Mimbar Kritik Jokowi

MONITORDAY.COM - Permintaan Presiden Jokowi agar masyarakat lebih aktif menyampaikan masukan dan kritik menjadi kontroversi. Publik mengaitkan dengan terjadinya pelaporan ke kepolisian terhadap orang-orang yang memberikan kritik kepada pemerintah.
Sebut saja penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang dilaporkan ke Bareskrim Polri, setelah cuitan di Twitter soal meninggalnya Ustadz Maaher dalam kondisi sakit di tahanan kepolisian.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam Mimbar Demokrasi yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mempertanyakan bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi. JK juga menyitir keluhan ekonom Kwin Kian Gie yang merasa ketakutan melontarkan kritik.
Melalui akun Twitter, Kwin mengatakan dirinya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda, karena langsung diserang habis-habisan oleh buzzer. Kwik membandingkan dengan masa Soeharto, kritik-kritik tajamnya melalui kolom Kompas tidak sekalipun ada masalah.
Tidak hanya Kwik yang resah dengan keberadaan buzzer politik. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pun diserang buzzer setelah menyerukan untuk meng-unfollow akun Permadi Arya alias “Abu Janda” yang tengah berperkara terkait kicauan bernada rasis.
Puteri mendiang Gus Dur, Alissa Wahid, mengaku baru paham keberadaan buzzer usai pernyataannya bahwa sikap Abu Janda yang bersikap rasis berlawanan dengan karakter Nahdlatul Ulama (NU). Alissa pun turut menjadi bulan-bulanan “pasukan Permadi” di media sosial.
Fenomena buzzer (pendengung) ramai diperbincangkan, seiring menguatnya media sosial yang menggeser media massa konvensional. Sejarawan Soewarsono dalam dialog yang dihelat Historia membandingkan buzzer dengan agitator dan propagandis pada zaman dahulu.
Terbentuknya Indonesia sendiri tidak lepas dari hasil agitasi dan propaganda, dimulai belasan tahun sebelum kemerdekaan, melalui tulisan dan gagasan. Sementara itu politik buzzer dinilai dangkal, dengan menjual orang dari tidak terkenal menjadi terkenal, seperti dalam pilkada dan pilpres.
Berdasarkan penelitian Center for Innovation Policy and Governance (CPIG), buzzer politik memang mulai populer di Indonesia sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, setelah awalnya buzzer lebih merupakan strategi pemasaran untuk mempromosikan produk oleh brand atau korporat.
Seperti jamak diketahui, pilkada itulah yang mengantarkan Jokowi dari Solo menuju panggung politik di Jakarta. Saat itu relawan pendukung pasangan Jokowi-Ahok yang tergabung dalam JASMEV, bekerja sama dengan sebuah agensi, aktif berkampanye melalui berbagai kanal media sosial.
Mau tidak mau, suka tidak suka, momentum pilkada langsung-lah yang telah melahirkan golongan elite baru yang kini mendominasi percaturan politik. Dimulai dari Jokowi, muncul nama-nama seperti Ridwan Kamil, Risma, Nurdin Abdullah, dan Ganjar Pranowo.
Figur-figur yang memang outsider, bukan siapa-siapa dalam politik yang didominasi elite lama itu, terbukti mampu menawarkan gagasan baru. Kerja-kerja politik yang bisa mendeliver hasil yang kasat mata dalam siklus politik lima tahunan, bukan sebatas pencitraan dan mangkraknya pembangunan.
Jokowi cs mendobrak kesantunan politik lama dengan gesture seperti masuk gorong-gorong atau blusukan untuk melihat langsung bagaimana pelayanan publik bekerja. Atau Risma yang kerap turun langsung ke jalan dan Ganjar yang marah-marah memergoki pungli di jembatan timbang truk.
Itu pula sebenarnya pesan yang ingin disampaikan Jokowi dalam pernyataannya soal masukan dan kritik dari masyarakat. Jokowi mengungkapkan hal tersebut dalam sambutannya pada Laporan Akhir Tahun Ombudsman, lembaga yang berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.
Saat itu Jokowi mengatakan bahwa catatan Ombudsman yang menemukan berbagai kekurangan dan maladministrasi dalam pelayanan publik sangatlah penting untuk mendorong peningkatan standar kualitas dan perbaikannya pada masa yang akan datang.
Lebih-lebih pada situasi pandemi, di mana penyelenggara pelayanan publik dipaksa untuk bertransformasi agar bisa melayani masyarakat dengan lebih cepat dan efektif. Dalam situasi krisis, frekuensi normal harus berubah menjadi extra-ordinary, dari cara kerja rutinitas menjadi inovatif.
Semua itu memerlukan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat dan pengawasan dari Ombudsman. Bentuknya adalah berupa input, baik berupa kritik dan dukungan agar pelayanan publik di negara kita semakin berkualitas.
Entah bagaimana, pernyataan itu kemudian dikaitkan soal pelaporan ke polisi dan keberadaan buzzer. Lebih jauh lagi JK bicara soal kritik sebagai check and balance dalam demokrasi. JK mengutip laporan The Economist Inteligence Unit (EIU) bahwa indeks demokrasi Indonesia turun ke nomor 64.
Laporan tersebut memberikan Indonesia skor 6,30 atau tertinggal dari negara-negara tetangga, yaitu Malaysia (7,19), Timor Leste (7,06), dan Filipina (6,56). Indonesia juga masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy), atau bukan demokrasi penuh, yang sudah disandang sejak laporan 2006.
Sebagai catatan, ketiga negara ASEAN itu sama-sama tergolong dalam flawed democracy. Bahkan Amerika dan Prancis, negara-negara kampiun demokrasi, kali ini juga terjerembab ke dalam kategori flawed democracy, meskipun ada sejumlah faktor di antaranya dampak lockdown semasa pandemi.
Bagi penulis, kritik adalah sesuatu yang lumrah dan penting dalam demokrasi. Meskipun demikian kritik sebagai kebebasan berpendapat (free speech) yang dijamin konstitusi harus dibedakan dengan ujaran kebencian (hate speech) dan hoax yang merusak tatanan demokrasi.
Sikap tegas Jokowi terhadap individu dan kelompok yang ingin membunuh demokrasi melalui gerakan-gerakan ideologis yang mengganggu keutuhan NKRI tidak bisa dimaknai sebagai kemunduran dalam demokrasi kita.
Kuatnya narasi yang ingin memperlebar polarisasi di tengah-tengah masyarakat sudah sepatutnya ditindak secara hukum. Tentunya melalui mekanisme hukum yang benar. Jika ada yang merasa tindakan pemerintah salah, sebaiknya menempuh jalur hukum pula untuk membuktikannya.
Lagipula tidak semua yang menyerang di media sosial adalah buzzer. Sejak era media sosial, apa yang dulu digadang-gadang sebagai citizen journalism (jurnalisme warga) kini berevolusi menjadi netizen (warganet). Internet menciptakan ruang opini yang lebih luas dari platform media konvensional.
Sudah saatnya kita mengembalikan kritik dalam bingkai demokrasi di era yang kerap disebut sebagai pasca-kebenaran ini. Mimbar kritik yang menyehatkan proses berwarga dan kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa sangat penting. Permintaan Presiden Jokowi agar masyarakat lebih aktif menyampaikan masukan dan kritik patut dipuji. []