6 Jenis Ghibah Yang Diperbolehkan Menurut Imam Nawawi

6 Jenis Ghibah Yang Diperbolehkan Menurut Imam Nawawi
Ilustrasi ghibah

MONITORDAY.COM - Ghibah adalah perilaku buruk yang dilarang dalam agama Islam. Perilaku ghibah adalah membicarakan kejelekan orang lain di belakangnya. Sehingga orang yang dibicarakan tidak tahu kalau dia dibicarakan kejelekannya. 

Dalam QS. Al Hujurat: 12, ghibah diibaratkan sebagai memakan bangkai saudara sendiri. Hal ini karena yang dibicarakan tidak dapat melawan orang yang berghibah. Ibarat bangkai yang tak bisa melakukan apapun. 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)

Namun tahukah kalian, bahwa ada ghibah yang diperbolehkan? Hal ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Kitab Riyadhus Shalihin. Apa sajakah ghibah yang diperbolehkan?

1. Pengaduan Orang Yang Terzalimi

Seseorang yang dizalimi boleh membicarakan perilaku jelek orang yang menzaliminya. Misalnya kepada hakim atau polisi. Hal ini merupakan ghibah yang dibolehkan. Di dalamnya terdapat kemaslahatan yakni menegakkan keadilan kepada yang dizalimi. Bayangkan saja jika seorang yang teraniaya tidak boleh ghibah yang menzaliminya. Maka dia akan tetap terzalimi. 

2. Mengubah Kemungkaran

Jika ada sebuah perbuatan kemungkaran yang kita ketahui, namun kita tidak mampu mengubahnya sendiri, kita boleh meminta tolong orang lain untuk mengubahnya. Ketika melaporkan kemungkaran tersebut, kita boleh melakukan ghibah mengenai si pelaku kemungkaran. Hal ini lagi-lagi demi kepentingan umum. 

3. Meminta Fatwa

Ghibah dibolehkan saat meminta fatwa kepada seorang mufti mengenai kasus. Dimana dalam kasus tersebut, seorang harus menceritakan aib atau perilaku buruk dari seseorang. Sementara jika tidak diceritakan, maka sang mufti akan kebingungan untuk menjawab pertanyaan sang penanya. 

4. Ilmu Jarh Wa Ta'dil Dalam Ilmu Hadits

Ilmu jarh wa ta'dil sudah mafhum dikenal dalam ilmu hadits. Ilmu ini menilai kualitas dari rawi hadits. Apakah seorang perawi itu akhlaknya bagus, otaknya cerdas, atau malah pembohong, dan lemah hafalannya. Dalam kepentingan ilmu hadits, seorang tidak mengapa untuk ghibah mengenai kualitas seorang rawi. Hal ini agar umat tahu mana hadits yang diriwayatkan oleh orang yang jujur atau pembohong.

5. Membicarakan Pelaku Maksiat Yang Bertindak Terang-terangan

Jika di lingkungan kita ada pelaku maksiat yang terang-terangan, misalnya mabuk dan berjudi di depan umum, kita boleh membicarakannya. Karena semua orang di lingkungan itu sudah tahu perilaku mereka dan pelaku tidak menyembunyikannya. Lain halnya jika pelaku maksiat masih menyembunyikan maksiatnya. Kita harus menutupinya. 

6. Menyebut Gelar Seseorang Tanpa Bermaksud Menghina

Jika ada seseorang yang memang sudah terbiasa digelari dengan "Si Buta", "Pincang" maka tak mengapa menyebut kejelekannya. Namun tidak boleh memanggil gelar itu dengan maksud menghina.