Meraih Derajat Takwa

Meraih Derajat Takwa
Sumber gambar: mediaguna.com

MONITORDAY.COM - "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS.49:13)

Suatu ketika Sahabat Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab: ” Wahai Ubay, apa makna takwa?”. Ubay bin Ka’ab balik bertanya. “Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?”. “Tentu saja pernah” jawab Umar bin Khatab. “Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?” tanya Ubay. “Tentu saja saya berjalan dengan hati-hati” jawab Umar. “Itulah hakikat takwa” kata Ubay. 

Jalan yang dilalui manusia dalam mengarungi kehidupan dunia menuju ke alam akhirat, selalu akan dipenuhi dengan duri. Apa yang menjadi duri dalam perjalanan hidup manusia?.

Persepsi tentang manusia

Berbasis pada hasil pemikiran dan pengamatan empiris, dalam pandangan para pemikir Barat ”Manusia adalah hewan berakal” kata Thomas Aquinas. “Manusia adalah hewan kreatif”, menurut Einstein.”Manusia adalah hewan berpolitik,” kata Mc.Inery. Selanjutnya Nicolo Machiavelli mengungkapkan bahwa “manusia pada dasarnya seperti hewan dan penguasa yang berhasil adalah mereka yang mampu memanipulasi manusia sebagai makhluk yang jahat”.

Para pemikir Barat menggunakan hewan sebagai pembanding dalam menggambarkan sosok manusia. Hal ini, membuka peluang manusia dalam memandang  martabat dirinya  sama dengan hewan plus fakulti rasio dan akal budi. “Cogito ergo sum -aku ada karena aku berfirkir” demikian Descartes berujar. Dampak pemikiran ini, hinggap dalam benak Karl Marx bersama dengan Engels yang memandang manusia sebagai materi. Materi dalam pandangan Ibnu Sina adalah makhluk Allah yang Paling rendah.

Menurut Sigmund Freud, manusia dengan gambaran tersebut perkembangan kepribadiannya akan diawali dengan: pertama tahap oral. Tahap ini ditandai dengan kesenangan untuk selalu memasukkan sesuatu pada mulutnya. Analoginya bagi manusia yang berada pada tahap oral yang selalu menjadi impiannya adalah mengumpulkan segala sesuatu yang dianggap akan membuat senang dalam menjalani kehidupannya misalnya dengan cara ngumpulkan harta dan memproleh kedudukan tinggi. 

Kedua tahap anal. Tahap ini ditandai dengan kesenangan untuk selalu mengeluarkan sesuatu dari mulut atau dirinya. Analoginya bagi manusia yang berada pada tahap kedua ini selalu menunjukan segala sesuatu yang dimilikinya dan membuat senang dalam menjalani kehidupannya misalnya dengan cara menunjukan harta yang dimilikinya baik berupa, sawah, ladang, kendaraan, buku tabungan dan berbagai hal yang dimilikinya.

Ketiga tahap genital. Tahap ini di tandai dengan kesenangan menumpahkan hasrat biologisnya kepada lawan jenis. Analoginya bagi manusia yang berada pada tahap genital ini kesenangganya selalu  berorientasi kebutuhan biologis. Tahap-tahap perkembangan itu, tidak selalu berjalan dengan mulus kadang kala terhambat dengan adanya fiksasi. Sehingga memungkinan ada yang tetap berada pada oral, atau anal, atau genital.

Allah SWT mengoreksi persepsi tersebut melalui firmannya: “Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik” (QS.3:14).

Manusia dalam Islam

“Ruh”, “Nafs” atau jiwa, “Qalb” atau hati, dan “Jism” atau raga merupakan kata-kata kunci (keyword) dalam ajaran al-qur’an yang selalu digali makna yang terkandung di dalamnya terutama oleh para ulama ilmu kalam. Diantara empat kata kunci tersebut, dalam ajaran islam “qolb” atau hati menduduki posisi sentral bagi manusia. Rasulullah SAW bersabda:”baik buruknya hidup manusia tergantung dari kebersihan qolbunya” (Al-Hadist).

Profesor Maman Jauhari guru besar statistik ITB mengilustrasikan relasi fungsional antara “Ruh”, “Nafs”, “Qolb”, dan “Jism” secara sederhana dianalogikan sebagai perangkat komputer yang super canggih. “Jism”  dibaratkan hardware, “Nafs” sebagai software, “qolb” sebagai operating system yang mensinergikan jiwa dan raga. Adapun “ruh” merupakan energi ilahi yang memungkinkan ketiga perangkat itu membentuk satu kesatuan manusia. Al Ghazali menganalogikan hubungan antara “ruh” dengan Allah SWT seperti hubungan antara cahaya dengan matahari sebagai sumbernya.

