Mirip Jarak Kepyar, Korona Bikin Sekolah Makin Ambyar
Agar pembukaan sekolah tak bikin skenario adaptasi kebiasaan baru malah ambyar, maka pemerintah terutama BUMN dan Kemendikbud perlu memberikan insentif paket berlangganan internet untuk para peserta didik, terutama di daerah.

BETUL kata orang, virus korona memang serupa buah jarak kepyar, tampilannya yang mirip rambutan banyak mengecoh kita. Ketika diajak berdamai, virus kurang ajar ini malah menyerang dan mengiritasi mukosa, lalu membajak metabolisme dan membuatnya tak berfungsi.
Kurva penyebaran virus korona sejenak sempat disebut melandai, namun belakangan malah bikin banyak yang juntai. Anak muda bahkan balita disebut tahan korona, tapi buktinya makin banyak anak-anak malah terkena.
Terbaru, ada sekitar 84 anak di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terinfeksi virus korona per Juni 2020. Anggapan bahwa anak muda dan balita lebih imun dari virus korona pun terbantahkan. Kini, kita pun menghadapi persoalan yang sangat serius, karena pemerintah telah menetapkan tahun ajaran 2020/2021 akan dimulai Juli mendatang.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTB, Lalu Gita Ariadi menuturkan, jika sebelum lebaran wilayahnya sempat mengalami penurunan kasus yang signifikan. Namun tak dinyana, akibat aturan yang dilonggarkan, jumlah kasus positif korona pun kembali meningkat.
Diduga kuat, peningkatan kasus tersebut disebabkan adanya transmisi lokal dari cluster Goa dan 4500 pekerja migran yang pulang kampung atau sengaja dipulangkan majikannya.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Hermawan Saputra menyebut, pihaknya sebetulnya sudah mengamati dan bahkan melaporkan adanya kejanggalan data di NTB.
“Kami melihat ada kejanggalan data pasien Covid-19 di NTB. Karena angka positifnya selalu naik signifikan, tapi laju ODP-nya menurun,” ujar Hermawan.
Menurut hermawan, kejanggalan data dan massifnya transmisi lokal di NTB terjadi akibat kurang maksimalnya tracing terhadap para pasien positif Covid-19. Akibatnya buruknya, kata dia, jumlah pasien positif Covid-19 kembali mengalami peningkatan, termasuk dari kalangan anak-anak.
Akibat buruk dari lemahnya tracing, kata hermawan, adalah transmisi terhadap anak-anak di NTB. Mestinya, kata dia, tracing ketat dilakukan secepat mungkin terhadap cluster Gowa dan pekerja migran yang pulang kampung.
Ini penting dilakukan, karena menurut Hermawan, usia anak adalah usia yang justeru rentan terhadap penyebaran Covid-19. Kata dia, kesadaran mereka memang berbeda dengan orang dewasa.
“Usia anak adalah usia yang belum memiliki otonomi dalam berpikir dan bersikap, sehingga kesadaran anak-anak ini berbeda dengan orang dewasa,” ujarnya.
Soal imunitas juga ada kejanggalan dalam masyarakat, anak-anak dianggap lebih imun, padahal jelas-jelas imunitas mereka belum terbentuk secara sempurna. Celakanya, seringkali kita lihat orangtua membawa anak-anak mereka ke luar tanpa masker.
Kini, tren penyebaran virus korona pun menjadi terbalik. Jika sebelumnya ditemukan banyak kasus anak terpapar dari orangtuanya, kinia malah anak-anak yang membuat orangtuanya terpapar. Atau ada juga anaknya terpapar, tapi orangtuanya tidak.
Kisruh anak kembali ke sekolah
Terus meningkatnya kasus pasien postif terpapar covid-19 di Indonesia tentu saja menjadi peringatan bagi pemerintah yang telah memutuskan tahun ajaran baru 2020-2021 pada Juli 2020. Harus disadari semua pihak, terutama orangtua bahwa anak-anak tidak imun terhadap virus korona. Sebaliknya justru paling rentan, karena belum memiliki sistem imun yang sempurna.
Itulah kenapa United Nations Children’s Fund (UNICEF) mendorong Pemerintah Indonesia memperketat protokol kesehatan dan kesiapan tiap-tiap sekolah sebelum kembali dibuka. Menurut Education Specialist UNICEF Indonesia, Nugroho Indera Warman, saat ini jumlah anak di Indonesia 30 persen dari populasi. Di tengah pandemi Covid-19, mereka menjadi salah satu yang paling rentan terpapar virus.
“Kami pada awal pandemi menndukung Kementrian Pendidikan untuk menutup sekolah, tapi pemerintah harus bisa memastikan bahwa mereka bisa belajar jarak jauh. Ini banyak terkendala, mulai dari kesulitan akses internet, bahkan listrik, padahal pembelajaran offline sudah terbatas,” kata Nugroho, Rabu (3/6/2020).
