepanjang konteksnya untuk penegakan aturan dan disiplin, pimpinan perguruan tinggi bisa melakukan pembinaan khusus, bahkan mengeluarkan. “Tapi kalau bercadar dianggap radikal, itu akan menjadi masalah,” tutupnya.

Sebelumnya, Rektor UIN Suka Yogyakarta, Yudian Wahyudi, mengatakan, pihaknya akan membentuk tim konseling yang terdiri dari lima dosen di setiap fakultas. Mereka akan memberikan arahan dan pembinaan terhadap mahasiswi bercadar. Jika melalui tujuh tahap pembinaan mahasiswi itu masih tetap bercadar, pihak kampus akan meminta mereka mengundurkan diri dari kampus.

Pelarangan itu didasarkannya atas tuduhan bahwa ideologi radikal berkembang di kalangan mahasiswi bercadar. Padahal, di kampus itu sendiri hanya terdapat 42 mahasiswi yang bercadar.

[Mrf]