“Ruh” merupakan” energi ilahi” atau “dzat hidup”, demikian Prof. Maman melanjutkan penjelasannya.Ia merupakan postulat yang membentuk sistem hidup, yang memungkinkan adanya kesadaran, pemikiran, dan tindakan  atau gerak bagi manusia. Di dalam sistem itulah  dibangun iman dan berbagai model pemikiran yang menerangi dan memandu jiwa menggapai kualitas tertingginya yang merupakan tujuan akhir dari hidup dan keberadaannya di dunia. 

Islam memandang manusia dari segi yang sangat luas, yakni dari segi “ruh”,”Nafs”, ‘Qolb”,”Jism” dimana rasio dan akal budi bersemayam dalam dirinya. Dengan demikian, Islam menempatkan manusia pada posisi yang sangat mulya. Bagaimanakah mempertahankan kemuliaan itu ?

Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk meraih ketakwaan kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung” (QS.5:35). Cara terbaik untuk mempertahankan kemuliaan melalui takwa. Allah memberikan jaminan bagi orang yang bertakwa: ”Katakanlah: inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian (kesenangan dunia) itu ?” Untuk orang-orang bertakwa pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan mereka dikaruniai isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah maha melihat hamba-hambanya” (QS.3:14-15).

Karakteristik Muttaqin.

Secara umum orang bertakwa digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai manusia yang berwawasan luas. Pengetahuannya, meliputi alam syahadah dan alam gaib. Dalam konteks alam syahadah pengetahuannya meliputi; pengetahuan tentang ayat-ayat kauniah yaitu tanda-tanda kekuasan Allah yang tergelar dalam fenomena alam dan ayat-ayat tanziliyah yaitu ayat-ayat Allah yang tertulis dalam kitab sucinya.(QS.2:3).

Orang bertakwa merupakan orang yang selalu mengabdi kepada Allah SWT yang diwujudkan antara lain melalui sholat. Sholat merupakan sarana komunikasi antara orang bertakwa dengan Tuhannya. Komunikasinya dengan Allah SWT terefleksikan, mulai dari komitmen untuk selalu mengagungkan Allah dan menafikan selain-Nya yang diungkapkan ketika takbiratul ihram.

Selanjutnya mengungkapkan pengakuan dosa serta permohonan ampun padaNya dalam do’a iftitah. Diiringi pula dengan mengungkapkan sifat-sifat Allah yang “Maha Rahman”,“Maha Rahim”,“Maha Terpuji”,”Maha Raja”, dan berkomitmen untuk mengabdi dan selalu mohon pertolongan kepada Tuhan, serta mohon petunjuk ke jalan yang lurus ketika membaca QS.1: 1-7. Pada akhir pelaksanaan sholat berkomitmen untuk peduli dan menjamin keselamatan seluruh mahluk Allah di alam semesta ketika mengucapkan salam pada akhir shalat.

Orang bertakwa adalah orang yang selalu berkhidmat kepada sesama manusia dengan cara meng-infaq-kan rizqi yang Allah berikan padanya. Infaq dapat dimaknai membelanjakan rizqi dari Allah dalam rangka membela agama Allah yang direfleksikan antara dengan cara: menyantuni atau memenuhi kebutuhan umat islam yang memerlukan bantuan untuk kehidupan sehari-hari; mengentaskan kaum fakir, miskin dan yatim melalui pendidikan dan ekonomi, pembangunan dan pemeliharaan serta memakmurkan tempat ibadah; serta menjamin kesejahteraan para pendakwah.  

Orang yang bertakwa adalah orang yang sangat toleran terhadap sesama. Toleransi ditunjukan dalam hal perbedaan pendapat lingkungan umat yang se-akidah, maupun terhadap orang-orang yang berbeda akidah. Toleransi ini merupakan refleksi dari keimanan terhadap kitab yang diturukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW maupun kitab yang di turunkan kepada nabi-nabi sebelumnya.

Orang yang bertakwa merupakan orang-orang yang meyakini adanya hari akhir yang ditandai dengan hari kiamat, hari kebangkitan, hari pengumpulan manusia, hari penghisaban atau perhitungan amal baik dan amal jelek, dan hari pembalasan terhadap amal perbuatan manusia. Keyakinan ini menumbuhkan rasa tanggung jawab dan komitmen untuk menjaga amanah yang diberikan kepadanya dalam bentuk apapun. 

Agar ketakwaan ini memelihara kemulyaan diri sebagai manusia, baik ketika menjalani kehidupan di dunia atau dalam rangka menyongsong kehidupan di akhirat kelak. Allah SWT mengingatkan kita terkait dengan logaritma takwa: ”Maka bertakwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu” (QS.64:16). Setelah tahapan itu dilalui, Allah menegaskan: “ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim” (QS.3:102). Wallahu a’lam bi showab.

Garut, 28 September 2021

Penulis: Sean Arkala

Editor: Robby Karman