Baik UNICEP maupun Kemendikbud sejatinya telah melakukan beragam upaya mulai dari simulasi pembelajaran daring lewat 23 platform digital dan pembelajaran di luar jaringan melalui program di TVR dan Radio.
“Kami juga sudah menyerahkan pembelajaran offline ke pemerintah daerah dengan materi yang bisa dibagikan ke guru dan murid yang sekolahnya tidak bisa online,” katanya.
Lalu, jelang kenormalan baru, UNICEF merekomendasikan agar pemerintah memperketat protokol sekolah aman. Pemerintah diminta supaya memastikan keberadaan sarana dan prasarana kesehatan dan pembelajaran agar anak-anak tak terkena dampak Covid-19 di sekolah.
“Misalnya, pemerintah bisa mengadakan sarana mencuci tangan yang lengkap, pemeriksaan kesehatan sebelum masuk ke sekolah, dan menghidari kegiatan perkumpulan untuk memutus rantai penyebaran,” jelas Nugroho.
Untuk memastikan kesiapan tersebut, Kemendikbud pun menyatakan, jika dimulainya tahun ajaran baru bukan berarti kegiatan belajar mengajar siswa akan dilakukan secara tatap muka di dalam kelas.
"Tahun ajaran baru tetap, tahun ajaran baru 2020 akan dimulai pada Senin ketiga Juli yang akan datang. Tahun ajaran baru akan dimulai sesuai dengan waktu yang sudah direncanakan. Tetapi bukan berarti kegiatan belajar mengajar akan dimulai secara tatap muka di sekolah," kata Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemdikbud, Evy Mulyani dalam tayangan YouTube yang disiarkan BNPB Indonesia, Selasa (9/6/2020).
Dia menyebut kegiatan belajar mengajar tatap muka di sekolah akan sangat tergantung pada perkembangan kondisi pandemi. Evy memastikan sebagian besar sekolah akan melanjutkan proses belajar jarak jauh dengan berbagai alternatif pembelajaran.
"Pada pembelajaran pertama sebagian besar sekolah akan melanjutkan pembelajaran jarak jauh seperti yang sudah dilakukan 3 bulan terakhir ini. Kemudian terkait pembelajaran jauh ini sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kita sudah mempunyai berbagai alternatif tentunya melalui internet, kemudian melalui stasiun televisi, melalui radio dan sebenarnya juga banyak tersedia modul yang banyak digunakan atau dipelajari mandiri," jelasnya.
Minimnya akses internet
Pandemi Covid-19 sejatinya memunculkan pelajaran berharga bagi dunia pendidikan. Kolaborasi antara guru dan orang tua menjadi semakin terjalin, pemanfaatan teknologi dalam proses pembelajaran, hingga sikap untuk lebih menghargai kesehatan menjadi pelajaran yang bisa diambil selama masa pandemi.
Pandemi Covid-19 juga melecut semua pemangku kebijakan untuk memikirkan persoalan terpenting demi kelancaran pembelajaran daring, yakni akses internet. Tanpa internet, seideal apa pun konsep pembelajaran daring yang dibuat akan menjadi percuma jika tidak dapat diakses para peserta didik terutama di daerah.
Jangan sampai terjadi lagi seperti di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, ada orangtua yang terpaksa berutang untuk membeli kuota internet anaknya. Peristiwa semacam itu, biasa dialami keluarga manapun di masa pandemi ini.
Menanggapi persoalan tersebut, Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra Ali Zamroni meminta perusahaan telekomunikasi milik BUMN memberi layanan internet gratis bagi pelajar selama proses pembelajaran dari rumah.
Menurut Zamrono, layanan internet jadi penting karena banyak masyarakat terdampak ekonominya akibat pandemi Covid-19, sehingga tak mampu membeli kuota internet buat anak mereka.
"Sudah saatnya pemerintah menggratiskan kuota internet buat pelajar dari jenjangan pendidikan SD hingga perguruan tinggi," katanya, pada Jumat (5/6/2020).
Senada dengan Zamroni, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDI-P), Ananta Wahana mendorong PT Telkom (Persero) untuk memberikan akses internet secara gratis bagi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
"Penggunaan data internet di rumah-rumah kan pasti naik dengan adanya stay-at-home. Tetapi tidak ada pemberian insentif paket berlangganan dari PT Telkom dan anak usahanya, Telkomsel," ujar Ananta, Selasa (5/5).
Agar pembukaan sekolah tak bikin skenario adaptasi kebiasaan baru malah ambyar, maka pemerintah terutama BUMN dan Kemendikbud perlu memberikan insentif paket berlangganan internet untuk para peserta didik, terutama di daerah.