Menanti Pasal Darurat Zina
Pasal perzinahan bisa menjerat orang yang berbuat mesum dengan pidana. Lalu, bagaimanakah pidana untuk meredam perilaku seks LGBT?

MONDAYREVIEW- Setelah menuai banyak protes, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) akhirnya batal disahkan dalam rapat paripurna, Senin lalu (12/2). DPR memperpanjang pembahasan Undang-undang tersebut, karena alotnya perdebatan di internal Panita Kerja (Panja).”Kami harus realistis karena ada beberapa pasal yang masih diperdebatkan,” kata Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Dalam Rancangan KUHP itu, terdapat 786 pasal yang dibahas Panitia Kerja Komisi III DPR sejak 26 Oktober 2015. Selama dua tahun, Panja membahas buku I yang mencukup hingga 218 pasal, dan berlangsung hingga 26 Juni 2016, kemudian dilanjutkan untuk membahas buku II dari pasal 219 sampai pasal 789, hingga 26 Januari 2017. Draftnya diajukan kembali ke pemerintah untuk ditelaah, dengan melibatkan para ahli hukum, sampai penghujung 2017.
Salah satu pasal yang menjadi sorotan publik adalah yang mengatur soal perzinahan dan pencabulan. Pemerintah dan DPR sebenarnya telah sepakat untuk memperluas pasal-pasal yang mengatur soal delik zina dan pencabulan, hingga merembet pada pemidanaan perilaku seks LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Namun, harapan rancangan undang-undang tersebut disahkan DPR pekan ini ternyata gagal.
Salah satu pasal yang disepakati adalah pasal perzinahan, yaitu pasal 484 ayat 1 huruf e draf RKUHP yang menyatakan: “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima tahun.”
Untuk menghindari persekusi, tidak setiap orang bisa mengadukan perzinahan, DPR dan pemerintah memperketat ketentuan lewat pasal 484 ayat 2 draf RKUHP yang menyatakan: “Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak bisa dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar kepentingan.” Frasa pihak ketiga ini kemudian diganti dengan suami, istri, orangtua, dan anak.
Namun, pasal perzinahan ini diprotes beberapa LSM, terutama soal perkawinan yang sah, yang harus mendapat pengakuan negara. Bagaimana dengan nasib pasangan suami istri yang menikah baik secara adat atau agama tapi tidak tercatat dalam negara? Apalagi, banyak pasangan yang belum memiliki akta menikah karena kemiskinan.
Pasal lainnya yang banyak diprotes adalah pasal pencabulan. Dianggap pasal karet dan tidak memiliki kepastian hukum. Seluruh fraksi setuju perluasan pasal pencabulan dengan memasukkan unsur LGBT di dalamnya, yakni dalam pasal 495 ayat 2 yang bebunyi:
"Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang sama jenis kelamin, yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Meskipun, memasukan unsur LGBT, pelaku yang di atas 18 tahun belum terjerat dengan hukum pidana. Inilah yang sejak awal diperjuangkan oleh banyak aktivis keluarga dan tokoh agama, hingga melakukan uji materi pasal pidana LGBT ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, MK menolaknya untuk membuat hukum dan mengembalikan pasal pemidanaan LGBT ke DPR.
Upaya untuk mengawal pasal pencabulan yang dibahas di DPR sudah banyak disuarakan. Prof. Din Syamsuddin misalnya dengan tegas mengutuk perilaku LGBT dan harus diatur dalam Rancangan KUHP. “Tidak hanya agama Islam, agama lain juga menganggapnya sebagai perbuatan dosa,” kata mantan Ketua Umum Muhammadiyah, yang saat ini menjadi utusan khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Agama dan Peradaban. Sebagai warga negara, mereka tetap memiliki hak sosial dan politik, namun ketika perilaku mereka dilakukan di ruang publik, apalagi dikampanyekan di berbagai media sosial, sudah mengganggu hak-hak orang lain.
Namun, pasal pencabulan, menurut Khotimul Sutanti, anggota LBH APIK, dianggap tidak bisa menjerat LGBT. Karena, homoseksualitas dengan pencabulan itu dua hal yang berbeda. "Pencabulan itu ada unsur paksaan. Tidak bisa mengeneralisasi semua tindak homoseksualitas itu pencabulan. Itu justru akan membuat ketidakpastian hukum mengenai pencabulan," katanya. Artinya, jika perbuatan mesum yang dilakukan pasangan sejenis secara sama-sama suka dan tidak ada paksaan, tidak bisa dijerat dalam hukum pidana
Banyak tokoh agama dan masyarakat sebenarnya yang berharap Rancangan KUHP ini mampu meredam krisis moralitas yang tengah terjadi di masyarakat. Fenomena perzinahan, dan homoseksualitas sudah begitu mengkhawatirkan dan bisa merusak sendi-sendi ketahanan keluarga. Bahkan, merusak moralitas bangsa. Tidak cukup pendidikan karakter yang tengah dikampanyekan oleh pemerintah dan tengah diperjuangkan oleh para pendidik, sementara para pelaku bebas berkeliaran tanpa ancaman hukum.
