Enigma Koperasi di Era Disrupsi

Lahirnya para startup jadi sinyal agar koperasi establish di tengah disrupsi.

Enigma Koperasi di Era Disrupsi
Toko ritel Coop, koperasi modern di Swiss

REVOLUSI industri 4.0 sudah di depan mata, perubahan struktur kehidupan mulai harus berbenah. Instrumen ekonomi generasi keempat ini mengakibatkan pergantian produk lama ke baru. Tak lupa era ini memaksa manusia merubah paradigma akan pentingnya inovasi. Lahirnya para startup memberikan sinyal baru akan berlangsungnya koperasi agar establish di tengah era disrupsi. Kemunculan para startup senantiasa memumculkan ide baru bagi lahirnya kerja kolaboratif antara koperasi dengan digitalisasi ekonomi. Salah satunya, lahirnya startup koperasi digital sebagai “soko guru perekonomian”.

Bung Hatta memang tak pernah salah meletakkan pondasi koperasi sebagai rangka bangun ekonomi sesuai kondisi bangsa Indonesia. Sebagai penerus, kita secara eksplisit tak mampu menerjemahkan cita-citanya. Akibatnya mimpi Bung Hatta ibarat utopia yang berada di alam imajinasi yakni ketika koperasi tak mampu mengangkat derajat perekonomian bangsa. Bahkan para stakeholder dibeberapa rezim di Tanah Air kerap kali tampak tidak yakin bahwa koperasi mampu mengambil peran sebagaimana yang diharapkan Bung Hatta.

Digitaliasi koperasi tidak bisa dihindarkan lagi sebagai hierarki new ekonomi.  Enigma koperasi digital memerlukan campur tangan para stakeholder. Koperasi sampai saat ini masih tertanam dalam konstitusi (UUD 1945). Artinya aspek kehidupan perekonomian tertuang dalam regulasi. Itu seharusnya diseriusi para stakeholder koperasi agar mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan organisasi gerakan koperasi dibawah naungan Dekopin.

Koperasi harus mampu menjadi penyelamat Usaha Kecil Menengah (UKM). Eksistensi koperasi selalu ditunggu rakyat. Tapi, realitas miris terjadi, data menunjukan tahun 2017 kurang lebih 40.013 unit koperasi yang dibubarkan--Sekitar 7.235 koperasi dibubarkan di daerah dan 32.778 dibubarkan Kementerian Koperasi dan UKM--Nyaris koperasi tak terdengar suaranya. Saat beberapa startup secara kreatif memberi solusi di sektor pertanian, pangan dan aneka platform lainnya. Sedangkan Koperasi Unit Desa (KUD), Koperasi Petani (Koptan), Koperasi Simpan Pinjam masih mengunakan cara yang lama.

Perlunya reformasi total koperasi karena sumbangan koperasi terhadap PDB hanya 1,71 persen di tahun 2014 dan 4 persen di tahun 2016. Tidak begitu signifikan, tahun 2017 pun  koperasi hanya menyumbang 4,48% dari PDB Nasional setara dengan Rp 451,95 triliun kondisi makro tersebut tentu masih jauh dari slogan koperasi sebagai "soko guru perekonomian nasional", suatu cita-cita yang telah  menjadi obsesi sejak lebih dari tujuh dasawarsa lalu.

Di tengah depresiasi rupiah terhadap dolas AS yang tidak terkendali dan belum signifikannya pertumbuhan ekonomi di angka 5,07 persen (2018). Ditambah kemiskinan masih dirasakan 27,77 juta penduduk negeri ini (2017). Ketimpangan juga masih menganga, dengan Indeks Gini di angka 0,397. Padahal, dana desa per Desember 2017 telah tersalurkan sampai Rp 59,2 triliun.

Di ruang lain, ekonomi digital terus tumbuh. Ekosistem digital merangsang ekonomi lebih bergairah. Ekonomi yang tadinya lesu berbalik arah. Tak perlu miris, data WeAreSocial (2018) mencatat sekitar 132,7 juta penduduk Indonesia melek internet. Itu sama dengan separuh dari jumlah penduduk negeri ini 265,4 juta per Januari 2018. Angka itu menunjukan 130 juta di antaranya aktif menggunakan platform media sosial dan 120 juta di antara mereka mengakses lewat ponsel pintar.

Data ini diperkuat  41 persen masyarakat Indonesia berbelanja online. Lalu 33 persen di antaranya menggunakan mobile-commerce. Yang menarik tahun 2018 ini diprediksi akan tumbuh 18,8 persen. Peluang ini harus dimanfaat bagi pelaku koperasi. Di era digital ini teknologi datang pada waktu yang tepat saat generasi milenial tumbuh. Sekitar 35 persen Itu sama dengan 93 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia adalah anak muda sebagai gadget minded. (WeAreSocial, 2017).

 Peluang tersebut menjadi penting bagi kemajuan koperasi di Indonesia. Perlu pemahaman ulang dalam berkoperasi. Aktifitas koperasi jangan sekadar pemupukan modal dari simpanan wajib dan simpanan sukarela—seperti kegiatan arisan. Padahal koperasi bukan saja memperkuat kemitraan sesama anggota yang memiliki kesamaan produknya, namun juga membantunya dalam banyak hal, seperti permodalan, posisi tawar terhadap pemasok, peningkatan kualitas produk, serta perluasan pemasaran. Perlu inovasi dalam operasional koperasi. Koperasi bisa melakukan penumpukan modal berupa penerbitan obligasi atau sukuk (obligasi berbasis syariah) dengan kerjasama perusahaan Asset Manajement.

Hadirnya Koperasi Digital—Digicoop yang digawangi para pelaku industri digital jangan hanya sesaat. Perlunya integrasi dengan pelaku UKM dalam menguatkan fondasi perekonomian. Dalam rangkaian pengembangan koperasi, membangun kolaborasi agar koperasi bisa berkembang dan bekerjasama antar koperasi di dalam negeri. Jejaring tersebut akan mengoptimalkan sumberdaya tiap koperasi. Koperasi yang memiliki bahan baku di satu provinsi bisa kerjasama dengan koperasi produksi di daerah lain sehingga tercipta sinergi antar koperasi.

 Koperasi di Indonesia dinilai mampu mendominasi bisnis ritel. Sebab, bisnis ritel merupakan bagian dan peluang usaha bagi perkembangan kinerja koperasi. Selain itu, koperasi juga merupakan pusat kegiatan segala unit usaha. Di negara maju seperti Inggris telah mampu mendominasi bisnis ritel di negara tersebut. Koperasi Indonesia juga harus mampu mencontoh negara maju itu. Hal itu pun bisa terjadi di Indonesia karena bisnis ritel merupakan bagian dan peluang usaha bagi perkembangan kinerja koperasi. Koperasi juga merupakan pusat kegiatan segala unit usaha.

Edi Setiawan, Ekonom Muhammadiyah dan Dosen FEB-UHAMKA