Menyibak Makna Lain Metaverse

JAUH sebelum Mark Zuckerberg mendeklarasikan komitmennya membangun metaverse, penulis asal Amerika, Neal Stephenson, ternyata sudah menulis idenya tentang platform virtual yang disebut bakal jadi masa depan dunia internet.
Ide itu ia tulis di novel fiksi ilmiahnya bertajuk ‘Snow Crash’ pada tahun 1992. Menurut Neal, metaverse merupakan ruang virtual yang menghubungkan semua dunia virtual melalui internet dan augmented reality (AR).
Lebih jauh dari itu, di tahun 1939, Edwin Eugine Mayer, juga sudah merintis sejenis kacamata stereoskopik, dimana sebuah rol gambar khusus dapat ditampilkan dalam wujud tiga dimensi pada penggunanya. Teknologi ini kemudian kita kenal dengan views master.
Teknologi ini lantas populer kita kenal dalam bentuk Kamera 3D Haji di tahun 80-an. Ada gambar Ka’bah di sana, juga orang naik unta. Terlihat nyata sekali. Inilah nenek moyang virtual reality (VR) yang jadi jantung metaverse.
Sampai di titik ini siapa pun kita pasti setuju, bahwa metaverse menjanjikan kemudahan, kenyamanan dan sensasi dunia tak berjarak. Karena dapat menyajikan konten virtual namun persis aslinya. Sains, ilmu kedokteran, pendidikan, ekonomi bahkan hiburan akan sangat terbantu oleh kehadiran metaverse.
Hal ini seperti dikatakan Louis Rosenberg, seorang ilmuwan komputer yang mengembangkan sistem AR fungsional pertama. Menurutnya, AR dan metaverse bertujuan menyajikan konten dalam bentuk paling alami.
Kekhawatiran Louis Rosenberg
Hanya saja, Louis mengingatkan, bahwa AR bisa jadi berbahaya bagi kita. Seperti algoritma media sosial saat ini, yang dapat membawa penggunanya masuk dalam ‘sudut gelap’.
Louis bilang, sistem AR pertama kali digunakan buat melatih pilot Angkatan Udara Amerika Serikat tahun 1992. Saat itu, dia yakin AR segera jadi poros kemajuan semua aspek kehidupan.
Tapi dia kemudian jadi khawatir, karena platform media sosial bisa saja mengontrol infrastruktur metaverse atau AR. Dia takut, kelak media sosial akan memonopoli pemanfaatan AR.
Louis jelas punya alasan kuat, karena algoritma media sosial nyatanya secara tidak langsung berkontribusi melahirkan apa yang disebut echo-chamber (ruang gema). Situasi dimana seseorang menerima informasi, ide dan gagasan yang homogen secara berkala. Saat itulah muncul filter, sehingga pandangan lain tak bisa masuk dalam sudut itu.
Pelan namun pasti, pasokan informasi disesuaikan dengan preferensi yang dikehendaki si user. Sementara yang tidak selaras akan tersingkir sendirinya. Dalam konteks metaverse, Louis khawatir, media sosial membuat manusia di masa depan enggan lepas dari kacamata AR dan VR-nya.
Kekhawatiran Louis ini setidaknya bisa kita lihat dari data pengguna internet yang terus bertambah tiap tahunnya. Merujuk data yang dirilis App Annie tahun 2021, bahwa dari sekira 202 juta pengguna internet di Indonesia rata-rata menghabiskan 5 jam bermain hape. Dan 60 persen diantaranya ternyata hanya bermain sosial media.
Saya atau siapa pun mestinya punya kekhawatiran yang sama dengan data tersebut. Karena itu, penting sekali ada literasi dan kontrol dalam penggunaan AR atau VR dalam metaverse. Jangan sampai cerita-cerita manis seperti soal Kamera 3D Haji, malah berbuah bencana.
Memaknai metaverse
Jika gagasan awal soal metaverse ini bisa kita jaga, maka metaverse sejatinya juga mengingatkan kita akan kekuatan imajinasi atau the power of imagination atau alquwwah al hayaliyyah.
Para ahli tirakat/sufi menuturkan ‘jika seseorang meningkatkan spiritualias dan melakukan kontemplasi, maka dia akan mampu mengakses alam mitsal.’ Ungkapan ini tentu saja punya sandaran yang amat kuat.
Syahdan, Abdullah bin Umar suatu hari pernah menyampaikan kisahnya (hadist) bagaimana Nabi Muhammad bisa mengakses alam mitsal itu. Ceritanya, jelang Perang Mu’tah, Nabi Muhammad mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai Panglima.
Namun lelaki kinasih itu, kata Abdullah bin Umar, mengatakan jika Zaid bin Haritsah gugur, maka Ja’far adalah penggantinya, lalu jika Ja’far gugur, maka Abdullah bin Rawahah adalah penggantinya.
Lantas suatu ketika, Abdullah bin Rawahah pun berada di tengah peperangan itu dan mencari-cari Ja’far bin Abu Thalib, dan menemukan Ja’far bin Abu Thalib diantara para prajurit yang gugur di medan perang.
Cerita serupa juga terjadi menjelang Peperangan Khandak. Dikisahkan, ketika menggali parit Kaum Muslimin menemukan sebuah batu besar yang sulit untuk dihancurkan. Kabar soal batu besar nan keras ini pun sampai ke telinga Nabi.
“Aku sendiri yang akan turun,” kata Nabi sambil berjalan menuju batu yang dimaksud. Singkat cerita, Nabi pun berdiri di depan batu itu dan memukulnya dengan membaca ‘bismillah’. Pukulan pertama lantas menghancurkan sepertiga batu itu.
Sambil mengucap ‘Allahuakbar!’, beliau mengatakan “Aku telah diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah, sekarang saya melihat istana yang merah.”
Beliau melanjutkan dengan pukulan kedua. Kali ini, ia juga berhasil menghancurkan sepertiga berikutnya dan beliau mengucapkan “Allahuakbar! Aku telah diberi kunci-kunci Parsy. Demi Allah! Saya melihat istananya yang putih.”
Nabi melanjutkan dengan pukulan ketiga dan akhirnya batu yang tersisa berhasil dipecahkan dan beliau mengucapkan “Allahuakbar! Aku telah diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah aku melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini.”
Metaverse dengan begitu memang niscaya, namun harus dikembalikan pada tujuan awalnya untuk membuat hidup kita jadi lebih mudah namun tetap bermakna dan tak anti sosial.
Mungkin, seperti inovasi yang mulai dilakukan Arab Saudi, untuk menyentuh Hajar Aswad di Ka’bah, Mekah secara virtual. Dengan bantuan virtual reality atau bahkan metaverse, kelak siapa pun bisa merasakan pengalaman baru ini.
Makna dan pengalamannya bisa tetap dirasakan, dus juga efek bisnisnya masih bisa didapatkan seperti ibadah haji dan umroh sebenarnya. Salah satunya dengan jual beli aset digital lewat NFT (non fungible token). [ ]