Perilaku perzinahan dan LGBT dianggap sebagai ruang private. Negara tidak boleh mengatur sampai ke bilik bilik pribadi, sepanjang tidak mengganggu kepentingan publik. Mereka bebas melakukan perbuatan terlarangnya ini sepanjang tidak ada pengaduan. Apalagi, perilaku seks yang dilakukan pasangan sejenis yang berusia di atas 18 tahun, tidak bisa terjerat dengan pasal pencabulan.
KUHP yang merupakan peninggalan dari produk hukum Belanda, berbeda cara pandangnya dengan hukum islam yang bersumber dari Alquran dan al Hadist. Pelaku zina hanya bisa dituntut atas pengaduan, sedangkan hukum Islam tidak memandangnya sebagai klach delict (hanya bisa dituntut) atas pengaduan yang bersangkutan.
Dalam KUHP pelaku yang bisa dijerat adalah mereka yang telah menikah. Pelaku zina yang belum menikah terbebas dari ancaman hukuman. Tapi, dalam revisi rancangan KUHP terbaru, mereka pun tak lagi melenggang bebas sepanjang ada pengaduan dari orang tua yang bersangkutan. Namun, tidak semua orang bebas mengadukan perilaku zina, karena bisa menimbulkan persekusi dan anarkisme dalam masyarakat.
Dalam Islam, pelaku perzinahan dihukum begitu berat. Bagi pelaku yang telah menikah (Muhson), dihukum mati. Sedangkan, bagi yang belum menikah didera sebanyak 100 kali dan diasingkan. Sebagai efek jera, semua hukuman ini harus disaksikan oleh masyarakat bahkan Alloh Ta’ala mengingatkan kita untuk tidak berbelas kasihan kepada pelaku perzinahan. “,,,,,, janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” [QS an-Nûr:2]
Meskipun hukuman berat, tak mudah untuk menyeret seseorang dalam hukuman zina. Karena, semua pengaduan tuduhan zina harus memenuhi persyaratan dan pembuktian yang ketat, yaitu ada pengakuan dan saksi 4 orang yang menyaksikan langsung perbuatan tercela itu. Bahkan, jika, pelapor terbukti bohong bisa dijerat hukuman
Islam tidak memandang perzinahan sebagai perbuatan pribadi yang tidak boleh diatur oleh negara, sebagaimana yang berlaku di negara-negara barat. Zina adalah perbuatan dosa besar, sebanding dengan pembunuhan, dibawah dosa syirik. Zina merupakan perbuatan yang menghancurkan sendi-sendi keluarga dan menimbulkan kerusakan besar dan kehancuran sebuah peradaban, serta menularkan berbagai penyakit yang sangat berbahaya, seperti HIV-AIDS. Tidak hanya pelaku yang merasakan akibatnya, juga masyarakat. Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam telah mengingatkan, “ “Jika zina dan riba telah merebak di suatu kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa azab Allah.” (HR. Al-Hakim).
Hukum Islam untuk penzina tidak berlaku di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim. Meski demikian, semua agama mengutuk perbuatan zina ini. Saat ini, perzinahan bukan terkualifikasi sebagai delik umum, yang bisa diproses tanpa ada pihak yang ditunggu untuk mengadukannya. Negeri ini masih menganggap perbuatan zina menjadi urusan pribadi sepanjang tidak ada pihak keluarga yang dirugikan, kemudian mengadukannya.
DPR masih membutuhkan waktu untuk membahas dan mengesahkan revisi KUHP. Namun, untuk bisa memuaskan semua pihak sepertinya sulit terwujud. Di internal DPR saja, tarik menarik kepentingan begitu kuat. Mungkin saja, seperti yang disinyalir Ketua MPR Zulkifli Hasan terbukti benar, di internal parlemen ada yang tidak setuju pemidaaan perilaku LGBT.
Mantan Ketua MK Mahfud MD bahkan mendesak DPR segera mengesahkannya. Jika ada pihak yang tidak sepakat dengan pasal-pasal dalam KUHP, bisa menggugatnya ke MK. " apapun ya isi RUU KUHP itu kalau sudah disahkan dalam waktu dekat ini ya disahkan saja, karena kalau hanya menunggu semua orang setuju tidak selesai-selesai," jelas Mahfud.
Masyarakat boleh berharap DPR bisa menghasilkan produk hukum, yang bisa menjaga masyarakat dari dekadensi moral. Jika perzinahan dan perilaku menyimpang LGBT ini dibiarkan, nasib bangsa ini menjadi taruhannya.
Bagi orang beriman, tidak bisa menyenyampingkan hukum yang sudah dibuat oleh Tuhan. Dan, bagi orang beriman ancaman bencana dan malapetaka yang diturunkan Tuhan begitu nyata. Namun, seringkali kita ingkar dengan tanda-tanda dan mencari pembenaran dengan logika.